02

28 9 3
                                    

Apa kau percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada?

Kalau aku percaya, karena akupun merasakannya. Jatuh cinta pada pandangan pertama, dan itu cinta pertama.

Kata orang cinta pertama itu sulit untuk dilupakan, yah aku akui memang itu benar. Rasa yang ada untuk orang yang salah, benar-benar menyiksa. Kalau aku bisa memilih, kepada siapa aku akan jatuh hati. Tentu, saja bukan kepada Adit. Yang sekarang adalah kekasih dari temanku sendiri.

Tapi, siapa sih yang bisa mengatur kepada siapa kita harus jatuh cinta? Tentu saja hanya Allah yang maha esa. Dan aku sebagai makhluk-Nya bisa apa? Ah, mungkin ini salahku juga yang mudah sekali jatuh hati padanya. Bahkan hanya karena hal sepele bisa membuatku merasakan getaran yang aneh, yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.

Tapi, ternyata cinta pertamaku berakhir menyakitkan. Tak sesuai dengan kata orang bahwa cinta itu indah.

Aku melihat Adit yang sudah menaiki motor merah miliknya, dan juga ada Fira di boncengannya. Fira menyapaku dengan senyuman begitu juga dengan Adit. Getaran itu masih ada setiap kali Adit tersenyum padaku. Sangat menyebalkan, apa kalian tahu cara menghilangkan rasa ini?

Motor yang mereka tumpangi sudah menghilang ketika berbelok ke kiri samping gerbang sekolah, itu bukan arah ke rumah Fira, mungkin mereka akan jalan-jalan dulu.

Kuhentikan langkah kaki, ketika sudah sampai di halte depan sekolah. Menunggu angkot yang sudah menjadi tumpangan wajib bagiku ketika berangkat dan pulang sekolah.

Sebenarnya, ayah sudah memberikanku motor untuk dipakai sekolah. Tapi aku menolak, menurutku repot saja, ketika harus berdesak-desakan di tempat parkir menunggu agar bisa di lalui. Aku tak sesabar itu.

Ketika sedang menunggu, ada seseorang yang baru saja duduk di sampingku. Aku meliriknya sebentar, lalu segera mengalihkan pandangan ke depan.

"Shey." Dia mengenalku?

"Yah?" Jawabku sambil memiringkan kepala untuk melihat wajahnya dari samping. Sepertinya aku tak mengenalnya.

"Gue Rafi, lo harusnya udah tau dari Fira." Jelasnya, seakan mengerti raut wajahku.

Aku hanya membulatkan mulut lalu mengangguk.

"Seperti yang Lo mau, gue minta sendiri nomor Lo, bisa?" Tanyanya menunggu persetujuanku. Dan mengeluarkan ponsel dari saku celana.

Aku mengamati sejenak wajahnya, dari sini aku sedikit menilai. Sambil berfikir, apakah harus kasih dia nomorku?Dia sepertinya lumayan baik, tidak ada niatan jahat padaku. Mungkin benar juga apa yang dikatakan Fira tadi. Dia keren juga baik, mungkin.

"Hem, boleh. Sini hape lo." Rafi langsung menyerahkan hapenya padaku, dan segera menekan nomorku lalu disimpan ke kontaknya. Hanya nomor hape, nggak bakal bikin masalah kan.

"Nih, udah," ucapku lalu menyerahkan hape miliknya.

Rafi sedikit tersenyum, "makasih, oh iya lo pulang sama siapa? Nunggu jemputan?"

"Enggak, gue nungguin angkot," jawabku.

"Oh, mau gue anterin?" Tawarnya.

Aku menggeleng, "enggak deh, makasih."

"Oh, oke. Kalo gitu gue temenin Lo sampe angkotnya Dateng."

Tanpa berniat menjawab untuk mencegahnya, toh apa masalahnya buatku.

Hanya ada diam diantara kami, Rafi terlihat canggung untuk memulai obrolan terlebih dahulu. Apa lagi aku.

Untuk informasi, aku itu nggak terlalu suka saat ada di dekat cowok. Rasanya itu nggak nyaman banget, risih.

Tak berapa lama, angkot yang aku tunggupun akhirnya datang, aku segera berdiri lalu melihat ke arah Rafi.

"Angkotnya udah dateng, gue balik dulu yah," pamitku sebelum memasuki angkot.

"Iya, hati-hati." Balasnya, yang kemudian aku acungi tanda oke.

Setelah beberapa menit di dalam angkot, yang penumpangnya hanya berisi separuh. Mungkin karena sudah lumayan sore jadi sedikit yang memilih untuk naik angkot.

Aku menyerahkan uang lembaran lima ribu kepada sopir, lalu membuka gerbang rumahku. Tidak ada satpam disini, jadi untuk sekedar membuka gerbang yang dilakukan sendiri.

Kuketuk pintu rumah tiga kali, lalu membukanya. Walaupun aku tahu, tidak akan ada yang menjawab salam, aku tetap saja mengucapkan salam.

Di rumah tidak ada siapapun, pembantu disini hanya datang ketika pagi dan siangnya pulang. Ayahku tidak menyewa pembantu yang menetap, karena aku melarangnya. Sebab, kalau sore pekerjaan rumah bisa aku yang mengerjakan.

Kuselonjorkan kaki yang hari ini terasa sangat pegal, padahal biasa tidak. Sambil bersantai, aku membuka aplikasi Instagram. Sebuah foto yang aku kenal langsung menyambutku, dalam caption yang tertera sangat menyesakkan dirasa.

"Tersenyumlah, karena senyummu adalah bahagiaku," gumamku membaca caption itu. Ini sedikit lebay. Aku tersenyum getir saat selesai membacanya
Dadaku tiba-tiba sesak, apa aku terkena asma dadakan?

Sebuah foto yang menampilkan, sosok Fira yang tersenyum bahagia dengan background sebuah lukisan abstrak yang entah aku tak tahu apa maknanya.

Kuletakkan ponsel di atas nakas, turun dari ranjang dan bergegas menuju ke kamar mandi. Ah, hatiku rasanya panas. Pengen mandi dan meredam gejolak perasaan yang melilit di dada.

Setelah mandi, aku berniat untuk menuju ke tempat ayah bekerja. Kebetulan ayah punya restoran yang berada di daerah sini.

Aku mengendarai motor yang sangat jarang digunakan, ayah pun memakai motornya sendiri.

Jarak antara rumah ke restoran, cukup dekat. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai. Kuparkirkan motor lalu memasuki restoran.

Ayah yang melihatku langsung menghampiri, "tumben ke sini Shey?" Pertanyaan langsung dari ayah ketika aku sudah duduk di salah satu meja restoran.

"Nggak papa, pengen aja kesini. Ayah sibuk?"

"Nggak kok, ayah kan tinggal memantau aja, jadi nggak terlalu sibuk. Kamu kesepian yah di rumah sendiri?"

Aku mengangguk membenarkan pernyataan ayah, "heem."

"Yaudah kamu ke sana aja, di sana ada novel baru loh," suruh ayah. Disudut restoran ini ada sebuah perpustakaan mini. Jadi, tempat ini juga bisa untuk sekedar bersantai, ataupun mengerjakan tugas bagi yang masih sekolah.

"Oke, yah." Akupun langsung menuju ke arah deretan buku, mencari novel baru yang ayah katakan. Memang, sebagian buku yang ada di sini sudah aku baca.

Setelah menemukan buku yang aku cari, aku duduk di kursi bulat yang ada di samping jendela. Pelayan ayahku datang membawakan jus jeruk.

Aku larut dalam cerita Yang ada di dalam novel. Sampai suara yang aku kenal masuk ke indra pendengaran. Mataku mengedar  mencari sumber suara itu, dan aku menemukan sosok Fira juga Adit yang baru memasuki restoran. Dengan gandengan tangan. Ya ampun, bukan ini yang ingin aku lihat di sini.

"Dit, ke sana yuk!" Kata Fira sambil menarik tangan Adit menuju ke meja yang ada di samping jendela. Adit hanya tersenyum dan mengikuti tarikan Fira. Mungkin mereka tak melihat, jika aku ada di tempat ini.

Segera aku mengalihkan pandangan dan kembali fokus ke novelku, tapi tidak bisa. Hatiku sesak, seperti ada yang sesuatu yang mengikat kuat di dalam hatiku. Apa kalian pernah merasakannya?

Kuminum jus jeruk, yang di gelasnya sudah terdapat tetes-tetes air. Tiga tegukan, mungkin cukup untuk meredakan rasa sesak ini.

****

Kasih dukungannya gaes, buat penulis amatiran ini.
Love you:3 /jijik Thor:(/

Btw, ada yang pernah ngerasain posisi Sheyla nggak?
Semoga nggak yah, soalnya kalian nggak akan kuat, biar Sheyla saja:(








About LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang