Gak terasa, sudah 40 hari, aku hidup tanpa Ibu. Gak terasa juga, hariku gak pernah buruk, selalu ada orang yang menemaniku, aku bersyukur, mereka selalu ada buatku.
Hari ini aku sedang menyiapkan makanan untuk acara 40 harian Ibu, acara kecil-kecilan saja. Berat memang, sekarang semuanya harus kulakukan sendiri. Aku juga kerja di beberapa tempat di sela-sela waktu kuliah. Walaupun gak banyak, masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Aku juga harus terus belajar, agar beasiswaku gak dicabut, aku harus mempertahankan atau menaikkan nilaiku.
"Udah aku telfonin orang catering, katanya nanti sore mereka antar, sekitar jam 4 gitu." Jelas Dona sambil menyapu ruang tamu rumahku, mungkin terdengar aneh, tapi kami gak tinggal satu rumah. Dona selalu pulang setelah maghrib.
"Iya, makasih, ya" Jawabku santai.
"Yang, mumpung kita cuma berdua aja nih.. Yuk?" Dona langsung menyenggol pinggangku dengan lengannya.
"Yuk apaan?" Aku sengaja pura-pura gak ngerti maksudnya apa, walaupun aku tau dia bercanda, aku gak pernah mau merespon candaanya khusus yang itu.
"Ih, kamu ini! Kita kan practically udah suami istri!" Jawab Dona sambil cemberut, duh cute banget.
"Kok gitu? Kuliah aja belum lulus, udah suami istri aja!" Ejekku sambil menghindarinya.
"Kok gitu kata kamu? Aku yang beresin rumah, aku yang masak juga! Kok gitu katamu?!" Tanya Dona penuh emosi.
"Udah ah! Jangan becanda gitu, ntar aku serius kamu malah kewalahan" Jawabku sambil mengambil karpet untuk dibentangkan di ruang tamu dan teras.
"Sok-sok serius, padahal dianya gak pernah serius." Omel Dona sambil lanjut menyapu.
Aku membiarkan Dona, aku membawa karpet itu keluar. Aku membentangkan karpet itu di teras dulu, lalu di ruang tamu.
"Don? Tolong dong sini!" Panggilku, tapi gak ada yang jawab.
"Dona?" Panggilku, tapi masih gak ada yang jawab.
Akupun masuk kedalam rumah, dan melihat Dona lagi duduk sambil menangis terisak-isak.
"Kamu kenapa?" Tanyaku lembut, aku gak pernah lihat Dona seperti ini.
"Kamu gak sayang samaku!" Bentak Dona sambil menutupi wajahnya.
"Loh, kok gitu?" Tanyaku bingung.
"Pokoknya gak sayang samaku!" Dona ngambek untuk pertama kalinya setelah jadian beberapa bulan ini.
"Emang ukuran sayang itu darimana?" Tanyaku lembut, aku mencoba menenangkan diriku juga, karena aku benar-benar kaget dengan sikapnya yang baru ini.
"Aku.. aku terus yang nunjukin sa..sa..sayangku" Jawab Dona sambil terisak-isak, aku hanya bisa menggelengkan kepala, aku curiga kalau dia acting menangis.
Mau gak mau, aku harus lakukan ini, permintaan yang selalu Dona inginkan dariku, manggil dia 'sayang'.
"Udah, jangan nangis dong, Sa..yeng" Bujukku, tapi karena grogi, terdengar seperti anak kecil di suatu sinetron.
"Gak denger!" Bentak Dona, lucu juga anak ini kalau ngambek.
"Sayang" Bujukku, aku malu banget.
"Apa?" Tanyanya.
"Jangan nangis lagi, udah" Bujukku pelan, ayo lah, aku malu banget, seruku dalam hati.
"Jangan nangis lagi, apa?" Tanyanya, yang membuatku gemas.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
"Jangan nangis lagi, Sayang" Akhirnya, setelah 3 bulan jadian, pertama kalinya aku manggil Dona dengan panggilan 'Sayang'.
Akhiryna Dona tertawa, mungkin karena baru pertama kali mendengarku memanggil 'Sayang', aku juga cuma bisa tersenyum. Melihatnya tertawa membuatku merasa lebih hidup, ada energi positif yang sangat besar yang kurasakan.
"Gak cocok!" Jelas Dona sambil cekikikan.
"Yaudah!" Aku langsung berdiri, tapi tiba-tiba Dona memelukku dari belakang.
Suasananya sedikit aneh, bercampur senang, dan membuat jantungku berdegub kencang.
"Kruuuk~" suara perutku berbunyi.
"Dih! Orang lagi romantis malah lapar!" Dona melepaskan peluknya dan berjalan ke dapur.
Aku hanya bisa menatapnya dari belakang, sambil tersenyum, dan bersyukur.
"Terima kasih, Sayang" Ucapku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Hati, 2 Dunia, 1 Rasa
RomanceDona, orang yang tiba-tiba datang dan mendobrak hatiku. Masuk kedalam hidupku, dan menggantikan peran ibuku.