Karna, tak semua kata bisa mewakili rasa
- UnknownAku ...
Rindu ...
Setengah mati, kepadamu ...
Sungguh ku ingin kau tahu ...
Aku rindu setengah mati ...
Aku rindu ...Entah berapa lama gadis itu berdiri di ambang pintu. Tatapannya kosong ke depan. Seolah semuanya terhenti setelah melihat laki-laki itu duduk di kursinya. Matanya memanas, dadanya terasa sesak. "Ayo, Adhien!!! Gak boleh cengeng! Gak boleh lemah! Angkat kaki lo keluar!!!" teriaknya dalam hati.
"Masuk aja. Gue gak bakal apa-apain lo!" kata Kevin santai. Kepalanya masih menunduk, fokus terhadap gitar di tangannya. Sesekali jari-jarinya memetik, mencari kunci yang tepat untuk menciptakan suatu aransemen.
"Ngapain lo di situ?"
Ekspresi laki-laki itu tampak meledek. Alis kanannya terangkat ke atas, "Kelas gue di sini."
"Tapi lo duduk di kursi gue. Lo kan punya kursi, kenapa gak duduk di kursi lo aja!"
"Mau gue di sini,"
"Gak guna ngomong sama orang kayak lo!" ketus Adhien.
Kevin tersenyum. Dia senang membuat gadis itu kesal. Tambah cantik, imut, lucu, dan pastinya menggemaskan. Itu penilaian dari Kevin. Terlebih ketika sifat manja dari gadis itu keluar, dengan sangat senang dia menjahilinya tanpa ampun. Tapi, itu dulu. Ketika mereka berstatus sepasang kekasih.
"Loh, tempat duduk lo kan di sini, ngapain di tempatnya Yola?"
"Gimana gue mau duduk kalo lo-nya aja masih di situ?" Matanya memutar dan berujung ke arah Kevin.
Lagi-lagi Kevin malah tersenyum, "Sebelah gue kosong, Dhien," tawarnya.
Adhiena tidak menggubrisnya. Tangannya sibuk memasangkan earphone di kedua telinganya. Bahkan, ia sama sekali tidak berniat untuk mendengarkan celotehan yang keluar dari mulut Kevin.
"Samlekoom!" teriak Andi berbarengan dengan Baim.
"Tumben lo udah dateng, bos!" kata Fathur.
Ketiganya berjalan mendekati Kevin. Lalu bersalaman ala salam komando. Sedangkan Adhien, dia sama sekali tidak menganggap adanya manusia di ruangan itu. Kecuali dirinya sendiri.
"Dhien, Vani mana dah?" tanya Bima.
Hening.
Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar. Bima menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Nanya sama cewek kayak gitu ya mana dijawab si," ceplos Fathur, "Bloon juga lu nya"
"Heran gue, makin hari makin angkuh aja tu orang," tambah Anton.
Kevin melirik Anton, kemudian bergantian pada Fathur. Ada perasaan tidak suka setelah keduanya berbicara soal Adhien.
Covernya memang seperti itu, tetapi Kevin lebih mengenal siapa dan bagaimana karakter Adhien sebenarnya. Tidak semua, hanya sebagian besar.
Kevin menaruh gitarnya di pojok kanan kelas, kemudian menarik tasnya secara kasar dan berjalan mendekati gadis itu.
Suasana kelas mulai ramai. Sudah lima belas menit berjalan sejak kedatangan Adhien di kelas. Desas-desus suara terdengar lirih. Semua tatapan tertuju pada sepasang mantan kekasih. Bukan hal yang mengejutkan, hanya saja semuanya tampak canggung melihat wajah keduanya yang berjarak lima sentimeter.
Kevin masih memerhatikan Adhien yang tengah terpejam. Gadis di hadapannya itu cantik, pikirnya. Tapi dua tahun merupakan waktu yang sebentar untuk menumbuhkan rasa cinta di hatinya. Siapa tahan? Adhien lebih memilih berhenti daripada terus dipaksakan. Dekat, namun menyakitkan.
Setelah sadar akan lamunannya, Kevin menarik kabel berwarna putih yang menyumpal di telinga Adhien.
Adhien terkejut. Bola mata cokelatnya langsung membulat. Tertegun melihat wajah Kevin dengan jarak yang sangat dekat.
"Bisa gak sih gak usah ganggu hidup gue lagi!" sentak Adhien.
"Gue cuma mau lo ngehargain kita, temen-temen gue sebagai manusia!"
"Apa urusan sama lo!" balas Adhien santai.
Kevin menyentuh dagu milik Adhien. Tatapannya dalam, menyoroti kedua bola mata Adhien. "Bisa jadi cewek normal?"
Adhien terdiam. Sorot matanya menajam. Pikirannya berkalut dengan emosi di hatinya.
"Lo cantik. Tapi lo sendiri yang membuat diri lo gak secantik paras lo!" lanjutnya.
Di dekat telinga Adhien. Ucapannya sangat jelas. Gadis itupun termangu. Dua kalimat itu seolah menghentikan dunianya.
"Lo tau semut? Mereka aja saling komunikasi kalo ketemu. Sesamanya!"
"Lah lo? Sama aja gak ada harganya dibanding binatang sekalipun." kata Kevin lagi. Tangannya menyingkir dari dagu Adhien.
Tanpa ba-bi-bu, Kevin menjauh. Pikirannya kacau. Ia kembali melukai perasaan gadis itu.
Air mata Adhien sudah tidak terbendung lagi. Tidak peduli dengan teman-temannya yang sudah hadir di dalam kelas. Ia hanya ingin menangis. Ia tidak tahu dirinya itu merasa marah, kesal, atau dendam? Adhien hanya merasakan. Rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Kedua telapak tangannya tertumpuk di depan dada. Kemudian meremas, berharap dapat meredakan rasa sesak di dalamnya.
"Cupu lo goblok bikin cewek nangis!" teriak Adi lantang. Semuanya menoleh.
"Apa!" Tantang Adi terhadap satu kelas yang memandanginya.
"Udah lo balik ke kelas!" perintah Fathur, mendorong bahu Adi.
Adi mendekat ke arah Adhien. Tiba-tiba langkahnya terhenti, tatapannya bertemu dengan orang yang lebih berhak. Bukan takut. Ada faktor yang membenarkan tingkahnya tersebut. Pertama, Adi tidak berhak ikut campur. Kedua, Adi tidak mengetahui apa masalahnya. Ketiga, Adi bukan siapa-siapa dari keduanya.
"Lo bilangin tuh ke temen lo, kalo hobinya bikin cewek nangis, besok suruh ganti celananya jadi rok!" ujar Adi sembari memberi hormat kepada Kevin. Kemudian keluar dari kelas XII.B.
Setelah menjauh beberapa langkah, Kevin kembali. Membenarkan ucapan Adi dalam hati. Lalu, dia menatap wajah Adhien yang basah dan memerah. Rahang Kevin pun mengeras.
"Gak boleh cengeng! Gue tau lo kuat!" katanya, menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Kemudian diusap bibir merah mudanya, "Ini gak boleh cemberut terus. Senyum," Tangannya membentuk lekukan senyum di bibir Adhien.
Kevin terkekeh, "Maafin gue," Mengelus lembut di pangkal kepalanya.
"Mungkin gue orang yang paling goblok, paling tolol, berani-beraninya bikin lo sedih terus,"
"Tapi, gue beneran gak paham gimana perasaan gue ke elo" batin Kevin.
Gimana?
Kurang apa?
Kurang banyak yaa:v wkaka
Vote+Comment yaw:*
Tencuuu😘😘OIYAAA!!!
Mulmed as ADHIENA WICITRANI
(Sementara)
Cocok gasii?
Usul yaak:*:*
Luv,
@putrisalad
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabar Dari Hati
Teen Fiction"Bukan aku, dia, atau mereka. Tapi lo!" -Adhiena Wicitrani. "Asal lo sadar, Dhien. Bukan gue, lo, atau mereka sekalipun." "Tapi takdir." Keduanya menyelutgelut dalam emosinya masing-masing. "Lo sama gue itu udah kayak sepatu. Walau terus sama-sama...