BAGIAN 5

1K 43 0
                                    

Malam ini langit kelihatan mendung. Angin bertiup kencang menaburkan udara dingin menggigit kulit. Titik-titik air mulai berjatuhan menimpa bumi. Sudah dapat dipastikan kalau hujan akan segera turun membasahi bumi yang kering kerontang setelah beberapa lama dilanda kekeringan.
Di malam yang pekat ini, tampak tiga sosok tubuh mengenakan baju serba hitam berkelebatan mendekati pondok kecil di tengah Hutan Ganda Mayit. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi pondok itu. Tampak di ambang pintu yang terbuka, duduk seorang bocah laki-laki berusia sebelas tahunan. Matanya yang bulat berair, menatap kosong ke arah gundukan tanah di bawah pohon kamboja.
"Nek...," rintihnya lirih terbawa angin malam.
Bocah laki-laki yang tidak lain adalah Kajar itu tidak tahu kalau ada tiga sosok tubuh menghampirinya dari arah samping kanan dan kirinya. Bibirnya yang mungil kecil terus menerus mendesahkan suara-suara rintihan lirih mengenang Nek Ringgih yang tewas menyedihkan siang tadi.
"Akh!" Kajar memekik kaget ketika dia merasakan sesuatu yang dingin menempel di lehernya.
Perlahan-lahan bocah laki-laki itu menoleh. Matanya langsung membeliak melihat Ki Japalu dan Pantula berada di samping kanannya. Sebilah pedang tajam menempel di lehernya dari tangan Pantula. Belum juga hilang rasa kagetnya, mendadak kedua tangannya diringkus dari belakang.
Kajar kaget setengah mati, dia berusaha memberontak, tapi ujung pedang Pantula malah membenam di lehernya. Terpaksa Kajar diam tak berkutik. Ki Sampar Bayu yang meringkus anak laki-laki kecil itu mengikat tangannya dengan kuat dengan tambang. Kajar diangkat berdiri, dan didorong jatuh ke pelataran pondok itu.
"Bakar rumah ini, biar lenyap semuanya!" perintah Ki Japalu.
Pantula mengambil pelita yang tergantung di tengah-tengah ruangan depan pondok. Pelita itu dia banting ke lantai yang beralaskan papan. Api langsung berkobar besar melahap pondok kayu itu.
"Kejam! Kalian kejam...!" teriak Kajar berusaha bangkit.
"Hih!" Ki Sampar Bayu menekan tubuh anak itu dengan kakinya.
Kajar meringis kesakitan. Dadanya terasa sesak ditekan kuat oleh Ki Sampar Bayu. Rasa benci, dendam dan amarah meluap-luap di dalam dadanya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang yang ada bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Sedangkan Kajar..., baru mempelajari dasar-dasarnya saja.
Sementara api terus melahap pondok kayu itu tanpa mengenal ampun. Tanpa disadari, air mata menitik di pipi yang merah montok itu. Kajar tidak kuasa lagi melihat pondoknya hancur terbakar dalam beberapa saat lagi. Sejak bayi dia tinggal di sini bersama neneknya, dan sekarang pondok itu hancur terbakar. Hancur sudah seluruh jiwa anak itu. Kini dia benar-benar seorang yang papa, tidak memiliki apapun di dunia ini.
"Bawa anak ini!" perintah Ki Japalu. Pantula segera mengangkat tubuh Kajar dan mengempitnya di ketiak. Kajar berusaha meronta sambil menjerit-jerit, namun kempitan Pantula sangat kuat, tidak sebanding dengan Kajar yang bertubuh kecil dan lemah itu.
Pada saat ketiga laki-laki berpakaian serba hitam itu hendak melangkah, terdengar ringkik kuda disusul derap lari kuda yang cepat. Suara derap kaki kuda itu semakin terdengar dekat. Kajar langsung tahu kalau Pandan Wangi yang datang bersama kuda hitamnya. "Kak Pandan, tolong...!" jerit Kajar keras.
"Diam! Hih...!"
Pantula menotok beberapa jalan darah di tubuh Kajar. Seketika itu juga Kajar langsung diam tak berkutik. Sementara suara derap kaki kuda semakin jelas terdengar dekat. Dan sebagian pondok sudah rubuh jadi arang. Api terus membesar melahap kayu-kayu pondok kecil itu.
"Cepat, tinggalkan tempat ini!" perintah Ki Japalu.
"Biar aku hadapi dia, Kakang," kata Ki Sampar Bayu.
"Tidak perlu! Yang penting anak ini," sahut Ki Japalu.
Ketiga laki-laki berbaju serba hitam itu segera melompat cepat meninggalkan tempat itu. Pada saat itulah, Pandan Wangi muncul dengan kuda hitamnya.
Gadis pendekar berjuluk si Kipas Maut itu langsung melompat dari punggung kudanya.
"Kajar...!" teriak Pandan Wangi memanggil. Tak ada sahutan sama sekali, hanya suara percikan api membakar kayu saja yang terdengar. Sementara titik-titik air hujan sudah semakin sering datang. Seluruh langit diselimuti awan tebal menghitam.
Pandan Wangi berlarian mengelilingi pondok sambil berteriak-teriak memanggil Kajar. Tapi anak laki-laki itu tidak menyahut Pandan Wangi semakin cemas. Ragu-ragu dia masuk menerobos pondok yang dilahap api.
"Kajar, kau di dalam?" tanya Pandan Wangi keras. Tetap tidak ada sahutan.
"Apa boleh buat. Hiyaaa...!" Pandan Wangi melompat menerobos pondok yang hampir habis dilahap api. Hanya sebentar gadis pendekar berjuluk si Kipas Maut itu berada di dalam, sebentar kemudian dia sudah muncul lagi ke luar dari kepungan api. Pada saat yang bersamaan, pondok itu roboh menimbulkan suara gemuruh dan percikan bunga api.
"Kajar...," rintih Pandan Wangi lirih. "Di mana kau...!"
Pandan Wangi jatuh terduduk lemas di tanah. Matanya nanar memandangi pondok yang sudah roboh terbakar. Api mulai mengecil karena tidak ada lagi yang bisa dilahap. Sementara titik-titik air hujan semakin sering datang. Asap hitam mengepul tinggi ke udara. Sebentar kemudian, hujan pun turun dengan derasnya, bersamaan dengan jatuhnya setitik air bening dari sudut mata Pandan Wangi.

13. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang