PART.3

36 3 0
                                    

Ia tatap seksama benteng-benteng yang dipenuhi kawat berduri berharap menemukan celah untuknya meloloskan diri. Iapun tampak menoleh ke kanan kiri untuk memastikan bahwa tak ada orang yang memperhatikannya. Dan setelah dirasa cukup aman, iapun berkali-kali mencoba memanjatnya namun gagal karena benteng itu terlalu tinggi.

“Oow...sial, dimana gua bisa menemukan jalan keluar dari neraka ini?” gumamnya seraya mendengus kesal.

“ehmm... Assalamu’alaikum... Apa yang sedang kau lakukan di sini akhi?” tiba-tiba suara seseorang mengejutkan Jamal dari belakang. Jamal seketika terperanjat kaget dan lekas menoleh ke arah suara.

“A--aku, aku... aku hanya sedang berkeliling, mau mengetahui area pesantren ini,” sahut Jamal asal.

“Ya sudah, sekarang lebih baik antum ikut ana, sebentar lagi kita akan berbuka puasa di mesjid. Insya Allah, besok ana temani antum berkeliling pesantren,” ajak seorang pemuda tampan nan ramah pada Jamal.

“TIDAK... aku akan kembali ke kamar saja,” jawab Jamal yang membuat pria itu mengerutkan dahi.

“Sepertinya antum santri baru di sini? Kenalkan, namaku Yusuf, ketua santri di pondok ini. Jika antum memerlukan sesuatu, jangan sungkan, beritahu saja ana! Insya Allah ana akan membantumu jika ana mampu,” ujar Yusuf menawarkan jasanya seraya mengulurkan tangan.

“Sombong bener dia... belum tahu siapa gua. Gua juga ketua geng kali, tanpa gua black stone gak bakal setenar sekarang!” batin Jamal bergumam.

“Akhi... apa ada masalah?” tanya Yusuf yang nampak terheran-heran saat melihat raut wajah Jamal yang menampakan ketidaksukaannya pada dirinya.

“A... ti-tidak, tidak apa-apa. Kau benar, gua baru saja datang dari Jakarta. Nama gua Jamal, dan kau bisa memanggilku EL,” jawab Jamal seraya menyambut uluran tangan Yusuf.

Tak ada jawaban dari Yusuf, ia hanya tersenyum seraya menggeleng kepala melihat tingkah dan ucapan Jamal yang terdengar runcing di telinga.

Seindah namanya, Yusuf adalah seorang pemuda cerdas seumuran Jamal yang memiliki paras rupawan, santun dan berpengetahuan di atas rata-rata, sehingga sang pemilik pesantrenpun mantap menunjuknya menjadi ketua santri di pondok itu. Perangainya yang patut diteladani membuat banyak orang tua mengidamkan seorang menantu sesempurna dia, tak ayal jika para santriwatipun mengagumi dan berangan tinggi untuk menjadi pendampingnya kelak. Termasuk Humaira, sudah lama ia mengagumi kepribadian Yusuf dalam diam, meskipun ia tahu bahwa Yusuf pun tampak menaruh hati padanya sejak lama, namun karena keteguhannya dalam mempertahankan prinsip, keduanya  sama-sama saling menjaga perasaan satu sama lain untuk tidak berpacaran sebelum menikah.

Di tempat lain... Humaira yang kini hendak mengganti pakaiannya untuk bersiap pergi ke mesjid, tanpa sengaja ia merasakan sebuah benda bersarang di sakunya. Iapun tampak terbelalak saat mendapati benda yang baru saja dirogoh dari sakunya itu ternyata sebuah dompet. Sesaat ia berusaha mengingat bagaimana dompet itu bisa berada di sakunya, dan sesaat kemudian iapun kembali membelalakan mata saat berhasil mengingatnya.

Perlahan ia buka dompet itu dengan ragu-ragu, dan didapatinya sebuah foto pemuda tampan terpampang di saku dompet bagian depan. Iapun kemudian mencoba menguak satu per satu saku dompet berikutnya dan mengambil sebuah tanda pengenal dari sana.

“Mohammad Jamal El Fattah” gumam Humaira mencoba mengeja tulisan yang tertera di kolom nama tanda pengenal itu.

“Ya Allah... apakah dia...?”

Humaira tiba-tiba menghentikan ucapannya seraya membekap mulutnya saat mengingat pemilik dompet yang kini ada di tangannya itu adalah orang yang telah salah mengambil kopernya. Dada Humaira seketika bergemuruh saat ia menyadari orang yang ditemuinya di sekitar bandara tempo hari itu adalah pemilik koper yang berisi barang terlarang, yang berhasil memaksanya untuk mengukir sejarah buruk dalam hidupnya karena harus mengalami bermalam di sel tahanan.

MAHAR (Original Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang