Pukul delapan malam, Alden dan kawan-kawan baru saja keluar dari restoran. Dan hujan belum reda seratus persen.
Sebelum pergi, Alden mendekati Natasha. Lalu berbisik. “Lo pulang sendiri, gue mau ngantar pulang Dindra dulu.”
Natasha tak menjawab, cewek itu sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tas.
Sesudah memberi tau Natasha, Alden melenggang pergi sambil menggandeng mesra Dindra—keluar dari restoran.
“Gue balik dulu ya, soalnya gue pulang nebeng Betari.” Desy menepuk pelan bahu Natasha lalu pergi meninggalkan restoran bersama Betari dan Fitri.
Natasha menghela nafas berat, ia tertinggal sendiri. Tanpa ditemani siapapun. Teman-teman Alden sudah pulang, begitu pun dengan teman-nya.
“Gue harus pulang naik apa coba?” Natasha menggumam sambil memijat keningnya.
Natasha membuang nafas kasar, lalu bangkit meninggalkan restoran.
Jalan satu-satunya ia pulang jalan kaki.
*****
Matahari telah mempakkan dirinya di ufuk timur. Jarum jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh, tetapi Natasha belum bersiap apa-apa. Bahkan perempuan itu baru saja bangkit dari tempat tidurnya.
Hanya membutuhkan waktu lima belas menit—Natasha bersiap diri. Pukul tujuh kurang lima belas menit, Natasha baru keluar dari kamar—menemukan Alden yang akan berangkat sekolah—menggunakan mobil.
“AL, GUE NEBENG KE SEKOLAH YA.” Ujar Natasha ngos-ngosan. “GERBANG SEKOLAH GUE MAU DITUTUP IHHHH.”
Alden mengeluarkan kepalanya lewat jendela mobil. “NGGAK BISA. GUE MAU JEMPUT DINDRA.”
“NGGAK PAPA LAH. DINDRA SAMA GUE SATU SEKOLAH JUGA!”
“NGGAK BISA.” Alden melajukan kendaraan-nya meninggalkan pekarangan rumah.
Natasha berdecak sebal, cewek itu menutup pintu kencang tanpa menguncinya. Tak peduli ada maling masuk, toh semua itu milik Alden bukan miliknya.
Dengan penuh tenaga, Natasha berlari menuju halte. Sungguh kebetulan atau bagaimana, angkot tujuan ke sekolahnya masih berhenti di halte. Buru-buru, Natasha masuk ke dalam angkot—lalu memilih duduk di belakang.
Tidak ada penumpang anak sekolah selain Natasha dan cowok berpenampilan cukup oke, apalagi kancing baju atasnya—dibiarkan terbuka.
Natasha menengok kesamping—dimana cowok itu duduk.
“Elo.”
“Elo.”
Natasha dan cowok itu serempak berucap ketika mereka saling bertatapan.
“Lo ngapain disini? Lo yang semalam tolongin gue kan?” Natasha bertanya runtut.
Cowok itu memutar bola mata. “Lo itu pinter atau gimana sih? Kalau gue lagi duduk diangkot, berarti tandanya gue tuh lagi naik angkot. Dan gue emang orang yang udah tolongin lo selamem.”
“Maksud gue tuh ya. Ngapain cowok kaya lo itu naik angkot? Kemana motor mahal lo semalem?” Natasha menjelaskan, meskipun merasa sedikit kesal.
“Motor gue disita sama bokap.” Cowok itu menjawab singkat. “Btw, tangan lo gimana?”
Spontan, Natasha memegang lengan kirinya—tertutup lengan seragam sekolah. “Udah baikan.” Balasnya. “Btw, thank you ya. Kalau nggak ada elo mah, gue nggak tau hari ini masih hidup atau kagak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDEN
Teen Fiction"Kalau seandainya pernikahan ini cukup berjalan 2 tahun gimana? Apa lo bisa turutin kemauan gue yang satu itu?" Tutur Alden. "M-maksudnya?" "Maksud gue, setelah dua tahun-" Alden menggantungkan omongannya. "Kita cerai."