Lamaran

198 14 0
                                    

Kembang Rumah Bordil
Bag 12
Lamaran
****

Sesekali Ina mencuri pandang kearah Sintia yang selalu duduk di pojok bartender. Badannya semakin kurus, pipinya tirus, batuk pileknya nggak sembuh" ditemani tissu didekatnya, kantong plastik tempat meletakkan bekas tissu.

Ingin rasanya Ina memeluk,  membelai rambutnya, berbagi suka duka. Tapi semua itu nggak bisa Ina lakukan karena Sintia begitu membenci.

Menganggap Ina sebagai saingan, Sintia tahu Ina sedang memperhatikan, dia mengalihkan pandangan ke tempat lain, sorot mata  kosong dan tatapan bias, terlihat sekali Sintia sedang menahan rasa sakit.

Kita bisa jadi teman, kawan, sahabat Sintia, kenapa kita harus bermusuhan. Ayo tatap, saya akan memberimu senyum persahabatan yang tulus, ujar Ina dalam hati.

"Ina ... ! Suara lengkingan khas Mami Leli terdengar sampai ke bawah.”

"Ya Mi, sahut Ina sambil menghampiri Mami Leli.”

"Bos Fandi booking kamu, biasa di Hotel Sultani long time sore ini ya?.

"Bagaimana sama Viola? Ina capek ribut Mi?.

"Itu urusan Mami, nanti Mami kasih tahu.”

Sejujurnya Ina senang sekali Bang Fandi booking lagi, bukan lantaran uangnya yang besar, tapi Ina rindu kehangatan keluarga mereka.

Ina membayangkan  rumah besar megah dihuni orang - orang pendidikan yang sangat rendah hati, ah..? seandainya ini bukan skenario sayalah perempuan yang paling beruntung, kata Ina dalam hati.

Untuk kali ini Ina mempersiapkan matang - matang penampilan. Ina pergi ke salon Tante Rose sekedar merapikan rambut.
Dipilihnya baju sederhana namun elegan, rok payung panjang warna biru laut yang berpayet sederhana  disekeliling jahitan bawah, kemeja putih tangan panjang bermotif dan sepatu kets melengkapi penampilan Ina.

"Anak Mami Cantiknya.....?

"Mami bisa aja.”

"Bener ... Mami tidak bohong.”

"Cepet berangkat si Toha udah nungguin di mobil.”

"Ya Mi.”

Ina menuruni anak tangga, di bawah ada Sintia, Viola, Tika, Maya, Ninuk, Euis, dan banyak yang lainnya. Memang jam segini mereka sudah di haruskan stand by untuk menunggu tamu.
Tatapan Viola yang sangat tidak bersahabat membuat Ina sedikit gugup. Tanpa disadari Sintia yang sedari tadi menatap Ina.

Dengan tulus Ina menyambut tatapan Sintia dengan senyum yang sedikit agak dipaksakan, karena takut nggak di balas. Sintia membalas senyuman Ina, membuat anak - anak yang duduk di sofa terperangah.

"Gue pergi dulu ya ... ada yang mau nitip oleh - oleh ?

"Martabak Bangka!

"Pizza!.

"Sate!.

" KFC!.

"Ayam Keprabon!

"Sintia mau oleh-oleh apa? tanya Ina.

"Apa aja, terserah elu.

"Viola ?

"Gue bisa beli sendiri!" kata Viola ketus.

"Gue pergi dulu ya!

"Titi dj.

"Ok.

Mobil Honda jazz merah meninggalkan komplek lokalisasi, ada kelegaan di hati Ina karna Sintia sudah mau tersenyum.
Senangnya, hati Ina. Akhir dari bongkahan batu yang gugur oleh tetesan air.
Sepanjang perjalanan Ina memikirkan Sintia, kenapa cuma pilek aja nggak sembuh - sembuh, kenapa badannya kurus dratis sekali.

Bermacam-macam pertanyaan di kepala Ina tak terjawab, sampai akhirnya mobil sudah tiba di Hotel Sultani.

"Hai calon istri Abang, cantik sekali, kata Bang Fandi sambil cipika-cipiki.

"Hai Bang? udah nunggu lama.

"Baru datang juga Dek ?

"Spontan Ina menatap kearah Fandi.

"Kenapa, ada yang aneh ?

"Panggilan Abang bikin Ina tersanjung.

"Kenapa Dek, aneh ya!.

"Nggak, senanglah, kata Ina sambil melingkarkan tangannya ke pinggang Fandi.

"Kita berangkat sekarang ? Kata Ina

"Kita tidak pergi kemana-mana Dek.

"Mami tidak suka sama Ina ya Bang ? Ina menutupi kegusarannya.

"Justru. Semua suka sama Ina, kita mau bicara disini.

Lama Bang Fandi terdiam, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk di katakan, sampai akhirnya.

"Ina, mau nggak Ina jadi istri Abang diatas kertas?

"Kenapa cuma diatas kertas Bang? kenapa tidak jadi istri diatas kasur juga?.

Abang anak pertama dari empat bersaudara dan laki - laki satu - satunya.
Adik abang sudah berkeluarga semua, Mami, Papi menuntut menantu perempuan sama Abang.
Itulah mereka gencar mencari jodoh. Abang tidak mau di cariin jodoh, karena akan melukai keluarga nantinya.
Abang sakit, Ina. Abang tidak bisa melakukan tugas abang sebagai laki-laki. Mau terbuka sama keluarga malu.
Penyesalan itu datang belakangan, kalau dari awal Abang cerita, mungkin tidak serumit ini.
Terlalu besar harapan mereka punya keturunan dari Abang.
Abang tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Abang sering berpetualang ke Kompleks Lokalisasi apa tujuannya. Tanya Ina.

"Abang cuma bincang - bincang di kamar sambil cari wanita yang pas buat pendamping Abang, yang bisa di jadikan istri dalam skenario.

Kita sudah punya Andini untuk kita besarkan bersama-sama, untuk masa depan Andini sudah abang persiapkan, jangan kuatir.
Bang Fandi menjelaskan.

"Bang, Ina senang sama rencana Abang yang peduli sama Andini. Tapi dari awal kita sudah bohong sama keluarga Abang, tentang nama, status, pekerjaan.

Itu akan jadi bumerang buat Ina kalau mereka tahu yang sebenarnya.

"Nanti kalau sudah menikah, kita pindah dari sini jauh - jauh.

"Suatu saat mereka akan tahu Bang.

"Aib itu seperti bau bangkai yang sangat mudah menguap, Ina tidak bisa bayangin kecewanya keluarga Abang punya menantu mantan pelacur, harga diri keluarga pasti terkoyak.

"Tenang Dek, Abang ada di sisimu.

Kasih Ina waktu untuk berfikir ya Bang ? ini masalah besar.
Tidak mudah ambil keputusan. Kasih waktu Ina satu bulan untuk berpikir.

"Ok, Abang kasih waktu satu bulan, untuk berpikir. Semoga ada kabar baik buat Abang.

"Ya Bang, mudah-mudahan.

Malam itu Ina menghabiskan waktu bersama Fandi, menonton, makan, jalan-jalan sambil mencari pesanan teman - teman.

"Ina pulang dulu ya Bang, kalau ada apa-apa hubungi Ina.

"Ok.

Bang Fandi melepas Ina pulang, mobil honda jazz warna merah kembali membawa Ina ke Kompleks Lokalisasi. Kembali ketempat yang Ina tidak sukai.

"Hai!

"Nih! pesenan lu orang semua tidak ada yang ketinggalan.

Ina menghampiri Sintia, memberi bungkusan kecil," Buat Sintia, kata Ina sambil menggenggam tangan Sintia.
Bilang aja sama gue kalau ada apa - apa ya, Sintia hanya mengangguk.
Malam ini Ina bebas Tugas, karena sudah dapat bookingan long time, Mami memberi kelonggaran bagi yang sudah long time, boleh tidak menerima tamu lagi.

"Tiba-tiba Tika menghampiri Ina.

"Ina, jangan-jangan Sintia kena HIV, gue tadi tanya sama orang Dinas Sosial ciri ciri orang kena HIV.

"Apa! Ina terperangah menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Badannya lemas, seperti tanpa tulang.
Akhirnya ketakutan Ina terjadi juga

*****

Kembang Rumah Bordil  by ErseClussieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang