Seekor kuda hitam legam dan kekar berjalan lambat-lambat mendekati sebuah pondok kecil beratapkan rumbia di tengah-tengah Hutan Ganda Mayit. Saat itu matahari belum lagi menampakkan sinarnya, namun burung-burung sudah berkicau riuh disambut kokok ayam hutan. Sebentar lagi sang surya akan muncul, kabut masih kelihatan tebal menyelimuti seluruh hutan ini.
Kuda hitam itu berhenti tepat di depan pondok. Kaki depannya menggaruk-garuk tanah dengan kepala terangguk-angguk. Di atas punggungnya yang kekar berotot, terkulai seseorang mengenakan baju warna biru yang sudah compang-camping di beberapa tempat. Rambutnya yang panjang hitam, tergerai menutupi wajahnya. Darah masih menitik dari luka-luka di tubuhnya.
Kreeekkk....
Pintu pondok itu terkuak perlahan-lahan. Dari dalam muncul seorang wanita tua bungkuk mengenakan pakaian kumal yang sudah pudar warnanya. Wanita tua itu kelihatan terkejut melihat ada kuda di depan pondoknya. Lebih terkejut lagi dia manakala melihat ada seseorang terkulai di punggung kuda itu.
Dengan langkah terseret, perempuan itu bergegas menghampiri. Tangan yang kecil keriput itu, ternyata dengan mudah bisa menurunkan penunggang kuda itu. Tubuh terbalut baju biru dengan banyak luka, dikepit di ketiaknya. Kembali dia menyeret kakinya masuk ke dalam pondok.
Bagaikan mengangkat sekarung kapas saja layaknya, dan ringan sekali dia meletakkan tubuh itu di balai-balai bambu yang beralaskan tikar pandan.
"Ah, cantik sekali.... Kenapa bisa terluka...?" desahnya bergumam pada diri sendiri.
Tubuh ramping yang tergolek di atas balai-balai bambu itu memang seorang wanita muda yang cantik berkulit putih bersih. Dari senjata yang terselip di perutnya, dan pedang yang tersampir di punggung, sudah dapat dipastikan kalau wanita itu adalah Pandan Wangi.
"Kajar...!" teriak perempuan tua bungkuk itu memanggil seseorang.
"Ya, Nek...!" sebuah suara kecil menyahuti, disusul munculnya seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun.
"Nek Ringgih memanggilku?"
"Iya! Cepat ke sini!"
"Lho! Siapa itu, Nek?" Kajar kaget melihat ada orang terbaring di balai-balai.
"Jangan banyak tanya, cepat siapkan ramuan luka luar!" sentak Nek Ringgih.
Kajar bergegas kembali ke belakang. Sementara Nek Ringgih mencopot seluruh pakaian Pandan Wangi. Dia mengambil kain lusuh dan menutupi tubuh polos itu. Nek Ringgih memandangi dua senjata di tangannya, lalu meletakkannya di atas kepala Pandan Wangi. Dua buah senjata yang berlainan bentuknya. Satu bentuknya pedang biasa, satunya lagi berupa kipas dari baja putih. Senjata kipas itulah yang membuat nama Pandan Wangi terkenal sebagai si Kipas Maut. Nek Ringgih memeriksa tubuh yang penuh luka itu. Kebanyakan luka-lukanya hanya goresan-goresan. Memang ada beberapa yang cukup dalam. Kepala perempuan tua itu tergeleng-geleng beberapa kali. Bibirnya yang keriput kempot, berdecak-decak bagai cicak.
"Sudah, Nek," Kajar muncul lagi membawa sebaskom air dan beberapa ramuan terbungkus kain putih.
"Taruh di situ," kata Nek Ringgih menunjuk meja kecil dekat balai-balai bambu ini.
Kajar memperhatikan Nek Ringgih mengobati luka-luka di tubuh Pandan. Setiap jenis ramuan dan keadaan luka diperhatikan dengan seksama. Otaknya berputar mengingat-ingat semua yang dilakukan Nek Ringgih.
"Bagaimana, Nek?" tanya Kajar setelah Nek Ringgih membasuh tangannya di baskom.
"Siang nanti juga sudah sadar," sahut Nek Ringgih seraya bangkit berdiri.
"Tunggui dia, aku mau cari daun-daunan dulu."
"Iya, Nek."
"Oh...," Pandan Wangi merintih lirih.
Kajar menatap Pandan Wangi yang mulai sadarkan diri. Dia segera menghampiri dan mengambil kain basah, lalu diletakkan di kening gadis itu. Sedikit demi sedikit Pandan Wangi membuka kelopak matanya. Dia memijat-mijat keningnya yang terasa mau pecah berdenyut-denyut. Pandangannya masih kabur berkunang-kunang. Kepalanya bagai terbelenggu ribuan kati besi.
"Nek...! Dia sudah sadar!" teriak Kajar keras.
Nek Ringgih tergopoh-gopoh datang menghampiri. Langkahnya terseret dengan tubuh bungkuk. Tapi dia tidak menggunakan tongkat untuk membantu berjalan.
"Ohhh..., di mana aku...?" rintih Pandan Wangi lirih.
"Tenanglah, anak manis," bujuk Nek Ringgih.
"Ah!" Pandan Wangi terkejut mendapati dirinya berada di sebuah pondok ditunggui seorang perempuan tua dan seorang anak laki-laki kecil. Pandan Wangi berusaha bangkit, tapi dicegah Nek Ringgih.
"Jangan bergerak dulu. Kau masih lemah."
"Siapa kalian?" tanya Pandan Wangi. "Di mana aku?"
"Kau di gubukku, anak manis. Aku Nek Ringgih, dan ini cucuku, Kajar."
"Oh, kepalaku...," lagi-lagi Pandan Wangi merintih.
Tanpa diperintah lagi, Kajar buru-buru memijat-mijat kepala Pandan Wangi. Ada seulas senyum di bibir gadis itu, tapi tipis sekali sehingga hampir tidak terlihat.
"Terima kasih," ucap Pandan Wangi pelan.
"Sudahlah, kau istirahat dulu. Jangan berpikir yang macam-macam, kau masih terlalu lemah," kata Nek Ringgih. "Hhh...," Pandan Wangi mendesah panjang. Dia memejamkan matanya kembali. Lama juga Pandan Wangi tidak membuka-buka matanya. Gerak napas di dadanya kelihatan teratur lembut. Rona merah segar kembali menjalari wajahnya yang pucat pasi. Tubuhnya yang dingin, kini sudah terasa hangat kembali.
"Apakah dia pingsan lagi, Nek?" tanya Kajar.
"Tidak, dia sedang bersemadi," sahut Nek Ringgih.
"Apa itu semadi?" tanya Kajar. "Seperti yang sering aku lakukan."
"Tapi, kenapa tidak di dalam kamar khusus?"
"Bersemadi bisa dilakukan di mana saja, apalagi bagi seorang pendekar...."
"Dia pendekar, Nek?" pelan sekali suara Kajar, seperti takut terdengar Pandan Wangi.
"Mungkin, nanti kita juga tahu. Sudahlah, jangan banyak tanya!" Kajar langsung terdiam. Matanya memandangi wajah Pandan Wangi yang sudah kelihatan segar kembali. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu terbuka kembali. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum. Nek Ringgih tidak mencegah lagi ketika Pandan Wangi beringsut duduk. Gadis itu membetulkan letak kain yang membelit tubuhnya. Dia duduk bersila sambil mengatur jalan napasnya, dan menormalkan kembali jalan darahnya.
"Minumlah ini," Nek Ringgih menyodorkan cawan berisi ramuan obat-obatan.
"Apa ini?" tanya Pandan Wangi seraya menerima cawan itu.
"Obat."
Tanpa ragu-ragu lagi, Pandan Wangi meneguk habis cairan hitam kecoklatan di dalam cawan itu. Memang tidak enak rasanya, tapi dihabiskan juga. Kajar mengambil cawan kosong itu dari tangan Pandan Wangi dan meletakkannya di atas meja. Dia kembali duduk di tepi pembaringan.
"Bagaimana rasanya?" tanya Nek Ringgih.
"Mendingan, Nek," sahut Pandan Wangi. "Terima kasih, kau telah menolongku."
"Ah, sudahlah. Sesama manusia sudah seharusnya saling tolong menolong. Oh ya, siapa namamu?"
"Pandan Wangi."
"Boleh aku memanggilmu Kak Pandan?" celetuk Kajar. "Tentu saja."
Kajar berseri-seri wajahnya. "Senang sekali, aku punya teman sekarang."
"Hush! Kajar!" sentak Nek Ringgih.
"Habis aku selalu bermain sendiri, tidak punya teman satupun juga. Paling-paling temanku hanya si Gembel!" rungut Kajar.
"Siapa itu Gembel?" tanya Pandan Wangi.
"Itu..., kambing yang bulunya acak-acakan."
"Ooo...," Pandan Wangi tersenyum dikulum.
"Sudahlah, jangan banyak bicara dulu. Kau masih perlu istirahat," Nek Ringgih menengahi.
"Tidak apa, Nek. Aku senang kok," sahut Pandan Wangi tersenyum manis.
"Bagaimana juga, kau masih perlu istirahat. Lagi pula Kajar masih punya tugas yang belum diselesaikan."
"Oh, iya! Huh, kenapa jadi pelupa begini?!" Kajar menggedik kepalanya sendiri. "Aku tinggal dulu, Kak Pandan. Nanti kita ngobrol lagi, ya?"
Pandan Wangi hanya tersenyum saja melihat tingkah bocah itu. Kajar berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang pondok ini.
"Anak itu nakalnya bukan main, tapi dia sangat cerdas dan penurut. Aku sangat sayang padanya. Dialah satu-satunya penghiburku di masa senja ini," kata Nek Ringgih.
"Namanya juga anak-anak, Nek. Aku juga suka pada anak-anak," Pandan Wangi menimpali.
"Oh, ya. Bajumu rusak berat, aku terpaksa menggantinya dengan yang baru. Mudah-mudahan saja cocok untuk tubuhmu," Nek Ringgih mengalihkan pembicaraan.
"Ah, merepotkan sekali. Terima kasih, Nek."
Nek Ringgih menyerahkan bungkusan ke pangkuan Pandan Wangi. Gadis itu membukanya. Betapa terharunya dia melihat pakaian berwarna biru yang bagus dan indah. Bahannya memang bukan dari kain yang mahal, tapi ukurannya tentu sangat pas untuknya. Pandan Wangi langsung memeluk perempuan tua itu, dan mengucapkan terima kasih beberapa kali. "Aku mau membuat ramuan dulu. Ganti bajumu, lalu istirahat lagi," kata Nek Ringgih seraya melepaskan pelukan Pandan Wangi. Dia kemudian bangkit berdiri. "Terima kasih, Nek," ucap Pandan Wangi terharu.
Nek Ringgih hanya tersenyum saja, kemudian melangkah pergi ke ruangan belakang pondok ini. Pandan Wangi memandangi pakaian baru pemberian Nek Ringgih. Kemudian dia mengenakannya. Benar-benar cocok dengan ukuran tubuhnya. Gadis itu memandangi dua senjata pusakanya yang teronggok di kepala dipan bambu ini. Dia hanya memandangi saja tanpa menyentuhnya. Lalu kembali membaringkan tubuhnya. Pandan Wangi melakukan samadi lagi untuk mengembalikan tenaga dan kesehatannya.
Tanpa terasa Pandan Wangi sudah satu pekan berada di rumah Nek Ringgih. Kondisi tubuhnya juga sudah kembali seperti semula. Bahkan dia sudah mulai melakukan latihan-latihan ringan untuk melemaskan otot-ototnya. Tapi Pandan Wangi sering menyendiri melamun. Seringkali Nek Ringgih memergokinya pada saat dia menyendiri melamun, dan setiap kali ditanyakan, selalu dijawab dengan senyum.
Pandan Wangi tidak ingin membebani perempuan baik hati itu dengan persoalan yang sedang dihadapinya. Dia selalu menyimpannya di dalam hati. Memang tidak mudah untuk mengatakan semua yang tengah mengaluti hatinya saat ini. Persoalan yang sangat pribadi sekali sifatnya.
"Melamun lagi...?" tegur Nek Ringgih sore itu.
"Oh, Nek...!" Pandan Wangi tersentak kaget.
"Setiap hari kau selalu menyendiri dan melamun. Katakan apa yang kau pikirkan, mungkin aku bisa membantu," pinta Nek Ringgih mendesak. Sudah seringkali dia menanyakan hal itu. Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Nek Ringgih bisa merasakan kepahitan dalam senyum itu. Pandangan Pandan Wangi lurus dan kosong ke depan.
"Aku bisa merasakan, kau menyembunyikan sesuatu," desak Nek Ringgih.
"Ah, tidak...," desah Pandan Wangi berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang semakin galau tidak menentu.
"Baiklah kalau kau tidak mau mengatakannya. Tapi aku ingin tahu, kenapa kau sampai terluka?" Nek Ringgih sedikit mengalah.
"Aku bertarung dan kalah," sahut Pandan Wangi berdusta.
"Puluhan tahun aku mendalami ilmu pengobatan. Aku tahu betul jenis-jenis luka...," gumam Nek Ringgih.
Pandan Wangi terdiam. Gumaman Nek Ringgih merupakan sindiran baginya. Sudah pasti perempuan tua itu tahu kalau luka yang diderita Pandan Wangi bukan dari pertarungan. Pandan Wangi tidak ingin mendustai perempuan tua baik hati ini, tapi dia tidak tahu harus berkata apa lagi? Dia tidak ingin orang lain mengetahui persoalannya. Dia malu, karena ini menyangkut...
"Kajar sangat suka padamu. Dia telah menganggapmu sebagai kakaknya sendiri, dan aku juga menganggapmu sebagai cucuku sendiri. Mungkin aku terlalu banyak berharap..., ah, sudahlah! Aku memang tidak perlu mengetahui semua persoalanmu," kata Nek Ringgih pelan.
"Nek...!" Pandan Wangi mencegah Nek Ringgih yang mau meninggalkannya.
"Kau tidak ingin mengatakan padaku, kan?"
Pandan Wangi terdiam. Hatinya bertambah kacau. Dia tidak bisa melakukan yang terbaik. Persoalannya memang sepele, tapi menyangkut harga dirinya sebagai seorang pendekar wanita. Menyangkut perasaannya yang paling dalam dan sukar dimengerti. Dia sendiri tidak tahu, apakah....
"Aku..., aku bingung, Nek...," lirih suara Pandan Wangi.
"Apa yang membuatmu bingung?" Tanya Nek Ringgih seraya duduk di akar yang menyembul ke luar dari dalam tanah.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Sepertinya aku tidak lagi mengenal siapa diriku sebenarnya. Rasanya aku sudah mati.... Yah... seharusnya aku memang sudah mati...," suara Pandan Wangi semakin pelan.
"Ceritakan, apa yang terjadi sebenarnya?" pinta Nek Ringgih. "Aku malu, Nek. Aku...."
"Kenapa harus malu? Tidak semua orang bisa memecahkan persoalannya tanpa bantuan orang lain. Dan tidak semua persoalan bisa terpendam lama di dalam hati."
Lagi-lagi Pandan Wangi terdiam. Rasanya masih berat untuk mengatakan perasaan hatinya pada perempuan tua ini. Beberapa kali dia mendesah panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak.
"Nek Ringgih mau berjanji untukku?"
"Janji apa?"
"Tidak mengatakannya pada orang lain "
Nek Ringgih mengangguk.
"Terima kasih, Nek."
"Nah, ceritakanlah."
Sebentar Pandan Wangi terdiam, mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk dikeluarkan. Nek Ringgih menunggu dengan sabar. Hatinya yang tua dan kenyang makan asam garamnya kehidupan dunia bisa merasakan kegundahan hati gadis itu.
"Aku memang tidak kalah dalam bertarung, Nek. Tapi aku kalah daripada bertarung yang sesungguhnya. Rasanya lebih baik aku kalah bertarung daripada kalah seperti ini. Terlalu menyakitkan sekali. Aku malu..., malu sekali, Nek," Pandan Wangi memulai.
"Teruskan," pinta Nek Ringgih,
"Aku gagal melaksanakannya, Nek. Jurang itu terlalu lebar dan..., oh," Pandan Wangi menutup mukanya.
Nek Ringgih membiarkan saja Pandan Wangi menguras air matanya. Dia masih belum begitu mengerti dengan cerita itu. Namun masih juga bersabar menunggu sampai tuntas.
"Aku meluncur masuk ke dalam jurang. Padahal dia sudah berusaha menolongku, tapi tubuhku terlalu berat, dan cepat sekali turun ke bawah. Rasanya waktu itu aku sudah mati, Nek. Tubuhku terbanting keras di dalam jurang. Untunglah...."
"Kenapa?"
"Aku jatuh tepat di tengah sungai yang berair deras. Aku hanyut dan tidak sadarkan diri. Saat aku sadar, sudah berada di dalam kurungan seperti binatang. Yah..., aku ditawan oleh gerombolan Dewi Sri Tungga Buana. Saat itu aku masih bisa bersyukur karena belum mati, tapi...," lagi-lagi Pandan Wangi terputus ceritanya.
"Apa lagi yang terjadi?" tanya Nek Ringgih.
"Mereka menyeretku kembali ke atas jurang itu. Aku sempat melihat dia masih ada di seberang. Aku berusaha meminta tolong, tapi mereka kembali menjerumuskan aku ke jurang itu. Aku berusaha untuk mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan menggenjot tubuhku ke tepi. Tapi sebatang pohon menghalangi usahaku. Tubuhku terbentur keras sekali, kembali aku tidak sadarkan diri dan tersangkut pada akar pohon yang keluar dari tanah."
"Bagaimana kau bisa ke luar dari jurang itu?" tanya Nek Ringgih.
"Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Setelah aku sadar, berusaha merayap naik ke atas. Tapi di sana tidak ada lagi siapa-siapa. Aku tidak lagi peduli dengan ranting tajam dan duri yang mengoyak tubuhku."
"Dan kuda itu, punya siapa?" tanya Nek Ringgih menunjuk seekor kuda hitam di dalam kandang samping pondok.
"Aku tidak tahu, aku menemukannya di tepi jurang sedang merumput"
"Sejak tadi kau menyebut-nyebut dia. Siapa dia?" tanya Nek Ringgih lagi. Pandan Wangi tidak langsung menjawab.
"Dia yang menyuruhmu melompati jurang?" kejar Nek Ringgih lagi.
"Nek...," tatapan mata Pandan Wangi seperti meminta pengertian perempuan tua itu.
"Dia kekasihmu?" tebak Nek Ringgih tidak peduli.
Pandan Wangi tidak menjawab sama sekali. Masih sulit baginya untuk mengatakan hal itu. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa rasanya sulit untuk menyebutkan namanya. Dan hatinya juga sangat malu sekali bila mengingatnya. Pandan Wangi tidak mengerti, perasaan apa yang tengah dia rasakan sekarang. Tapi setiap kali dia mengingat peristiwa memalukan itu, setiap kali pula wajah tampan itu selalu menggoda. Ada setitik kerinduan di dalam hatinya, tapi Pandan Wangi tak kuasa untuk bertemu muka kembali.
"Puluhan tahun aku hidup, Pandan. Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang. Setiap manusia pasti akan mengalaminya. Bukan manusia normal namanya kalau tidak mengenal cinta," kata Nek Ringgih penuh kasih.
"Cinta...?!" Pandan Wangi tersentak.
"Tidak perlu malu mengakui kalau kau sedang jatuh cinta. Aku juga pernah mengalaminya, tapi itu sudah lama berlalu dan kini hanya tinggal kenangan saja."
"Tapi, Nek...."
"Tidak perlu menyangkal, Pandan. Sorot matamu tidak bisa menipu. Kau malu bertemu lagi dengannya, karena kau tidak bisa menunjukkan kedigdayaanmu. Kau tidak perlu merasa malu atau rendah diri kalau tidak ada perasaan apa-apa padanya. Lagipula, cinta bukanlah sesuatu yang harus ditutupi, sejak lahir manusia sudah merasakan itu, dan akan terus merasakannya sampai ke liang kubur. Kalau kau merasa dirimu makhluk mulia, kau tidak bisa menolak kehadiran perasaan itu di hatimu. Bahkan malah sebaliknya, kau harus bangga karena masih punya rasa cinta di balik kehidupanmu yang keras penuh tantangan."
"Oh, Nek...."
"Cinta itu suatu kodrat yang harus dinikmati dan disyukuri. Cinta bukanlah sesuatu yang buruk, yang harus ditutupi dan dipendam dalam-dalam. Cinta itu suci dan indah bila dihayati arti sucinya karena cinta adalah suatu anugrah yang tertinggi nilainya. Tapi tidak sedikit manusia yang menyalahgunakan arti cinta yang sesungguhnya," panjang lebar Nek Ringgih menjabarkan arti cinta pada gadis itu.
"Nek...," Pandan Wangi tidak bisa berkata-kata lagi.
Nek Ringgih membiarkan saja Pandan Wangi menangis di pangkuannya. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah wanita, meskipun dia seorang pendekar yang tangguh dan selalu bergelimang darah serta tantangan hidup dalam mengarungi rimba yang luas ini. Bagaimanapun kerasnya hati seseorang, suatu saat pasti akan luruh juga. Dan itu dialami Pandan Wangi saat ini.***
KAMU SEDANG MEMBACA
13. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Maut
ActionSerial ke 13. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.