Dona

35 1 1
                                    


Dona, pacarku yang sangat aku sayangi. Orang yang paling berharga dalam hidupku dan selalu ada disampingku setelah kematian Ibuku. Hari ini tepat 3 tahun hari jadi kami, dan ntah kenapa hari-hari selalu berjalan dengan cepat.

"Happy anniversary, Sayang!" Dona memelukku dengan hangat.

"Iya, happy anniversary juga"

"Kok gitu? Gini dong ngomongnya, 'happy anniversary, sayang'." Dona langsung mencubit punggungku namun masih memelukku dengan erat.

"Iya, iya. Happy anniversary, sa..yeang" ucapku gugup.

"Hahaha, udah ada kemajuan! Tahun depan semoga sudah lancar ya!" Dona melepas pelukannya dan menggenggam tanganku dan kami pun duduk di meja restoran yang sudah di pesan oleh Dona.

Dalam hubungan kami, aku selalu menjadi yang pasif dibanding Dona. Kalau ditanya "kenapa bisa jadian sama Dona?" dan "Siapa yang nembak? Aku atau Dona?" jawabannya adalah Dona.

Namaku Jefri, orang yang beruntung itu. Apa maksud Tuhan menciptakan Dona disaat aku ingin menyusul Ibuku ke surga. 3 tahun lalu, 1 bulan sebelum Ibuku meninggalkan dunia ini, ada seorang perempuan yang sama sekali tidak aku kenali mendatangiku saat aku sedang menuju ke parkiran saat selesai kampus.

"Hei!"

"Hah? Siapa ya?" tanyaku bingung.

"Dona! Hehe"

"Kenapa ketawa?" aku bingung menghadapi orang seperti dia.

"Eh, engga kok. Jangan sangka gua orang gila ya! Huu" jawabnya sambil memukul lembut bahuku.

"Terus kenapa? Kok tiba-tiba? Lagian kita gak satu kelas, satu jurusan, bahkan fakultas."

"Ciee tau! Pasti anak organisasi kan?" tanya Dona sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuknya yang mungil.

"Ya, nebak aja sih. Awas, aku mau pulang." Aku langsung lain ke motor dan menyalakannya.

"Okedeh"

Perasaanku gak enak dicampur bingung. Kok ada yang berat ya?

"Heh, kamu ngapain?" ternyata Dona sudah duduk dibelakang dan memegang tasku.

"Loh? Bukannya mau nebengin?"

"Enak aja! Turun!" bentak ku.

"Gak mauuuuuu" Dona langsung memelukku dari belakang, walaupun tangannya gak sampai karena tasku sedikit tebal karena penuh.

"Yaudah, mau dianterin kemana?" tanyaku pasrah.

"Yaa.......... Kemana ajalah, yang penting happy!" jawab Dona dengan semangatnya namun membuatku berpikir, kenapa ada orang se agresif ini di dunia ini dan kenapa harus aku yang bertemu sama orang yang agresif itu.

Karena pasrah dan Dona sudah kekeuh gak mau turun, akhirnya aku membawa Dona ke toko buku di Kota. Karena aku belum membeli satu buku wajib Sosiologi Komunikasi. Dan setelah sampai Dona langsung ngacir ke bagian buku komik, sementara aku langsung mencari buku yang ingin ku beli. Setelah ketemu, aku langsung mencari Dona ke bagian buku komik.

"Kemana tuh anak? Perasaan tadi disini." Aku masih mencari Dona yang tiba-tiba hilang.

"Tadaaa! Ciee nyariin aku cieeeeee" Dona mengagetkanku dari belakang.

"Astaga!" Akupun terjatuh saking kagetnya, dan jantungku lagi-lagi berdetak dengan sangat cepat dan membuat nafasku jadi tak beraturan.

"Jefri? Gua becanda doang, Jef! Jefri! Tolong!" suara teriakan Dona tak begitu terdengar olehku. Aku, lebih tepatnya keluargaku memiliki penyakit aneh, jantung kami bereaksi dengan sangat cepat kalau kaget, dikagetin, panik, dan stress.

Jantungku semakin gak karuan, karena aku tidak dalam posisi siaga. Aku lengah karena aku sedang lelah hari ini, setelah kuliah harus ikut rapat yang membosankan karena aku harus mengatakan hal yang sama ke kepala divisi di organisasi kampus.

"Jefri? Jefri! Akhirnya.." sepertinya aku pingsan, ada air mata di pipiku. Aku nangis? Tapi cuma sebelah yang basah.

"Jefri! Maafin gua ya! Gua gak tau kalau lo ada penyakit!" ternyata Dona ada disampingku dan menangis seperti orang gila dari awal aku pingsan, kata susternya.

"Jefri maafin gua, Jef!" Dona masih menangis dengan keras, padahal kami lagi di UGD.

"Iya, iya udah. Malu diliatin."

"Pokoknya gua harus balas budi ke lo! Gua janji gak bakal bikin lo kayak gini lagi, Jef!" Dona langsung memegang tangan kiri gue.

"Iya, iya udahlah." Aku masih sangat lemah saat itu. Aku gak mau memperpanjang masalah.

Setelah dua jam aku dan Dona di UGD, aku mulai sedikit merasa baikan dan Dona nganterin aku pulang karena aku gak kuat bawa motor. Walaupun selama perjalanan pulang aku masih dengar Dona terisak-isak.

"Assalamualaikum! Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam, iya ada apa ya? Eh Jefri! Kamu kenapa, Nak?" Ibuku langsung memelukku dan merebahkanku ke sofa.

"Ibuuu maafin Donaaaaaaaa" Dona menangis lagi dilantai.

"Eh, kamu jangan nangis, Nak! Aduh, Ibu jadi bingung ini!" Ibuku tampak kebingungan karena harus siapa yang didulukan, Anaknya yang sakit atau tamunya yang menangis.

.

"Oh, jadi kamu teman kampusnya Jefri?"

"Engga cuma teman kampus, Bu. Saya juga pacarnya Jefri!" aku kaget dan reflek padahal badanku saat itu lagi susah banget mau gerak.

"Hah? Pacar? Jefri gak cerita tuh." Jawab Ibu dengan nada sarkasnya.

"Hahaha, Jefri mah gitu, Bu. Sukanya yang backstreet." Aku yang tak bisa apa-apa cuma bisa menikmati kebohongan yang ditunjukkan Dona ke Ibu.

"Eng...engga, Bu." Akhirnya aku ada tenaga untuk mengklarifikasi fitnah ini.

"Iya juga gapapa. Ya gak, Don?" celetuk Ibu ke Dona.

"Hah? Iya, Bu! Hihihi" Jawab Dona sambil kaget, mungkin dia juga kaget karena Ibuku merespon candaannya.

"Yaudah, udah malam ini. Dona rumahnya dimana?" tanya Ibuku yang sangat pengertian, mengusir Dona secara halus.

"Eh, tapi udah jam segini loh. Kamu nginap disini aja mau kan?" Ini sangat mengagetkanku, hidup selama 21 tahun, baru kali ini aku mendengar Ibu ngomong seperti ini.

"Aduh, Ibu. Dona kan jadi mauuuuuuu" dan semenjak hari itu hidupku berubah.

Ntah apa yang membuat Ibu cepat akrab dengan Dona, tapi semenjak hari itu, hidupku langsung berubah lebih dari 180 derajat. Ibu tampak lebih ceria dari biasanya. Dona pun jadi setiap hari datang kerumah walaupun aku lagi gak ada di rumah. Apa yang direncanakan oleh Tuhan? Memberi Dona sebagai hadiah untuk mengobati kesepian Ibu?

2 Hati, 2 Dunia, 1 RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang