Hati itu salah satu organ yang menurutku paling kasihan. Dimana perasaanya selalu di abaikan.
❤️❤️
Setelah memasuki ruang perpustakaan yang masih sangat sepi. Aku menuju bagian rak yang berisi buku-buku pelajaran kelas sebelas. Mengambil buku kimia yang belum sempat aku pinjam, lalu menuju rak yang berisi kumpulan novel.
Aku duduk di bangku yang ada di pojok perpustakaan, memulai membaca novel yang baru saja kuambil.
Ditengah asiknya membaca, ada suara bisik-bisik yang sangat mengganggu ketenangan membacaku. Aku melihat sekeliling, dan menemukan sekelompok anak cowok yang sedang bergerombol dan didepannya ada sebuah laptop.
Dasar, masih pagi sudah nobar. Memang perpus itu paling cocok buat nonton, selain tempatnya strategis juga Wifi-nya kenceng. Jadi, banyak siswa yang memanfaatkan perpustakaan buat nonton bareng atau sekedar download film.
Berusaha untuk mengabaikannya dan melanjutkan membaca novel. Rasanya tidak bisa fokus, karena mereka malah semakin keras menyuarakan suaranya.
Aku menatap ke kumpulan anak laki-laki tersebut. Menyobek beberapa kertas yang kebetulan aku membawa buku (note book kecil). Meremasnya hingga menjadi gumpalan lalu melemparkannya ke arah mereka.
Lemparanku ternyata mengenai salah satu kepala mereka. Anak laki-laki yang ada di tengah gerombolan memandang ke arahku. Aku pura-pura buang muka tidak tahu dan lebih menaikkan novelku sampai menutupi wajah.
"Lo yang lempar kertas ini?!" Suara bariton milik laki-laki langsung masuk ke indra pendengaranku.
Aku mendongak, mendapati laki-laki jangkung dengan kulit putih tengah menatap tajam ke arahku.
"Iya, kenapa?" Balasku.
"Kenapa? Maksud Lo apa main lempar-lempar kertas kaya gini. Lo nyari gara-gara!?" Cowok itu menaikkan nada bicaranya.
"Kalian berisik!" Aku langsung berdiri, dan mengembalikan novel ke tempat semulanya.
Berniat pergi dari ruang perpustakaan dan kembali ke kelas. Tapi baru saja sampai depan pintu, langkahku terhenti.
Cowok itu menghadang di depanku.
"Minggir!" Seruku menyuruh cowok itu agar tak menghalangi jalanku.
"Lo tuh nggak punya sopan santun ya? Udah salah bukannya minta maaf malah main pergi." Kata cowok itu. Aku memutar bola mata malas, pagi-pagi sudah ngajak ribut.
"Oke, maaf." Kataku tak mau memperpanjang urusan, lalu segera pergi dari sini.
Ketika sudah sampai di depan kelas, sepertinya sudah ada guru yang mengajar. Aku mengetuk pintu tiga kali lalu membukanya.
Aku berjalan ke meja yang sudah ada guru disana, "maaf Bu, saya dari perpus." Kataku kepada guru bahasa Indonesia yang sedang menerangkan.
Bu Endang menatapku, "iya, silahkan duduk!" Suruhnya. Lalu aku bergegas menuju ke tempat duduk.
"Dari mana saja?" Tanya Fira ketika aku sudah duduk.
"Perpus," jawabku sambil mengeluarkan buku bahasa Indonesia.
"Betah amat di perpus, habis nonton kan Lo?"
Aku langsung menatap Fira, yang baru saja menuduh," apaan. Gue di perpus yah baca, emang Lo sukanya nonton Drakor di perpus!" Semburku menjawab tuduhannya.
Fira hanya meringis setelah mendengar jawabanku. Lalu kami berdua kembali fokus ke sosok guru yang asik membacakan materi.
***
Saat ini aku sedang ada di dalam kelas. Hanya beberapa orang yang masih setia berdiam diri di kelas dan mengerjakan tugas.
Fira sudah pergi ke kantin, sejak bel istirahat berbunyi. Tentunya dengan Adit.
Aku memutuskan untuk tetap di dalam kelas dan tak ikut makan dengan mereka. Malas juga melihat kedekatan keduanya. Lagi pula, sebelum bel istirahat Bu Endang sudah memberikan tugas. Walaupun tugas rumah, tapi tak apakan kalau aku kerjakan sekarang.
Di tengah mengerjakan, tiba-tiba ada yang menyodorkan sebuah botol mineral juga roti di depan mejaku. Aku mendongak, melihat siapa yang menaruhnya.
Cowok itu duduk di kursi depan sambil menatap ke arahku."Kenapa nggak ke kantin?"
"Nggak laper," jawabku lalu mengalihkan pandangan ke buku lagi.
"Makan dulu, gue udah beliin ini buat lo," Rafi menyodorkan kembali roti juga botol mineral tersebut, sampai menutupi buku tugasku.
Aku menatap ke arahnya," iya nanti, kalo udah laper. Btw, makasih, gue nggak minta loh."
"Kan inisiatif, lagi ngerjain apa?"
Alih-alih menjawab, aku malah menunjukan sampul LKS padanya. Lalu seketika ia pun paham dan mengangguk.
"Yaudah, lanjutin gih!" Suruhnya.
"Terus Lo ngapain masih di situ?" Tanyaku bingung, karena Rafi tak berniat untuk pergi dari kelasku.
"Pengen liat Lo lah." Jawabnya enteng.
Aku tak berniat menjawabnya lagi, dan menundukkan pandanganku fokus ke buku. Jantungku tiba-tiba berdetak tak biasanya, aku gelisah.
"Lo, mendingan keluar aja deh," kataku kemudian, karena jujur saja aku risih diliatin kaya gini.
Rafi menaikkan sebelah alisnya,"lha kenapa? Gue kan nggak ganggu Lo."
"Tapi gue risih."
"Lo harus biasa aja, karena gue bakal sering di samping Lo." Rafi bicara seperti itu dengan mudahnya. Tanpa memperdulikan deguban jantungku yang tiba-tiba abnormal.
Wajahku panas, ya ampun kenapa ruang kelas ini jadi gerah banget.
Aku berdiri, seharusnya memang manusia seperti Rafi itu harus di hindari.
"Mau kemana?" Tanpa menoleh aku langsung keluar dari ruang kelas, mengabaikan pertanyaan Rafi.
Berjalan dengan cepat menuju entah kemana aku tak tahu. Yang penting, tak ada dianya.
"Shey! Nanti pulangnya bareng!" Bodoamat, aku tak mau dekat-dekat dengan manusia itu. Jantungku bisa tiba-tiba berdetak dengan cepat, saat ada di dekatnya. Takut, aku sedikit tak nyaman ketika dia dekat denganku.
Bukan, ini bukan perasaan yang gimana-gimana. Tapi lebih ke risih, karena aku tak pernah dekat dengan lawan jenis manapun selain ayahku dan juga Adit tentunya. Mungkin. Apa menurut kalian dia itu aneh?
Maksudku, kami baru bertemu kemarin. Dan sekarang, ia sudah berani ke kelas hanya untuk mencari dan memberikanku makanan?
![](https://img.wattpad.com/cover/196580023-288-k307035.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
About Love
Teen FictionSuka pacar temen sendiri? Kira-kira gimana perasaanmu? Inilah yang dialami oleh dia. Cerita tentang kisah cinta seorang Sheyla Arneta, dimana ia harus merasakan sakitnya cinta sepihak. Sheyla Arneta, "Ini tentang sebuah rasa yang bernama cinta. Di...