Sakura meremas pulpen hitam yang ia genggam. Matanya menatap lurus pada bangunan menjulang dengan topi proyek penghalau panas di kepala.
Keringat menetes. Mengalir deras di pelipis dan dahinya. Menetes hingga ke bahu, kemeja abu-abunya meninggalkan titik basah yang kontras dengan warna gelapnya.
Dengan punggung tangan yang kaku, Sakura mencoba mencatat segala kekurangan dan kelebihan dari proyek baru yang sedang dia pantau. Anggap saja ini pekerjaan mudah, tapi nyatanya kondisi di lapangan berbanding sebaliknya.
"Sakura, duduklah dulu."
Sakura menatap gadis berperawakan kecil yang memandangnya cemas. Mau bagaimana lagi? Sakura tipikal keras kepala yang tidak bisa dibujuk dengan mudah. Seperti saat ini. Ayame sendiri tidak tahu sudah berapa lama Sakura berdiri di sana sejak mereka datang setelah absen di kantor.
"Tidak, kalau aku gagal lagi kali ini ... Tuan Yagura akan memarahiku. Dia akan memotong gaji bulananku."
Ayame mendesah. Tuan Yagura sialan memang tiada duanya dalam urusan ancam-mengancam. Pria paruh baya yang kabarnya ditinggal minggat istrinya itu punya temperamen yang buruk. Dia acap kali sering berbuat seenaknya pada bawahan rendah macam mereka. Sakura dan Ayame terkadang menjadi bulan-bulanan mereka. Atau terkadang, pegawai cantik di divisi lain menjadi bahan rayuan menggelikannya.
Ayame terkadang tidak mengerti. Bagaimana bisa sekelas Tuan Yagura duduk di posisi kepala bagian kalau kerjanya tidak becus begitu?
"Ayame, kenapa melamun?"
"Ingin membantai Tuan Yagura rasanya," ketus Ayame. Meninggalkan senyum ramah pada Sakura. Yang meminta gadis dengan usia dua tahun lebih muda darinya duduk.
Ayame terkadang berapi-api. Gadis itu belum bisa mengontrol emosinya dengan baik. Pernah suatu pagi, saat Tuan Yagura mengoceh di ruangan, Ayame melemparnya dengan berkas yang dia ketik semalaman suntuk karena Tuan Yagura menyebut dokumen yang dia susun sampah.
Semenjak itu, sasaran amukan Tuan Yagura sering beralih pada Ayame yang malang. Dia hanya bermaksud melampiaskan kekesalannya. Terlebih Tuan Yagura terang-terangan pilih kasih.
"Setelah jam makan siang, kita harus kembali ke kantor. Tuan Yagura sialan itu akan merevisi pekerjaan kita," keluh Ayame saat Sakura memintanya duduk dan dengan berat hati menurutinya.
Sakura duduk di sampingnya. Menegak air mineral yang Ayame belikan di pinggir lokasi proyek. "Mau bagaimana lagi?"
Ayame menghela napas. Dia terhitung anak baru di kelasnya. Baru bekerja dua tahun—jalan tiga, dia sudah mengeluh banyak hal. Tidak seperti seniornya, Sakura yang bekerja selama lima tahun. Dan keinginan resign Ayame harus terhalang karena dia ingin tetap di sisi Sakura. Hanya Sakura, yang bersikap dewasa layaknya kakak sendiri. Dia memberikan orang lain semangat, walau harinya mungkin buruk. Karena Tuan Yagura itu juga terlihat membencinya.
Sakura meluruskan kedua kakinya yang terasa kaku. Saat dia mendesah, menemukan luka lebam di lututnya berubah kehitaman. Jemarinya mengusap lemah, meringis perih.
"Itu kenapa?"
Sakura tersenyum. "Terantuk meja makan. Aku pikir sudah membaik, ternyata belum."
Ayame mendesah. "Beri salep. Di apotik banyak menjual. Apa kau ingin aku membelikannya?"
Sakura menggeleng. "Aku sudah punya di kotak obat. Tapi, memang lebam ini nakal. Mau bagaimana lagi?"
Ayame hanya mendengus.
***
"Ke ruanganku sekarang."
Sakura mendengar desahan panjang dari berbagai kubikel yang ada di ruangannya. Semua orang tampak sayu, malas bertemu tatap dengan Tuan Yagura yang egois. Di saat matanya bertemu pandang dengan mata Ayame, gadis itu bersikap sama.