Dua

18.6K 2.2K 178
                                    

Motor Keisya berhenti di depan rumah mungil bercat putih.

Keisya amat lupa jika Tissya, kakaknya, seminggu lalu mengajaknya dan orang tua mereka makan bersama di rumah. Mungkin dia lupa lantaran tidak langsung mendengarnya dari Tissya, melainkan dari ibunya, Dania. Katanya, Tissya baru mendapat bonus dari kantor dan berniat menghidangkan masakan spesial untuk mereka.

Senyum Tissya di depan pintu tampak kontras dengan rasa lelah Keisya usai berkendara dari kos ke rumah. Tissya mempersilakannya masuk rumah. Aroma makanan sontak menggugah gejolak di perut Keisya. Rongga mulutnya basah. Dia teringat terakhir kali makan pukul tujuh pagi, sekarang sudah pukul tujuh malam. Sebagai mahasiswi yang tinggal sendiri, makan tiga kali sehari itu perkara langka baginya.

"Tebak aku masak apa?"

Keisya sedikit menengadah untuk menatap Tissya. "Ayam?"

Rambut lurus Tissya bergoyang tatkala menggeleng sambil lagi-lagi tersenyum. "Please, Kei, ini bukan arisan keluarga. Yang aku masak lebih enak dari itu."

"Aku cium wangi mentega sama keju."

"Itu buat saus jamurnya," balas Tissya langsung. "Aku buat steik saus jamur." Kemudian Tissya melangkah cepat, menghilang ke area belakang rumah.

Kali ini, Keisya tidak bisa menahan diri untuk meneguk liur dan ikut mempercepat langkah. Sepintas saja, Keisya melirik meja kecil tempat diletakannya pigura-pigura family trip mereka di ruang tamu. Mendapati tidak ada sosoknya di pigura-pigura empat tahun terakhir, dia mengalihkan pandangan ke ruang keluarga. Ibu dan bapaknya, Rustam, sudah berada di sana. Dipandanginya sekilas sosok Ibu. Kalimat tajam wanita itu dalam panggilan telepon tadi membebat ingatannya. Kemudian menusuk hatinya. Namun, sekuat tenaga Keisya mengempas egonya jauh-jauh. Dia ingin makan enak hari ini.

Keisya menjulurkan tangan di depan Ibu tanpa sepatah kata. Ibu menyambut tangannya juga tanpa bicara. Cepat saja Keisya beralih untuk menyalami Bapak. Matanya berkedip-kedip ketika Bapak tidak menghiraukan tangannya. Bapak lebih memilih untuk membawanya ke dalam rengkuhan yang dingin dan kaku.

"Kamu sehat, Kei?"

Dalam rengkuhan, Keisya mengangguk tak nyaman. "Bapak juga sehat, kan?"

"Sehat kok." Bapak melepasnya untuk kembali ke kursi. Dia kemudian mengernyitkan dahi. "Bapak agak lupa. Kamu sekarang masuk semester tiga, kan?"

"Iya," Keisya mengangguk usai melirik kakaknya yang muncul dari area belakang rumah, "aku semester tiga."

"Kita enggak punya pisau makan, jadi steiknya udah aku potongin, ya." Tissya meletakkan piring-piring berisi hidangannya di meja.

"Makasih banyak, Tis," ucap Ibu yang kemudian melayangkan tangan untuk mengelus punggung Tissya pelan. "Dari bentuknya aja Ibu udah tahu masakan kamu enak."

"Ibu bisa aja." Tawa melengking Tissya menyambar selagi dia menempati kursi. "Tahu enggak, Kei? Bapak juga pernah lupa dulu aku semester berapa. Yang diinget di luar kepala cuma rumus-rumus AutoCad."

Bapak langsung tampak malu dan seakan menghalaunya dengan mengambil garpu untuk mencolek daging ke saus. "Gimana kuliahmu? Ikut organisasi enggak? Kayak pers kampus biar sejalan sama jurusanmu?"

"Aku enggak ikut." Keisya ikut makan. Dia merasa ingin menangis ketika potongan daging pertama itu masuk mulutnya. Tissya tidak pernah gagal dalam memasak.

"Kalau Klub Musik? Kemarin Bapak lihat di berita kalau paduan suara Universitas Swarna Mandala menang di kompetisi internasional."

Ibu berdeham tajam selagi menusuk steik dengan garpu. "Rus, Keisya itu lagi sibuk belajar biar enggak banyak mata kuliah yang ngulang kayak semester satu. Gimana dia mau fokus belajar kalau ikut-ikutan organisasi?"

When You're Lost in Blue NotesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang