“Kau disini?” tanya Jamal seraya menatap penuh selidik pada Humaira untuk memastikan bahwa ia tidak salah orang.
"Hahaha... hahaha... kukira kau gadis alim, taunya kau sama saja sepertiku. Hahaha....” kembali Jamal berujar seraya terbahak-bahak.
“Apa maksudmu???” Humaira tak mengerti dengan apa yang baru saja Jamal ucapkan.
“Hahaha... lho lucu, lho berlaga bego. Udah lah ngaku aja, lho disini karena orang tua lho nyemplungin lho buat direhabilitasi, kan? Haha... ayolah ngaku saja!” ujar Jamal yang dikiranya keberadaan Humaira di sana untuk direhabilitasi sama seperti dirinya.
“Sembarangan! Kau pikir aku perempuan apa? Dasar berandal, ulahmu bikin aku sengsara tau!”
“Hallo... apa gua gak salah dengar? Justru gua yang sengsara karena barang berharga gua raib di tangan lho,”
“Itu salahmu yang teledor. Nyelonong aja ngambil barang orang. Apa memang kau sudah terbiasa seperti itu?”
“Hei, gua memang berandal tapi gua bukan maling. Najis gua ambil barang lho yang gak ada harganya itu,”
“Ya sudah, balikin koperku sekarang juga, aku gak mau barang-barangku disentuh berandal sepertimu!”
“Hahaha... sorry, gua gak bisa balikin barang-barang lho, semuanya udah gua sumbangin ke anak-anak jalanan disekitar rumah gua, dan sebagian lagi udah gua pake lap buat nyuci mobil gua. Kecuali... ,”
“Kecuali apa? cepat balikin barang-barangku! Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus segera mengembalikannya dalam keadaan utuh, TITIK!”
“Udah gua bilang, semuanya udah habis gua sumbangin. Kecuali... ,”
“Kecuali apa???” Almahira tampak penasaran.
“Kecuali... pakaian dalam lho, gua simpan rapi buat kenang-kenangan.”
GUBRAAKkkk!!! Humaira merasa lututnya seketika melemas dengan tubuh bergetar disertai keringat yang merembes membasahi dahinya. Rona merah terlihat jelas merias wajah putihnya yang panas. Ia cengkram kuat bajunya dengan nafas yang memburu berusaha kuat menahan amarahnya saat melihat Jamal menaik-turunkan kedua alisnya mengejek. Mata bening Humaira tiba-tiba memerah dan pandangannya mengabur tertutupi genangan air yang perlahan berjatuhan saat tak mampu lagi menahan rasa malu dan marah yang teramat.
“Hei, lho mau kemana? Tunggu! Lho kenapa nangis?” tanya Jamal saat Humaira pergi begitu saja meninggalkannya. “Uuhhh... payah, baru aja diusilin segitu udah nangis, gimana kalau beneran gua museumin tu pakaian, pingsan kali ya? Hahaha...” ujarnya seraya terbahak jahil tanpa sedikitpun merasa bersalah.
***
Humaira yang semula merasakan kantuk berat hingga tak bisa melanjutkan amalan tilawahnya, tiba-tiba saja tak bisa memejamkan mata sekejap pun. Bayang-bayang Jamal yang telah mengusilinya terus berputar-putar di kepalanya hingga ia beberapa kali mengalirkan air mata saat rasa malu membuncah mengganggu ketenangannya. Berkali-kali ia membolak-balik posisi tidur, menahan gelisah, malu dan marahnya yang mengubun-ubun.
Seperti halnya Humaira, Jamalpun tampak gelisah, namun bukan karena malu atau pun marah. Ia tersiksa menahan keinginannya untuk mengonsumsi obat terlarang yang tak ia dapatkan. Jamal meringkuk dengan gigi menggertak dan tubuh menggigil hebat. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya dan sorot matanya liar mencari-cari sesuatu yang sangat diinginkannya. Hingga salah seorang santri yang baru saja kembali dari mesjid menemukannya dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
“Asslamu’alaikum, Bah!” Santri itu menggedor pintu rumah sang kiyai untuk melapor.
“Wa’alaikum salam. Ada apa Faisal?” sahut Abah heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR (Original Version)
RomanceMengisahkan tentang perjalanan seorang pecandu obat-obatan terlarang yang berhijrah ke pondok pesantren dengan tujuan awal untuk menghindari kejaran polisi. Siapa sangka hal itu justru membuatnya perlahan berubah. Di tengah perjalanan ia tertarik pa...