Nek Ringgih melangkah cepat dengan mulut terkunci rapat. Kajar mengikutinya setengah berlari. Meskipun perempuan tua itu sudah tua, dan berjalan harus dibantu tongkat, tapi langkahnya ringan dan cepat seperti tidak menapak pada tanah. Kajar yang mengikuti terengah-engah mengimbangi langkah perempuan tua itu. Tapi tidak satu patah kata pun ke luar dari mulutnya.
Tiba-tiba langkah perempuan tua itu terhenti. Dia menarik tangan Kajar ke belakang. Telinganya yang tajam dapat mendengar suara ranting patah terinjak. Kepalanya sedikit dimiringkan. Tangannya menggenggam tongkat erat-erat.
"Cepat pulang, beritahu Pandan Wangi," kata Nek Ringgih berbisik pelan.
"Ada apa, Nek?" tanya Kajar tidak mengerti.
"Jangan banyak tanya! Cepat, sebelum mereka datang!"
Kajar yang tidak mengerti apa-apa, langsung saja berlari kencang menembus Hutan Ganda Mayit yang lebat. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh kecil itu ditelan kerimbunan hutan, muncul empat orang laki-laki. Dua di antaranya sudah tua, dan dua lagi masih muda-muda dan tampan. Namun sinar mata mereka menunjukkan kekejaman.
"Ki Japalu, mau apa kau mencegatku?" tanya Nek Ringgih ketus.
"Kau memang tidak bisa dikasih enak, nenek peyot!" dengus laki-laki tua berbaju kuning gading. Laki-laki tua yang menyandang pedang itulah bernama Ki Japalu. Nek Ringgih sudah bisa meraba gelagat kurang baik. Dia memandangi Ki Sampar Bayu yang berdiri di samping Ki Japalu. Sedangkan dua orang pemuda, berada di belakang dua laki-laki tua itu. Mereka adalah Segara dan Pantula. Kedua pemuda itu anak dari Ki Japalu. Nek Ringgih menyadari kalau empat orang itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tidak rendah.
"Aku dipanggil untuk menolong salah seorang penduduk Desa Watu Ampar. Apakah aku harus menolak? Sedangkan pekerjaanku memang harus menolong orang sakit!" kata Nek Ringgih tetap ketus.
"Kau boleh saja menolong orang sakit, Nek Ringgih. Tapi jangan orang-orang dari Desa Watu Ampar! Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali, tapi kau masih juga bandel!" dengus Ki Japalu.
"Selama hidupku menjadi tabib, baru kali ini dilarang mengobati orang...," gumam Nek Ringgih mencibir.
"Sebaiknya perempuan tua itu jangan dikasih hati, Kakang Japalu. Dia bisa membahayakan kita semua nantinya!" bisik Ki Sampar Bayu pelan dekat telinga kakaknya.
Nek Ringgih yang mendengar kata-kata bisikan itu, langsung waspada. Lebih-lebih melihat Segara dan Pantula bergerak ke arah kiri dan kanannya. Tangan mereka sudah memegang kepala gagang pedang yang masih tergantung di pinggang.
"Aku beri kesempatan padamu sekali lagi untuk hidup, Nek Ringgih," kata Ki Japalu.
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu!" sahut Nek Ringgih tetap ketus.
"Kau memang tidak bisa dikasih untung, perempuan peyot!" bentak Segara geram.
"Heh! Manis sekali mulutmu bocah, apa ayahmu tidak pernah mengajarkan santun pada orang tua?" sinis suara Nek Ringgih.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Segara kalap.
"Segara!" bentak Ki Japalu.
Tapi terlambat, Segara yang cepat marah sudah menerjang Nek Ringgih seraya mencabut pedangnya. Perempuan tua ahli pengobatan itu hanya memiringkan sedikit tubuhnya ke kanan. Kibasan pedang Segara hanya lewat beberapa helai rambut di bahu Nek Ringgih. Bahkan tanpa diduga sama sekali, kaki Nek Ringgih melayang cepat menghantam perut pemuda itu.
"Hugh!" Segara mengeluh pendek seraya membungkukkan badannya. Belum lagi Segara dapat menghilangkan rasa mual di perutnya, satu sampokan tangan kiri Nek Ringgih membuat pemuda itu terjungkal ke belakang. Merah padam muka Segara dipermalukan di depan ayahnya. Dia menggeram keras, dan langsung menyerang kembali dengan ganas.
"Segara, hentikan! Dia bukan lawanmu!" seru Ki Sampar Bayu keras menggelegar.
Tapi Segara sudah menulikan telinganya. Dia tidak dapat lagi mengukur tingginya langit dan dalamnya lautan. Darah mudanya menggelegak panas mendengar kata-kata Nek Ringgih yang halus namun bernada menghina ayahnya. Segara menghujani perempuan tua itu dengan sabetan-sabetan pedangnya yang cepat dan dahsyat Namun seperti yang dikatakan Ki Sampar Bayu, Nek Ringgih memang bukan tandingan pemuda itu.
Beberapa kali serangan Segara dapat dipatahkan dengan mudah. Bahkan tidak jarang pemuda itu harus jatuh bangun terkena hantaman tongkat Nek Ringgih. Dalam sebentar saja, darah sudah mengucur dari sudut bibir pemuda itu. Wajah dan tubuhnya sudah biru lebam, dan bajunya kotor oleh tanah merah.
"Hhh, dia bisa mati di tangan perempuan tua itu," desah Ki Japalu memperhatikan anaknya semakin kewalahan menghadapi Nek Ringgih.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Ki Sampar Bayu melenting deras menerjang Nek Ringgih. Pada saat itu, ujung tongkat Nek Ringgih sudah mengarah ke dada Segara.
Plak!
Telapak tangan Ki Sampar Bayu memapag tongkat Nek Ringgih. Perempuan tua itu melompat ke belakang beberapa tindak. Dia mendengus jengkel melihat kecurangan Ki Sampar Bayu. Sedangkan Segara segera mundur dan ditolong adiknya. Ki Japalu memeriksa keadaan tubuh anaknya. Segara membaringkan tubuhnya di bawah pohon. Napasnya tersengal-sengal memburu, seluruh tubuhnya terasa sakit seakan seluruh tulang-tulangnya remuk.
Sementara itu Ki Sampar Bayu berdiri tegak dengan sikap menantang. Nek Ringgih hanya memandangi saja dengan sikap tenang. Namun sinar matanya memancarkan kebencian yang amat sangat. Ketenangan Nek Ringgih juga diimbangi dengan sikap waspada. Dia tahu siapa Ki Sampar Bayu. Seorang tokoh tua yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak mudah untuk menandingi kesaktiannya.
"Kau tidak apa-apa, Segara?" Tanya Ki Japalu khawatir melihat keadaan anaknya.
"Dadaku, Ayah...," rintih Segara. Dua kali Segara terbatuk, darah segar muncrat ke luar dari mulutnya. Ki Japalu terbeliak melihat ada gumpalan hitam di dalam darah itu. Dia segera merobek baju di bagian dada anaknya. Tampak gambar lima jari tangan hitam tertera di dada Segara.
"Aji 'Cakar Beracun'...," desis Ki Japalu.
Laki-laki tua itu menggeram hebat. Matanya langsung merah membara nyalang. Rupanya Nek Ringgih mengeluarkan aji 'Cakar Beracun' ketika menghadapi Segara. Ajian yang sangat dahsyat. Orang yang terkena ajian itu akan mati perlahan-lahan dengan tubuh hangus bagai arang. Dan bagian dada Segara juga mulai menghitam. Warna hitam itu terus merayap perlahan-lahan ke seluruh tubuhnya.
"Keparat...!" geram Ki Japalu.
Laki-laki tua itu langsung melompat dengan amarah memuncak. Tanpa banyak bicara lagi, dia segera menyerang Nek Ringgih dengan jurus-jurus andalannya. Bahkan Ki Japalu langsung mengerahkan aji 'Pukulan Karang Hitam'. Suatu ilmu pamungkas yang jarang digunakan Ki Japalu. Seluruh jari-jari tangan dan pergelangannya jadi berwarna hitam pekat. Batu-batu dan pepohonan yang terkena pukulannya langsung hancur jadi debu.
Nek Ringgih yang sudah kerepotan menghadapi Ki Japalu, semakin dibuat kewalahan dengan ikut campurnya Ki Sampar Bayu dan Pantula. Perempuan tua itu semakin terdesak dikeroyok tiga. Beberapa kali pukulan dan tendangan Ki Sampar Bayu dan Pantula mendarat di tubuhnya. Sedangkan Nek Ringgih tetap menghindari bentrokan langsung dengan Ki Japalu. Dia tahu kedahsyatan aji 'Pukulan Karang Hitam' itu. Tidak mungkin dia menandinginya dengan aji 'Cakar Beracun'.
"Mampus kau, perempuan peyot! Hiyaaa...!" teriak Ki Japalu menggelegar.
Seketika itu juga dia mendorong kedua tangannya ke depan. Dan pada saaat itu pula kaki Pantula berhasil menggebuk punggung Nek Ringgih. Tak dapat dihindarkan lagi, kedua tangan hitam Ki Japalu mendarat telak di dada Nek Ringgih.
"Aaakh...!" Nek Ringgih menjerit melengking.
Darah hitam kental menyembur dari mulutnya. Seluruh dadanya melesak masuk ke dalam. Nek Ringgih masih mencoba untuk kabur. Tapi Ki Sampar Bayu lebih cepat lagi melepaskan jarum-jarum beracunnya. Kembali Nek Ringgih memekik nyaring ketika jarum-jarum beracun menembus tubuhnya.
Bruk!
Tubuh perempuan tua ahli pengobatan itu ambruk ke tanah. Dia menggeliat-geliat sambil meraung-raung kesakitan. Seluruh punggungnya bolong oleh jarum-jarum beracun, dan dadanya melesak dalam dengan tulang-tulang remuk.
"Kau harus mampus, perempuan tua. Hih...!"
Ki Japalu merampas pedang Pantula, dan mencincang tubuh Nek Ringgih. Ki Japalu bagai kesetanan, amarahnya tak dapat lagi terkendalikan. Hancur sudah tubuh Nek Ringgih dicincang bagai dendeng sapi.
"Kakang...!" Ki Sampar Bayu menahan ayunan pedang di tangan Ki Japalu.
"Dia telah membunuh anakku! Biar kucincang dia!" geram Ki Japalu memberontak.
"Dia sudah mati, Kakang!" seru Ki Sampar Bayu seraya merampas pedang Ki Japalu.
Pantula menerima pedangnya dari tangan Ki Sampar Bayu, dan memasukkan kembali ke sarungnya. Pantula segera menghampiri mayat kakaknya yang sudah hangus seluruh tubuhnya. Segara tewas dengan tubuh hitam terkena ajian 'Cakar Beracun'. Pantula memandangi tubuh kakaknya yang perlahan-lahan terkikis jadi tepung hitam.
"Kakang...," suara Pantula tersekat di tenggorokan.
Pantula menoleh ketika pundaknya ditepuk. Ki Sampar Bayu dan Ki Japula sudah berdiri di belakangnya.
"Ayo kita pergi," ajak Ki Sampar Bayu.
"Tapi, Kakang..., Paman."
"Debu-debu jasad Segara akan hilang tersapu angin," kata Ki Sampar Bayu.
Pantula berat sekali meninggalkan Hutan Ganda Mayit ini. Sebentar dia menoleh ke arah Segara yang sudah menjadi debu. Sedikit demi sedikit tubuh tepung itu mulai tersapu angin. Dengan perasaan berat, pemuda itu melangkah mengikuti kedua laki-laki tua yang sudah berjalan lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
13. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Maut
AksiSerial ke 13. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.