Malam belum lagi beranjak larut, Angin berhembus kencang menyebarkan titik-titik embun, diiringi kabut tebal yang menyelimuti seluruh Bukit Arang Lawu. Sang dewi malam mengintip dari balik awan hitam pekat. Sinarnya begitu redup, seakan-akan tak kuasa menerangi mayapada ini.
Beberapa kali kilat menyambar, membelah angkasa, memekakkan telinga dan menyilaukan mata, Malam ini alam di sekitar Bukit Arang Lawu seakan-akan murka. Namun keadaan alam yang tak ramah ini tidak membuat puluhan orang yang berada di lereng bukit itu menghentikan aksinya. Dua kelompok manusia sedang bertarung mempertaruhkan nyawa.
"Hajar, bunuh, seraaang ... !"
Teriakan-teriakan keras membangkitkan semangat menggema memecah keheningan malam, berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu diselingi jeritan-jeritan melengking. Dan semuanya itu diiringi pula oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Titik-titik air hujan pun mulai berjatuhan menambah suramnya suasana malam ini.
Keadaan di sekitar lereng Bukit Arang Lawu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk ratusan raksasa. Pohon-pohon besar kecil bertumbangan. Batu-batuan hancur berantakan. Belum lagi mayat-mayat manusia dan kuda saling tumpang tindih tak tentu arah. Bau anyir darah menyebar menusuk hidung. Tapi keadaan itu tidak mengendorkan semangat dua kelompok yang sedang bertarung. Mereka tidak lagi menghiraukan hujan yang semakin deras tumpah dari langit.
"Mundur ... !" tiba-tiba satu teriakan keras terdengar menggelegar.
Tampak satu kelompok yang mengenakan seragam bagai prajurit kerajaan bergerak mundur sambil terus bertahan. Sedangkan satu kelompok lagi yang kebanyakan mengenakan pakaian longgar warna merah, terus menyerang.
"Mundur .... Mundur ...!"
Kelompok yang mengenakan pakaian seragam prajurit segera berlarian mundur menyelamatkan diri. Sementara hujan semakin deras datangnya, diikuti gelegar suara petir yang menyambar.
"Cukup!" sebuah suara keras tiba-tiba membentak.
Tampak salah seorang yang mengenakan jubah merah longgar, mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas, Tongkat berlekuk bagai ular tergenggam di tangan kanannya. Wajah orang itu tidak terlihat, karena terhalang jubah merah yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.
"Ayo, kembali!" perintahnya.
Orang-orang yang sebagian berjubah merah dan sebagian lagi berpakaian biasa seperti layaknya orang persilatan, melangkah tergesa-gesa meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu ini. Mereka menuju ke puncak bukit yang gelap terselimut kabut tebal menghitam.
Sementara itu kelompok lainnya yang semuanya mengenakan seragam bagai prajurit, menuruni lereng bukit. Mereka baru berhenti setelah tiba di suatu dataran yang cukup luas. Pada dataran itu, berdiri beberapa tenda berwarna putih, Satu tenda yang paling besar berdiri di antara tanda-tenda lain yang mengelilinginya.
Orang-orang yang selamat dari pertempuran itu segera masuk ke dalam tenda, berlindung dari curah hujan yang semakin lebat. Tampak dua orang laki-laki gagah memasuki tenda yang paling besar. Di dalam tenda itu rupanya telah menunggu seorang laki-laki muda mengenakan pakaian indah dengan manik-manik dari emas dan perak murni.
Laki-laki muda itu berkulit kuning langsat. Wajahnya bersih dan tampan bagai tak berdosa. Sinar matanya bening dan lembut, namun memancarkan cahaya kewibawaan seorang pemimpin. Dua orang laki-laki bertubuh tegap yang basah kuyup itu, segera duduk bersila setelah memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya ke depan hidung.
"Hamba menghadap, Gusti Pangeran Kandara Jaya," ucap salah seorang seraya menyembah.
"Aku sudah tahu, Paman Lawawi Girang. Memang tidak mudah memerangi orang-orang yang sudah dirasuki iblis," pelan dan berwibawa suara Pangeran Kandara Jaya.
"Maafkan hamba, Gusti Pangeran," ujar Lawawi Girang.
"Sudahlah, masih ada waktu untuk memulai kembali, Hm ... , ya. Bagaimana denganmu, Paman Karpatala? Berapa orang prajuritmu yang gugur?"
"Kepastiannya belum hamba peroleh, Gusti. Tapi hamba perkirakan sekitar lima belas orang. Sedangkan, prajurit yang dipimpin Adi Sarong Geti seluruhnya tewas. Adi Barong Geti sendiri terluka parah. Hanya itu yang dapat hamba laporkan sekarang, Gusti Pangeran," kata Karpatala seraya menghaturkan sembah.
"Ahhh ... ," Pangeran Kandara Jaya mendesah panjang. Pandangannya kosong lurus ke depan.
Sudah tiga malam mereka berada di lereng Bukit Arang Lawu ini. Untuk malam pertama penyerangan ini, mereka menderita kekalahan cukup besar. Hampir lima puluh prajurit tewas. Belum lagi yang terluka parah maupun ringan, sedang sisanya kini dalam keadaan letih. Pangeran Kandara Jaya menarik napas beberapa kali.
Tugas yang diembannya kali lni memang cukup berat. Tapi semuanya diterima dengan hati lapang. Dia tahu kalau yang akan dihadapi kali ini bukanlah orang-orang atau prajurit biasa kerajaan lain. Tapi orang-orang yang memiliki kesaktian cukup tinggi. Dan lagi rata-rata mereka mempunyai ilmu olah kanuragan yang tidak rendah. Untuk itulah Pangeran Kandara Jaya perlu membawa dua punggawa yang memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi pula.
"Sebaiknya Paman berdua istirahat. Aku akan meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa," kata Pangeran Kandara Jaya penuh wibawa.
"Hamba mohon diri, Gusti," kata Lawawi Girang seraya beringsut mundur.
"Hm, silakan," Pangeran Kandara Jaya mengangkat tangannya ke depan.
Dua orang punggawa itu keluar dari tenda besar yang ditempati oleh Pangeran Kandara Jaya. Pangeran yang baru berusia dua puluh lima tahun itu tetap duduk bersila di tempatnya, dengan telapak tangan berada di lutut. Kedua matanya terpejam. Pangeran Kandara Jaya mencoba untuk berhubungan dengan Sang Pencipta, untuk minta petunjuk agar tugas yang berat ini dapat terlaksana seperti yang dikehendaki oleh Ayahanda Prabu Balaraga. Memang, beberapa tugas yang diberikan ayahandanya bisa dijalankan dengan baik dan memuaskan. Tapi tugas yang satu ini.... Pangeran Kandara Jaya merasakan akan mendapat rintangan yang sulit.
Dari beberapa mata-mata yang disebar, dilaporkan kalau gerombolan Puri Merah adalah kelompok manusia iblis yang selalu membuat kacau wilayah Kerajaan Mandaraka. Cara kerja mereka benar-benar bagaikan iblis saja. Datang dan pergi bagai bayangan, tapi selalu meninggalkan kerusuhan dan bencana bagi rakyat. Kegiatan gerombolan iblis ini sampai menjadi bahan pembicaraan di kalangan istana. Prabu Balaraga pun memerintahkan untuk menumpas gerombolan yang meresahkan rakyat itu.
Itulah sebabnya mengapa Pangeran Kandara Jaya berada di lereng Bukit Arang Lawu ini, Memang, menurut telik sandi yang disebar ke pelosok negeri, Gerombolan Puri Merah bersarang di puncak Bukit Arang Lawu.
KAMU SEDANG MEMBACA
12. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Puri Merah
ActionSerial ke 12. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.