BAGIAN 7

1.1K 38 0
                                    

Keringat mengucur deras membasahi wajah dan tubuh Pantula. Namun pemuda itu terus saja menggali sebuah makam tanpa mengenal lelah. Sementara matahari bersinar terik, tepat di atas kepala. Tidak sedikitpun Pantula menghiraukan sengatan matahari yang amat terik itu. Dia terus menggali kuburan itu.
"Hey...!"
Pantula seketika berhenti menggali ketika mendengar satu bentakan keras. Dia mengangkat kepalanya yang basah oleh keringat. Tampak Sarman, Pandan Wangi dan Kajar berdiri tidak jauh darinya. Sarman membeliak lebar melihat kuburan yang amat dikenalinya sudah terbongkar hampir setengah.
"Pantula...! Apa yang kau lakukan di kuburan ibuku?" keras suara Sarman menahan amarah.
Pantula langsung melompat naik.
Sebentar dia memandang Sarman, sebentar kemudian matanya berpindah menatap lubang kuburan yang sudah tergali cukup dalam. Hampir dia tidak bisa mempercayai pendengarannya. Matanya beralih menatap sebuah batu nisan bertuliskan sebaris nama. Tidak! Dia tidak salah memilih makam ini. Tapi....
"Biadab! Binatang kau, Pantula!" geram Sarman meluapkan amarahnya. "Heh...!"
Pantula tidak bisa lagi berbuat banyak. Sarman sudah melompat cepat dan langsung menyerangnya dengan sengit. Terpaksa pemuda itu berkelit berlompatan menghindari serangan-serangan Sarman yang beruntun dan dahsyat. Namun jelas sekali terlihat kalau Pantula ragu-ragu melayani Sarman yang hanyut terbawa amarah  melihat  kuburan  ibunya diacak-acak.
"Berhenti!" terdengar suara bentakan tiba-tiba.
Sebuah bayangan biru berkelebat cepat ke tengah-tengah pertarungan itu.
Duk, duk...!
Pantula dan Sarman terpental beberapa langkah ke belakang. Tampak Pandan Wangi berdiri di tengah-tengah dengan tangan terentang lebar. Pantula dan Sarman meringis merasakan sesak pada dadanya, kena dupakan tangan pendekar wanita si Kipas Maut itu.
"Minggir, Pandan! Biar kuhabisi binatang keparat ini!" geram Sarman gusar.
Pandan Wangi tidak mempedulikan peringatan Sarman. Dia berbalik menghadap pada Pantula. Sebentar gadis itu mengamati wajah dan tubuh yang kotor berkeringat kena tanah merah. Pantula juga membalas tatapan itu dengan tajam. "Kenapa kau merusak pusara itu?" tanya Pandan Wangi.
"Aku hanya ingin membuktikan, apakah itu benar-benar makam atau bukan," sahut Pantula sambil melirik Sarman.
"Kau hanya mencari-cari alasan saja, Pantula. Sudah jelas itu makam ibuku!" sergah Sarman gusar.
Pantula memandang penuh arti dan segudang tanda tanya pada Sarman. Pandangannya kemudian berubah-ubah, dari makam yang sudah terbongkar kepada Sarman secara bergantian. Sepertinya dia ingin meyakinkan kalau itu benar-benar makam ibunya Sarman. Tapi.... Tidak mungkin, dia tidak salah dengar. Ayahnya bilang kalau ini makam ibunya yang telah meninggal ketika melahirkannya dulu.
"Pantula, kau tahu itu makam siapa?" tanya Pandan Wangi.
"Jelas aku tahu!" sahut Pantula. "Kenapa kau membongkarnya?"
"Aku sudah katakan, kalau hanya ingin membuktikan kalau makam itu benar atau cuma seonggok tanah diberi batu nisan!" tegas jawaban Pantula.
Pandan Wangi jadi berkernyit juga keningnya. Dia sudah menduga ada yang tidak beres di antara Pantula dan Sarman, juga makam ini.
"Pantula, kenapa kau begitu yakin kalau makam ini hanya palsu belaka?" tanya Pandan Wangi berusaha menjadi penengah yang adil.
"Aku tidak percaya kalau ibuku meninggal karena melahirkanku. Ki Japalu yang kukenal selama ini sebagai ayahku mengatakan kalau di makam inilah ibuku beristirahat," sahui Pantula terus terang.
"Dusta!" sentak Sarman berang. "Kau mau coba-coba cari perkara denganku, heh!"
"Tenang, Sarman!" bentak Pandan Wangi kesal melihat sikap Sarman yang sukar mengendalikan diri.
"Huh!" Sarman mendengus kesal. "Sejak aku lahir, aku memang tidak pernah mengenal wajah ibuku. Dan sejak usiaku lima tahun, Ayah mengirimku ke Padepokan Wulung. Belum berapa lama aku berada kembali di Desa Watu Ampar ini. Terus terang, sebenarnya aku tidak suka dengan sikap dan tindakan Ayah dan Paman Sampar Bayu, dan aku tidak percaya ketika mereka mengatakan ibuku meninggal dan dikuburkan di sini," Pantula menjelaskan panjang lebar.
"Kau belum pernah mengunjungi makam ibumu sejak kecil?" tanya Pandan Wangi semakin yakin adanya ketidakberesan.
"Tidak, dan aku memang tidak pernah menanyakan kenapa Ibu meninggal dan di mana makamnya? Ayah selalu mengelak kalau aku membicarakan tentang Ibu," Pantula mengakui.
"Jangan percaya kata-katanya, Pandan! Dia itu ular," sergah Sarman. Pandan Wangi menatap Sarman tajam.
Agak dongkol juga gadis itu dengan sikap Sarman yang cepat marah. Sangat jauh berbeda dengan watak ayahnya yang arif bijaksana dan sabar dalam menghadapi sesuatu perkara.
"Aku sudah berumur sekitar tiga belas tahun ketika Ibu dikuburkan di sini, jelas sekali aku melihat," sambung Sarman.
"Kau tidak melihat jenazah ibumu, kan?" selidik Pandan Wangi.
"Dari mana kau tahu...?" Sarman terkejut.
"Ayahmu sendiri," sahut Pandan Wangi. "Hampir semua penduduk Desa Watu Ampar juga tidak pernah tahu tentang meninggalnya ibumu. Kematian ibumu merupakan misteri yang tidak terpecahkan sampai sekarang. "
Sarman langsung bungkam. Kata-kata Pandan Wangi memang ada benarnya. Dia sendiri tidak tahu, bagaimana ibunya meninggal, dan dia juga tidak melihat jenazah ibunya lagi. Yang dia tahu, banyak orang mengantarkan sampai ke kuburan ini, dan sebentuk tubuh terbungkus kain putih dimasukkan ke dalam lubang, lalu ditimbuni dengan tanah. Hanya itu yang diketahui Sarman. Ayahnya tidak pernah berkata banyak tentang kematian ibunya.
Sejak itu Ki Dandung mengundurkan diri jadi Kepala Desa Watu Ampar, dan kedudukannya langsung digantikan oleh Ki Japalu yang mengangkat dirinya sendiri jadi kepala desa dengan persetujuan Ki Dandung. Dan sejak itu pula kehidupan di Desa Watu Ampar berubah drastis. Kesengsaraan dan malapetaka silih berganti tanpa henti. Lebih-lebih setelah kemunculan seorang tokoh tua sakti yang amat ditakuti membantu Ki Japalu dalam mengendalikan Desa Watu Ampar ini. Tokoh tua itulah Ki Sampar Bayu.
"Nah, Sarman. Apakah kau ingin tahu, yang dikubur di sini ibumu atau bukan?" Pandan Wangi menawarkan pilihan. Sarman tidak segera menjawab.
Kelihatan dari raut wajahnya kalau dia ragu-ragu untuk menentukan pilihan itu. Bola matanya berputar antara Pandan Wangi, Pantula dan kuburan yang sudah berlubang besar cukup dalam. Tinggal sedikit lagi, pasti sudah bisa kelihatan isi makam ini.
"Baik, kau boleh meneruskan pekerjaan, Pantula. Tapi kalau temyata yang dikuburkan benar ibuku, kau harus mati di tanganku!" kata Sarman mengancam.
Tanpa membuang waktu lagi, Pantula segera melompat masuk ke dalam lubang kuburan itu. Dia langsung saja menggali kuburan yang sudah sedikit lagi bisa terlihat isinya. Sementara Sarman menyaksikan dengan mata kosong dan dada bergemuruh.
Pantula menengok ke atas ketika paculnya membentur dinding kayu. Pandan Wangi menatap Sarman yang menengadahkan kepalanya ke atas. Perlahan-lahan Pantula mulai membuka papan-papan yang menutupi dasar kuburan ini. Satu persatu dia mengangkat papan itu. Tampak sebentuk tubuh terbungkus kain putih kotor tergolek di dasar makam.
Suara desah dan pekikan terdengar ketika Pantula membuka kain yang menyelubungi bentuk tubuh itu. Sarman langsung memejamkan matanya dengan kepala tengadah ke atas. Sementara Pantula kembali melompat naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh Sarman ambruk berlutut di pinggir kuburan yang berlubang itu.
"Oh..., tidaaak...!" rintih Sarman sambil memukul-mukul tanah merah bekas galian itu.
Pandan Wangi menarik napas panjang. Dia menatap Sarman dan Pantula bergantian. Kedua pemuda itu hanya menunduk saja dengan raut wajah sukar dilukiskan. Betapa tidak...? Bentuk tubuh yang terbungkus kain kafan itu ternyata hanya seonggok gedebok pisang. Tidak ada mayat di sana....
"Tidak, oh...! Ibu..." rintih Sarman seperti bocah ditinggalkan pergi ibunya.
Tak ada lagi yang bisa mengeluarkan suara. Sementara Pandan Wangi mengayunkan langkahnya mendekati Kajar yang hanya berdiri saja agak jauh di bawah pohon kamboja. Sementara dua pemuda tetap berlutut di pinggir kuburan itu. Suasana haru meliputi sekitar kuburan itu. Pada saat itu terdengar derap langkah kuda dari kejauhan.
"Kak! Itu dia yang meminjam kuda kita!" seru Kajar keras sambil menunjuk ke arah penunggang kuda hitam yang bergerak cepat melintas menuju ke arah Barat.
"Rangga...," desis Pandan Wangi begitu mengenali penunggang kuda hitam itu. Secepat kilat Pandan Wangi melenting mengejar penunggang kuda hitam yang diyakininya adalah Rangga.
"Kakang...!"
Sarman dan Pantula yang sedang dirundung kegalauan, terkejut melihat kejadian yang begitu cepat. Mereka langsung menoleh ke arah Pandan Wangi yang berlari cepat mengejar kuda hitam itu. Sementara Kajar berteriak-teriak memanggil sambil berlari.
Pandan Wangi mengerahkan ilmu lari cepat sekuat-kuatnya. Tapi bagaimanapun juga, kuda hitam yang dikendarai Pendekar Rajawali Sakti itu lebih cepat lagi. Kuda hitam itu berpacu bagaikan terbang saja layaknya, sulit untuk dikejar meskipun menggunakan ilmu lari cepat.
Pandan Wangi menghentikan larinya. Napasnya tersengal-sengal memandangi punggung penunggang kuda hitam yang semakin jauh meninggalkannya. Sekejap kemudian, bayangan kuda hitam itu sudah tidak kelihatan lagi. Lenyap ditelan lebatnya Hutan Ganda Mayit.
"Kak...! Kak Pandan...!" teriak Kajar memanggil dengan suara serak.
Pandan Wangi menoleh, tampak Kajar digendong Sarman yang berlari cepat. dibuntuti oleh Pantula. Sebentar saja mereka sudah di samping Pandan Wangi. Mereka semua sama-sama memandang ke arah Hutan Ganda Mayit sebelah Barat.
"Dia yang memberitahu aku kalau aku bukan anak Ki Japalu," kata Pantula bergumam.
Sarman memandang pada Pantula yang berdiri di sampingnya. Pandan Wangi tidak mempedulikan, dia tetap memandang ke arah Hutan Ganda Mayit sebelah Barat. Pikirannya masih dipenuhi dengan kemunculan Rangga. Kerinduannya pada pendekar muda itu sudah tidak dapat tertahan lagi.
"Ki Japalu tetap mengakuiku sebagai anaknya, meskipun aku terus bertahan minta dia berterus-terang," sambung Pantula.
"Dan dia menunjukkan kuburan itu sebagai kuburan ibumu?" tebak Sarman.
"Ya, dan aku tidak mau percaya begitu saja. Aku harus membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri."
"Perbuatan konyol! Kalau memang kuburan itu ada isinya, bagaimana?" dengus Sarman. Wajah Sarman langsung berubah begitu teringat kembali dengan kuburan yang berisi gedebok pisang itu. Sepuluh tahun lebih dia selalu percaya kalau ibunya sudah meninggal, dan itu adalah pusaranya. Tapi sekarang....
"Aku harus tanyakan ini pada Ayah! Harus...!" seru Sarman agak tertahan.
Sarman langsung melompat meninggalkan tempat itu, kembali menuju ke Desa Watu Ampar. Sementara Pandan Wangi masih tetap berdiri terpaku tidak peduli. Gadis itu baru tersadar saat tangannya ditarik Kajar.
"Oh...!"
"Kak, mereka mau menemui Ki Dandung," kata Kajar.
"Mereka...? Mereka siapa?" Tanya Pandan Wangi seperti bermimpi.
"Kakang Sarman dan Kakang Pantula."
"Ah...!"
Pandan Wangi baru tersadar penuh dengan apa yang baru terjadi. Tapi kebimbangan kembali melanda dirinya. Sesaat gadis itu menimbang-nimbang, lalu dengan cepat dia menarik tangan Kajar, dan membawanya kembali ke Desa Watu Ampar.

13. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang