Setelah menginap semalam dihotel, Alden mengajak Natasha pindah kerumah baru yang merupakan hadiah pernikahannya pemberian papa Alden. Tempatnya cukup luas untuk ditempati dua orang. Rumahnya juga bertingkat dua.
Alden menurunkan koper miliknya dan Natasha. Cukup banyak barang bawaan mereka, bahkan dua koper belum mencakup semua keperluan mereka. Mereka hanya membawa semua perlengkapan sekolah dan baju belum semua mereka bawa.
“Sini gue aja yang bawa.” Natasha mengambil alih semua kopernya, tidak mungkin juga Alden membawa masuk empat koper.
“Yaudah, ayok masuk.” Alden masuk lebih dahulu, diikuti Natasha dibelakangnya.
Alden menaiki tangga sambil menenteng kedua kopernya, sedangkan Natasha kesusahan membawanya. Berat.
Sampai diatas Alden meletakkan koper miliknya lalu turun lagi, membantu membawa koper Natasha. “Sini gue bantuin.”
Natasha pasrah, memberikan satu kopernya. Dan ia masih membawa koper ditangan kirinya.
“Lo mau kamar yang mana?” Alden dan Natasha sebelumnya sepakat tidur berbeda kamar. Sebenarnya itu ialah permintaan Natasha dan Alden cukup menyetujui saja.
“Sini aja.” Kedua kamar itu terlihat sama, hanya saja Natasha memilih kamar dekat dengan tangga.
Alden mengangguk mengiyakan. “Yaudah, masuk sana.” Perintahnya. “Nanti siang kita makan diluar sesuai permintaan lo semalam.”
“Oke. Nanti gue bilang sama temen-temen.”
Natasha mengagguk malas, ia masuk kedalam kamar barunya lalu menutup pintu rapat-rapat. Natasha merebahkan tubuh diatas kasur, ia masih ingat perkataan Alden semalam.
Natasha membuang nafas kasar. “Sakit ya, ternyata.” Lirihnya.
Natasha tak mau ambil pusing, ia mengambil hp-nya—memberi tahu kalau Alden mengajak mereka makan bersama.
Setelah itu, Natasha membuang hp-nya—terlentang menatap langit-langit kamar. Keenakan tiduran diatas kasur, kantuk Natasha menyerang. Cewek itu tertidur dengan posisi kaki menggantung ditempat tidur. Bajunya juga belum sempat dipindah ke lemari.
Alden sedari tadi mengetuk pintu kamar Natasha. Karena tidak mendapat jawaban, ia membuka knop pintu—tidak dikunci. Alden berjalan mengendap-ngendap, takut pemilik kamar terbangun. Ia membenarkan posisi tidur Natasha, hati-hati.
Sayang seribu sayang, Natasha terbangun karena ulah Alden—sok-sok an ingin membenarkan posisi tidur Natasha.
Natasha langsung duduk—diatas tempat tidur, cewek berambut kecoklatan itu terkejut melihat Alden berada tepat dihadapan-nya. “Lo ngapain disini?”
“Tadi gue ngetuk pintu, tapi lo nggak nyaut-nyaut. Yaudah deh gue masuk aja.” Alden mengambil duduk disisi tempat tidur.
“Intinya aja, apa?”
“Intinya gue mau kasih tau lo, kalau nanti gue ajak teman-teman gue.” Jawab Alden. “Gimana? Lo keberatan nggak?”
Natasha mengedikkan bahu. “Terserah, elo yang bayar”
“Ok. Tapi jangan sampai mereka tahu, kalau lo itu istri gue.” Ujar Alden serius. “Biar aja, mereka tahu lo itu sepupu gue dan Dindra lah pacar gue.”
Natasha berdecak. “Iya, iya. Nggak usah lo perintah pun gue nggak bakalan sebarin status kita berdua.”
“Bukannya bangga, gue jadi malu sendiri.” Sambung Natasha cuek.
“Ternyata tak dianggap lebih menyakitkan dari pada ditolak cinta.”
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDEN
Teen Fiction"Kalau seandainya pernikahan ini cukup berjalan 2 tahun gimana? Apa lo bisa turutin kemauan gue yang satu itu?" Tutur Alden. "M-maksudnya?" "Maksud gue, setelah dua tahun-" Alden menggantungkan omongannya. "Kita cerai."