"Adhien gak mau mah,"
Mama terus menarik Adhien, "Ayolah sayang, mama lagi pengin gado-gado di kampung jati!"
"Mah, tapi" Gadis itu berpikir sejenak.
"Okey, tapi Adhien ganti baju dulu," katanya sambil melihat kaos dan celana pendek yang melekat.
Senyum mamah Rani mengembang, "Cepet loh! Mamah tunggu di mobil,"
Adhien bergegas pergi menuju kamarnya. Mulutnya menggerutu. Merutuki kelakuan mamah Rani yang terus-menerus menganggap Adhien layaknya anak kecil. Padahal sudah kelas tiga SMA, menanjak usia 18 tahun, tapi Adhien tidak diizinkan menjaga rumah seorang diri. Walaupun di dalamnya ada Mbak Tari, tetap saja dia bukan siapa-siapa dari keluarga Wijaya.
Adhiena Wicitrani, putri dari pemilik sekolah ternama di Indonesia, Citra Bangsa International School. Anak bungsu dari dua bersaudara. Kulitnya kuning langsat, rambut bergelombang, berwarna cokelat tua, ditambah postur tubuh yang semampai membuat dirinya digilai banyak laki-laki seusianya. Banyak tidak berarti semuanya. Tentu, ada beberapa cowok yang tidak menyukainya. Sikap yang acuh serta karakternya yang dingin membuat Adhien dipandang gadis yang angkuh. Memiliki tiga sahabat di sekolahnya; Vani, Tera, dan Yolanda. Meskipun selalu bersama, Adhien belum sepenuhnya percaya dengan mereka. Hanya Kevin. Laki-laki yang berhasil menarik perhatian di hidupnya. Satu tahun yang lalu. Rasa kepercayaannya telah hancur. Kenyataan seolah mengkhianati. Ah! Kevin hanya mantan kekasih. Tidak lebih dari itu.
"Jauh gasi, mah?"
"Bentar lagi juga sampe. Kamu ini loh, manja banget sih!"
"Bukan begitu, tapi Adhien udah janji mau keluar sama Vani. Emang mau anaknya dianggep tukang boong?" Mamah Rani menoleh sekilas,
"Apa?" sahut Adhien.
"Rumahnya itu loh yang cat warna biru," kata mamah Rani menunjuk rumah sederhana di hadapannya. Terdapat etalase dan meja yang digunakan untuk berjualan. Orang-orang tengah mengantri di depannya.
"Kamu mau ga?"
Adhien menggeleng cepat, "Adhien kan gak suka sayur-sayuran yang begitu mah" katanya pelan, namun mampu menyita para pembeli di sekelilingnya.
Bu Ratna, penjual gado-gado yang tengah membungkus, kini mulai menatap keduanya.
Mamah Rani memakai gamis berwarna abu-abu, flatshoes silver, serta tas dompet yang dijinjing berwarna senada. Sedangkan, Adhien memakai kaos putih bergambar panda, jeans hitam panjang, flatshoes cokelat tua, dan rambutnya yang diikat setengah. Sangat simpel. Ibu dan anak, keduanya tidak menyukai kemewahan. Berpenampilan senyamannya dan sopan itupun lebih dari cukup.
Tapi tidak dengan mereka. Bu Ratna, dan warga sekitar yang melihatnya pun menyadari kalau ibu dan anak itu bukan dari keluarga yang sederhana.
"Bu, gado-gado dibungkus satu, ya?" pinta mamah Rani sembari tersenyum ramah.
Bu Ratna menatapnya, memberi jeda di antara mereka, "Maap, gado-gadonye udeh abis. Besok lagi aje kemari!"
"Bu..." tegur laki-laki yang tengah mengulek bumbu gado-gado. "Kan masih ada di belakang,"
"Udeh lu diem aje!"
Adhien menyoroti laki-laki itu.
"Yaudahlah, mah, lain waktu aja. Lagian juga katanya udah abis," kata Adhien sambil mengelus lengan mamahnya.
Mamah Rani tersenyum, "Yaudah, kami permisi dulu,"
"Bagus dah, pegi sono!"
"Ibuu!" Laki-laki itu kembali menegur. Kali ini suaranya lebih keras. Kemudian melihat mamah Rani dan Adhien, "Maafin ibu saya, bu, non.. emang suka begitu,"
"Oh, tidak apa-apa." ujar mamah Rani, "Kami permisi dulu, Mas" Mamah Rani dan Adhien tersenyum, meninggalkan kerumunan orang di warung bu Ratna.
Ada kegelisahan di hati anak remaja itu. Matanya terus menyoroti punggung gadis berkaos putih. Pasalnya, dia pernah melihat gadis itu di satu sekolahnya. Persis.
"Apa itu cewek yang di sekolah, ya? Mirip sih... Ah! Tapi kan yang tadi gak pelit senyum" batinnya.
Pikirannya terus berputar. Mengingat seorang gadis di sekolahnya,
"Kebetulan aja goblok. Mana mungkin si, anak kayak gitu beli ginian!" Bantah pikirannya.
Suka ga? suka ga?😂
Vote+Comment yaw😘😘
Thankyou🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabar Dari Hati
Teen Fiction"Bukan aku, dia, atau mereka. Tapi lo!" -Adhiena Wicitrani. "Asal lo sadar, Dhien. Bukan gue, lo, atau mereka sekalipun." "Tapi takdir." Keduanya menyelutgelut dalam emosinya masing-masing. "Lo sama gue itu udah kayak sepatu. Walau terus sama-sama...