Bag. 13

248 1 0
                                    

#Day19
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa
#JumpaPenulis
#JumpaPenulis2019
#BerjutaKaryaUntukIndonesia
#SeminarNasional
#KMOIndonesia

_LELAKI TANPA JEJAK _

Part. 19~Pov(Alissa)

“Ketika kau berusaha membahagiakan semua orang. Maka, percayalah, kau tidak akan pernah bahagia!”

Aku mencebik mendengar kalimat bijak tersebut. Aku bahkan tidak paham definisi bahagia yang dimaksud. Menurutku, setiap orang memiliki definisi kebahagiaan yang berbeda-beda. Dan bagiku, entah ....

Yang kutahu, semua orang sudah pasti ingin bahagia tanpa harus membuat orang lain terluka. Dan apa jadinya, ketika kebahagiaanmu justru menjadi kesedihan bagi orang lain. Egoiskah?

Sebaliknya. Masihkah kau ingin merutuki nasib, ketika kesedihanmu malah justru menjadi sumber kebahagiaan bagi orang lain? Namun, adilkah?

Sejatinya rasa bahagia hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Lalu, alasan apa lagi yang membuat kita lupa untuk bersyukur?

Aku menatap ponsel sekilas, yang sedari tadi terus berdenting menandakan ada pergerakan di sana. Sudah beberapa pesan dari Ali yang tidak kugubris. Pun panggilan darinya.

Sejak kedatangan Maria tadi siang. Aku berusaha untuk menata hati. Dan untuk sekarang rasanya aku belum siap untuk menghadapi Ali.

“Al, Ali nanyain, tuh! Kalian kenapa sih? Baru aja kemaren jalan, sekarang udah ngambekan,” cerocos kak Juna di sebrang telepon.

“Ngambekkan apa sih, kak? Orang kita gak ada apa-apa ....

“Arjunamu cemas noh! Katanya pesan gak dibales, nelpon juga gak diangkat – eh, Arjuna mah, gue ding!” ia terkekeh, merasa geli sendiri.

“Udah, gak usah bahas dia--” sahutku sambil merengut namun terhenti karena menangkap satu sosok pemuda yang saat ini sangat tidak ingin kulihat. “Di—a, di—sini,” ungkapku sambil memutus telpon.

Sementara Ali menatapku dengan pandangan penuh tanya.

“Kenapa, Al?” katanya dengan nada memelas.

“Apanya?” sahutku dingin.

Ali membuka mulut hendak bertanya lagi. Namun, terhenti ketika aku mengacungkan foto yang dibawa Maria, tadi siang. Ia mematung di tempat.

“Sudah tahu dari awal rupanya, jika aku adalah Alissa yang malang,” sindirku dengan nada yang dibuat sesinis mungkin.

“Lissa—“

“Dimulai hari itu, kita sudah tidak saling kenal lagi!”

“Maafkan abang, Lissa! A—“

“Aku sudah memaafkan, karena bagiku kalian sudah mati! Pergilah!” usirku sambil melipat tangan. Lalu memutar tubuh, membelakanginya. Aku tidak ingin, dia melihat mataku yang berkaca-kaca.

“Lissa –“

“Minta maaflah pada Maria!”

“Tapi—“

“Atau kita tidak akan pernah bertemu lagi,” ancamku. Lalu kudengar suara langkah menjauh. Aku menghela napas dalam. Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya luruh perlahan.

Masih terbayang jelas, aku yang meronta dalam genggaman tangan Wak Mae, tatkala ia pergi bersama bapak. Jerit tangisku yang meminta ikut serta, tidak dihiraukan. Aku yang malang dan tidak tahu apa-apa selanjutnya harus merasakan hidup sendirian. Rasa takut, cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, terus menghantuiku. Beruntung ada Wak Mae yang selalu memeluk dan menghiburku.

“Lissa rindu ibu,” bisikku tertahan sambil berurai air mata. Pedih rasanya mengenang masa-masa itu.

“Kenapa mereka jahat sekali, bu? Apa salah Lissa?” aku mulai sesenggukan sambil meringkuk mendekap lutut.

Aku tidak menyangka, senyum yang baru saja merekah kini harus kembali sirna. Baru saja, aku hendak membuka hati pada seorang pemuda. Namun, ternyata malah membangkitkan kenyataan pahit di masa lalu.  yang hingga kini pedihnya masih terasa.

Jeddah, 19202019

LELAKI TANPA JEJAK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang