DUNIA KARIN

603 53 13
                                    

Pagi ini, Karin yang bangun kesiangan karena begadang mengerjakan tugas tampak pontang-panting berlarian keluar rumah saat sang abang sudah memencet klakson motornya beberapa kali, seragam putih abu yang ia kenakan juga berantakan.

Kedua tangannya menenteng masing-masing sepatu yang kemudian malah dilemparkan pada pemuda yang dengan songongnya nangkring di jok motor masih dengan membunyikan klakson, membuat tetangga yang kebetulan lewat jadi menoleh.

"Berisik banget dah, Ah!" Karin jadi mengomel.

Ardi yang mendapatkan lemparan sepatu dengan sigap menangkapnya, "untung reflek gue bagus," ucapnya sembari memegangi sebelah sepatu gadis itu.

Karin meminta sebelah sepatunya kembali, namun Ardi mengelak, malah mengacungkan sebelah sepatu di tangannya itu ke udara.

"Oy, udah siang ini elah," omel Karin.

"Minta maaf dulu nggak." Ardi memberi penawaran.

Karin berdecak kesal, kesal sekesal kesalnya orang kesal pokoknya. Luntur sudah cinta gadis itu pada Bang Ar ganteng yang ternyata amat menyebalkan.

"Yaudah iya, minta maaf-minta maaf."  Karin merebut sepatunya kembali, namun setelah itu dia malah menarik sebelah sepatu yang terpasang di kaki abangnya, lalu membuangnya ke dalam rumah.

"Woy!" Ardi reflek berteriak, hingga bunyi kegaduhan dari dalam rumah membuat keduanya saling berpandangan.

Karin yang dekat dengan pintu melongokkan kepalanya ke dalam, tumpukan bapperwate sang ibu yang semula tersusun rapi di atas meja kini berserakan di lantai terkena lemparan sepatu, gadis itu menoleh panik pada Ardi. "Bapperware ibu," ucapnya.

"Mampus!" Ardi dengan cepat menurunibmotor, berlari ke dalam rumah mengambil sebelah sepatunya, bersamaan dengan itu suara sang ibu dari arah dapur terdengar berteriak.

"Heh, apaan tuh?" Tanya sang ibu, yang entah kenapa mengingatkannya dengan selogan acara televisi.

"Meooong!" Ardi berusaha mengelabuhi.

"Bang Ar, suara kucingnya terlalu ngebas." Karin sempat-sempatnya berkomentar.

"Buu!!! Dagangan Ibu diberantakin  Ardi." Nena, sang kakak yang tengah hamil tua keluar kamar dan langsung mengadu.

"Mati lah! ayo buruan." Tanpa mengenakan sepatunya kembali Ardi langsung menaiki motor, menyuruh gadis yang sama paniknya itu untuk segera ikut kabur.

"Ardi!!!" Teriakan sang ibu menggema di udara.

"Bang, Ar. Buruan, Karin nggak mau dilempar panci."

Keduanya melesat ke jalan raya dengan tertawa-tawa, uji nyali tidak pernah sepagi ini, sepasang sepatunya, juga sebelah sepatu milik Ardi Karin dekap dengan begitu erat.

"Lo sih pake segala nglempar sepatu gue ke dalem." Ardi mengomel saat mereka sudah sampai di dekat sekolah, keduanya mampir dulu ke warung kang Edi tempat biasa Ardi sering nongkrong dulu saat masih jadi murid di Smanya itu.

Karin tidak menanggapi, bukan karena merasa bersalah, gadis itu sibuk memasang kedua sepatunya.

"Eh, Mas Ardi, jarang keliatan setelah lulus." Kang Edi yang memang mengenal baik pemuda itu menyapa, "kopi Mas?" Tawarnya kemudian.

Ardi membalas sapaan dengan senyum setelah memasang sebelah sepatunya. "Nggak usah, Kang. Air mineral botol aja, cuma numpang duduk bentar," tolaknya, kemudian meraih botol mineral yang disodorkan si pemilik warung.

Karin yang sudah selesai dengan sepatunya kini beralih merapikan seragam putih abu yang ia kenakan, dan kemudian mendapat teguran dari pemuda yang sedari tadi memperhatikannya.

"Rapi-rapinya di kamar mandi aja kali."

"Tanggung, bentar lagi bel, nggak sempet ke kamar mandi," jawabnya, masih sibuk dengan memasukan ujung seragam ke dalam rok abu selututnya.

"Walaah habis ngapain ini pagi-pagi udah berantakan." Istri Kang Edi yang entah datang dari arah mana tiba-tiba berkomentar. Wanita paruh baya itu memang senang sekali bercanda.

Ardi terkekeh pelan setelah meminum air di botolnya, "seru lah, Bi pokoknya." Jawaban itu mendapat tendangan di kaki dari Karin yang masih sibuk merapikan seragamnya. Lah kan emang seru, kangen mami ngamuk ragara dagangannya berantakan apa nggak seru coba.

Istri pemilik warung tertawa. "Alaah, anak muda jaman sekarang pagi-pagi mainnya udah panas-panas an,"  godanya lagi setelah itu ngeloyor pergi.

"Pagi-pagi panas-panasan ngapain? Main layangan? Matahari juga blom nongol, panasnya dimana? Nggak ngerti Karin sama becandaan kalian."

"Masih di bawah umur, otak lo belum nyampe."

"Ah udah lah, Karin udah kesiangan," ucap Karin bergegas pergi setelah merebut air mineral dari tangan abangnya.

"Minum gue oy."

Teguran Ardi tidak lagi Karin dengar, gadis itu berlari ke gerbang sekolah yang memang tidak terlalu jauh, dan sepeda motor tiba-tiba menghadang langkahnya.

"Telat ya, ayo ikut, lumayan sampe parkiran," ajak seorang pemuda yang Karin begitu kenal, dia Dewa, si ketua osis, alih-alih memikirkan kenapa pemuda itu begitu baik hati mengajaknya, Karin malah heran kenapa ketua osis juga nyaris kesiangan, nggak memberikan contoh suri tauladan yang baik nih ketua. Pikirnya.

"Boleh deh, Kak." Tanpa curiga ia ikut naik ke boncengan. Hal itu tidak luput dari perhatian Ardi yang masih duduk di warung, pemuda itu sampai meminta sebatang rokok, karena tiba-tiba saja suasana hatinya berubah buruk. Entah kenapa.

***
Bel tanda istirahat membuat seisi sekolah berubah ramai, Karin masih di kursinya, merapikan buku pelajaran yang berserakan di atas meja.

"Eh, Rin, katanya lo tadi berangkat bareng Kak Dewa ya?" Maya teman sebangkunya bertanya.

Karin menoleh, "siapa bilang, tadi gue  ketemu di depan gerbang doang, berhubung udah kesiangan, ya gue ikut aja, dia yang nawarin," tuturnya memberi penjelasan.

Maya berbisik. "Lain kali jangan mau, Rin. Lo nggak takut sama gengnya Ratu, Dewa kan gebetan dia, tiati."

Karin berdecak, " yaelah orang dibonceng doang, takut amat."

Perbincangan keduanya teralihkan dengan kedatangan tiga kakak kelas berpenampilan menor masuk dan berdiri di hadapan Karin.

Seorang gadis yang Karin tahu bernama Ratu menggebrak meja, alih-alih kaget, Karin malah takjub, nggak sakit aja itu tangan, pikirnya. Maya mengkeret di kursinya, tidak beranjak pergi, setia kawan menemani Karin takut diapa-apain.

"Udah ngerasa cantik lo mau dibonceng sama Dewa?" Tanya Ratu, nada suaranya tampak sewot.

Karin mengerutkan dahi, sejak kapan ada peraturan harus cantik kalo mau dibonceng ketua osis, Karin belum baca. "Maksud kakak?" Tanyanya.

Ratu tampak berdecak kesal, melipat tangannya di dada," sekali lagi gue ngeliat lo dibonceng Dewa, lo berurusan sama gue," ucapnya kemudian mengajak teman-temannya untuk pergi.

"Kan gue bilang juga apa, Rin. Lo jangan deket-deket Dewa deh kalo mau selamet." Maya mengingatkan dengan sungguh-sungguh, merasa khawatir.

"Lo pernah liat Kak Dewa bonceng si Ratu belum May?" Karin malah bertanya.

Maya mengerutkan dahi, mengingat-ingat. "Belom sih," jawabnya, masih bingung dengan pertanyaan teman barunya itu.

"Berarti dia juga belum ngerasa cantik, nggak berani dibonceng, Dewa," komentar Karin yang membuat Maya melongo tidak percaya, "kantin yuk, laper nih," ajaknya, kemudian beranjak berdiri.

"Santuy amat lo abis dilabrak." Maya berkomentar, ikut berdiri.

Karin menoleh, "kalo nggak salah kenapa harus takut," ucapnya. Maya jadi berpikir, Karin memang tidak salah, Dewa sendiri yang mengajak naik ke motornya. Namun kalimat karin berikutnya membuatnya ingin sekali menjitak kepala anak itu.

"Gue emang cantik kok, udah pantes lah dibonceng Dewa."

Wah, setengah ni anak. Keluh Maya dalam hati, baru tau, teman barunya segila ini.

NOISY GIRL (Completed Di Noveltoon) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang