BAGIAN 1

1.6K 45 0
                                    

Lolongan anjing menggema memecah kesunyian dan keheningan malam. Angin bertiup kencang menaburkan hawa dingin menggigilkan tulang. Suasana malam ini begitu mencekam. Apalagi saat itu hujan jatuhnya rintik-rintik menyirami seluruh permukaan Gunung Palang Sewu. Hanya ada satu perkampungan di lereng gunung itu. Keadaannya sunyi, bagai sebuah perkampungan mati.
Tapi dari kerlipnya pelita di tiap-tiap rumah, menandakan kalau desa itu masih berpenghuni. Suara kentongan peronda malam menghalau kesunyian yang menyelimuti seluruh perkampungan itu. Terlihat dua orang laki-laki berjalan menyusuri jalan tanah Desa Palang Sewu itu.
"Huh! Sial tuh si Saprin. Pura-pura encoknya kambuh!" salah seorang yang memukul kentongan dari bambu menggerutu.
"Ah..., paling-paling juga lagi tandang ke rumah janda di ujung jalan sana," seorang lagi menimpali.
"Ha ha ha ...!"
"Kenapa, tertawa?"
"Lucu."
"Apanya yang lucu?"
"Saprin itu kan orangnya gendut, tua, jelek lagi. Mana mungkin Katila mau sama orang macam si Saprin itu? Mendingan juga sama aku! Masih bujangan, wajah..., tidak begitu jelek. Punya mainan lagi!"
"Lagakmu, Rin.... Baru lihat kerbau ngamuk saja sudah lari paling dulu."
"Eee...! Kamu mau coba, Dut!" Birin jadi gusar.
Endut hanya cengar-cengir saja. Bukannya tidak berani, tapi dia tidak suka ribut dengan teman sendiri. Apalagi dalam tugas ronda yang hanya berdua saja malam ini. Kalau ribut, bisa-bisa harus meronda sendiri. Endut tidak bisa membayangkan, jika harus berada di luar rumah malam-malam sendirian. Lebih baik mengalah, daripada meronda sendirian keliling desa.
Tidak terasa mereka berkeliling sudah hampir ke ujung jalan desa. Secara bersamaan, mereka berhenti melangkah tepat di depan sebuah rumah yang kecil, namun terlihat indah. Halaman rumah itu dipenuhi berbagai macam tanaman kembang. Sesaat kedua peronda itu saling berpandangan. Rumah itu kelihatan terang oleh pelita yang berada di setiap sudut.
"Katila belum tidur, Dut," kata Birin setengah berbisik.
"Biar sajalah! Yuk, jalan lagi," sahut Endut.
"Eh, tunggu dulu. Siapa tahu ada laki-laki di dalam sana. Kan bisa buat hiburan macam ini, Dut," Birin menarik tangan temannya.
"Jangan cari gara-gara, ah!" Endut menolak.
Birin  tidak  peduli,  lalu  melangkah mendekati rumah itu. Sedangkan Endut jadi serba salah. Ingin melarang, tapi temannya sudah demikian dekat dengan rumah itu. Endut mengayunkan kakinya mengikuti Birin yang telah sampai di bawah sebuah jendela kayu.
"Ssst...!" Birin menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri.
Endut merundukkan kepalanya di belakang Birin. Entah kenapa, Endut merasakan jantungnya jadi berdetak lebih kencang dari biasanya. Sementara Birin mulai menjulurkan kepalanya, mengintip dari celah-celah daun jendela kayu itu.
"Rin...," suara Endut terdengar berbisik.
"Ssst, diam. Aku belum lihat apa-apa," kata Birin.
"Rin...," suara Endut agak keras.
"Ada apa sih?!" Birin jadi kesal.
Dan begitu Birin menolehkan kepalanya, matanya langsung membeliak lebar dan mulutnya ternganga.  Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Keringat sebesar butiran jagung langsung menitik membasahi wajah dan lehernya.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, tiba-tiba saja kedua peronda itu mengejang kaku, lalu tubuhnya melorot turun. Dan begitu tubuhnya menyentuh tanah, darah mengucur dari leher. Mereka langsung tewas tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Saat itu sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambar kedua tubuh peronda itu, dan segera lenyap bagaikan hilang saja.
Tak ada yang menyaksikan. Semua berlangsung cepat tanpa terdengar suara sedikit pun. Suasana malam itu tetap sunyi. Desir angin terdengar kencang membawa rintik air hujan, membuat udara semakin menggigilkan. Lolongan anjing tidak lagi terdengar, sementara hujan pun tumpah dengan deras, bagaikan bendungan jebol terlanda badai.
Seluruh penduduk Desa Palang Sewu gempar. Mereka menemukan dua, mayat peronda malam tergeletak di tengah jalan dengan leher hampir putus. Darah bersimbah, bercampur genangan air hujan dan tanah berlumpur. Ki Ageng Sela, orang tertua sekaligus sesepuh desa memerintahkan penduduk untuk mengurus kedua mayat peronda itu.
Pagi itu juga, seluruh penduduk menguburkan mayat kedua peronda malang itu. Sementara Ki Ageng Sela, dan beberapa sesepuh Desa Palang Sewu berkumpul di rumah kepala desa. Tentu saja pembicaraan mereka terpusat pada dua orang peronda yang ditemukan sudah menjadi mayat dengan leher terkoyak hampir putus.
"Ini kejadian pertama setelah sepuluh tahun desa ini tenteram dan damai," kata Ki Ageng Sela.
"Apakah hanya mereka berdua, saja yang meronda semalam?" tanya seorang laki-laki tua berbaju hijau yang duduk di samping Ki Petel, Kepala Desa Palang Sewu.
"Sebenarnya tiga orang, Paman Waku," sahut Ki Petel.
"Tapi yang seorang memang sudah meminta ijin. Penyakit encoknya kambuh! Istrinya yang datang padaku. "
"Aku merasakan ini awal dari malapetaka ......” gumam Ki Ageng Sela, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
Ki Petel, Paman Waku, dan tiga orang sesepuh desa lainnya memandang dalam-dalam pada orang yang tertua di Desa Palang Sewu ini. Sedangkan Ki Ageng Sela mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih. Dia seperti tidak peduli dengan pandangan lima orang itu.
"Rasanya tidak mungkin kalau hanya seorang pencuri yang kepergok, lalu membunuh mereka. Aku tahu kalau Endut dan Birin mempunyai ilmu olah kanuragan, meskipun tidak begitu tinggi tingkatannya. Tapi mereka masih mampu menghadapi pencuri kecil," kata Ki Ageng Sela lagi, masih dengan suara bergumam.
"Maksud Ki Ageng?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun yang duduk di samping Ki Petel. Dia adalah Pranata, ketua padepokan yang hanya satu-satunya ada di Desa Palang Sewu ini.
"Pranata! Apa kau tidak melihat luka di leher mereka?" Ki Ageng Sela balik bertanya dengan menatap Pranata.
"Lihat, Ki," sahut Pranata.
"Bagaimana menurutmu?"
Pranata tidak segera menjawab. Dia memang melihat luka yang hampir memutuskan leher kedua peronda malang itu. Luka tebasan senjata tajam yang cukup rapi. Dan lagi, tampaknya hanya sekali tebas yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Dia seorang ketua padepokan, jadi tentunya bisa mengenali jenis- jenis luka akibat senjata tajam.
"Seorang yang berilmu rendah, tidak mungkin dapat membuat tebasan begitu rapi dan sempurna. Aku yakin, pelakunya seorang yang berilmu tinggi dan punya maksud tertentu," sambung Ki Ageng Sela.
"Aku juga sudah menduga begitu, Ki. Tapi..., apa maksudnya membunuh dua orang peronda? Sedangkan tidak ada seorang pun penduduk yang melaporkan adanya kecurian. Tidak ada perampokan atau pencurian semalam," sambut Pranata.
"Itu berarti desa kita kemasukan seorang tokoh hitam rimba persilatan," selak Paman Waku.
"Terlalu dini kalau menyimpulkan sampai ke situ, Waku," bantah Ki Ageng Sela.
"Sudah jelas, Ki. Dan orang itu pasti punya maksud tertentu di sini!" Paman Waku tetap pada pendiriannya..
"Sebentar...!" seru Ki Petel tiba-tiba.
Sernua orang yang ada di ruangan rumah kepala desa itu memandang Ki Petel. Sedangkan kepala desa itu malah bangkit berdiri dan melangkah mendekati jendela. Tampaknya sedang berpikir, atau mengingat ingat sesuatu.

19. Pendekar Rajawali Sakti : Putri Kerudung HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang