BAGIAN 3

1.2K 44 0
                                    

"Sepuluh tahun yang lalu Desa Palang Sewu kedatangan seorang tokoh rimba persilatan yang sangat kejam dan telengas. Dia bernama Nyai Dadap ...... kata Dewi Melati memulai pada pokok persoalannya.
"Hm...," Rangga bergumam pelan dan tidak jelas. Pandangannya tidak berkedip menatap lurus pada wanita tua di depannya.
"Tidak sedikit para pendekar dan tokoh-tokoh ternama Desa Palang Sewu yang tewas di tangannya. Tapi kami semua tidak menyerah begitu saja. Kami bersatu dan menghadapi Nyai Dadap hingga ia tewas di dasar jurang," sambung Dewi Melati.
"Lalu, apa hubungannya dengan undanganmu?" tanya Rangga.
"Belum lama ini dua orang peronda malam ditemukan tewas dengan leher koyak hampir putus. Padahal kejadian seperti itu tidak pernah ada setelah kematian Nyai Dadap. Aku dan Ki Petel mengambil kesimpulan yang sama, tapi seluruh tetua desa tidak ada yang mendukung," jelas Dewi Melati.
"Kesalahan kecil yang berakibat fatal ......” gumam Ki Petel yang sejak tadi diam saja.
"Maksudmu, Ki?" Rangga tidak mengerti.
"Kami semua terlalu yakin kalau Nyai Dadap tewas di dasar jurang, sehingga tidak lagi memeriksa mayatnya,  ada atau tidak di sana," sahut Ki Petel.
"Hm..., jadi kalian menduga kalau Nyai Dadap masih hidup dan kini membalas kekalahannya, begitu?" tebak Rangga.
"Benar!" sahut Dewi Melati cepat.
"Tidakkah itu terlalu dini?"
"Aku dan Ki Petel tidak mungkin menyimpulkan begitu kalau tidak melihat luka di leher dua orang peronda yang malang itu. Lehernya koyak hampir putus, terbabat rapi dan sempurna. Juga pada tepian lukanya terdapat noda hitam kehijauan yang mirip tebasan senjata milik Nyai Dadap," jelas Dewi Melati.
"Maksudmu, senjata itu beracun?"  Rangga ingin menegaskan.
"Benar," sahut Ki Petel.
"Hm..., terlalu banyak senjata beracun digunakan tokoh rimba persilatan. Bahkan rata-rata mempunyai ciri yang hampir sama pada setiap korbannya, meskipun racun yang digunakan berbeda. Tapi dalam hal ini, semua racun sebenarnya sama, meskipun berbeda jenis. Aku sendiri belum yakin benar dengan kesimpulan itu," kata Rangga membeberkan pengetahuannya tanpa maksud menggurui.
"Aku percaya, kau memang ahli dan kebal dari segala jenis racun, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku bisa membedakan akibat pedang beracun milik Nyai Dadap dengan orang lain," bantah Ki Petel.
"Bukannya aku sangsi, tapi hanya tidak ingin mengambil kesimpulan atau memutuskan cepat-cepat sebelum mendapatkan bukti yang cukup," kata Rangga tegas.
Ki Petel ingin membantah lagi, tapi keburu dicegah oleh Dewi Melati. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri. Dia menjura memberi hormat, kemudian melangkah mundur dua tindak.
"Aku senang dengan pertemuan ini. Tapi maaf, aku tidak bisa lama-lama," kata Rangga sopan.
Dewi Melati membiarkan saja Pendekar Rajawali Sakti itu pergi. Sedangkan Ki Petel ingin mencegah, tapi Dewi Melati mencekal tangannya. Mereka juga berdiri dan memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Angkuh...!" dengus Ki Petel.
"Jangan salah duga, Ki Petel. Aku tahu, maksudnya baik, dan tidak ingin menyinggung perasaan kita," Dewi Melati menyabarkan.
"Aku sudah bilang, percuma saja mengundang dia! Tidak ada gunanya...!" dengus Ki Petel masih bersungut-sungut.
"Jangan berkata begitu, aku yakin Pendekar Rajawali Sakti punya cara sendiri."
"Terserah kau sajalah."
Malam itu Desa Palang Sewu kelihatan tidak seperti biasanya. Di tempat-tempat yang cukup gelap dan di jalan-jalan terlihat beberapa orang bersenjata membentuk kelompok dengan sikap berjaga-jaga. Mereka adalah murid-murid Padepokan Soka Palang Sewu yang diketuai oleh Pranata, dan rata-rata masih berusia muda.
Malam itu Pranata juga terlihat bersama beberapa orang di depan rumah Kepala Desa Palang Sewu. Mereka adalah Ki Ageng Sela, Wandara, dan Ki Petel. Tidak jauh dari mereka terlihat Paman Waku dan Nyi Senah bersama beberapa orang murid Pranata. Pembicaraan yang terdengar tidak jauh berkisar kejadian mengerikan malam itu.
"Aku lihat saudara seperguruanmu ada di sini siang tadi," kata Ki Ageng Sela menatap pada Ki Petel.
"Benar," sahut Ki Petel.
"Ke mana dia sekarang?" tanya Ki Ageng Sela.
"Ada, di rumah anaknya," sahut Ki Petel pelan. Nada suaranya terdengar kurang bergairah.
"Kau sudah menemuinya, Ki Petel? " tanya Ki Ageng Sela lagi.
"Sudah.”
"Dia tahu keadaan di sini?"
"Jangan menaruh kecurigaan, Ki Ageng!" dengus Ki Petel. Tatapan matanya tajam, langsung ke bola mata Ki Ageng Sela. Bisa dirasakan adanya nada tidak suka pada suara laki- laki tua yang sangat disegani itu.
"Aku hanya bertanya saja," kata Ki Ageng Sela semakin jelas kesinisannya.
"Nyai Dewi tidak ada urusan dengan keadaan di sini!" ketus nada suara Ki Petel.
"Bagus, memang itu yang kuharapkan."
"Ki Ageng. Kau boleh tidak suka pada Nyai Dewi Melati. Tapi kuminta kau tidak membuat keruh suasana yang memang sudah kelam ini. Kehadiran saudara seperguruanku tidak ada hubungannya dengan kejadian itu. Dia hanya mengunjungi anaknya, lain, tidak!" kata Ki Petel tegas dan tajam suaranya.
"Ah, sudahlah. Jangan diperpanjang lagi," Pranata menengahi.
Ki Petel mendengus keras, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Ki Ageng Sela memandanginya tidak berkedip. Sampai tubuh Ki Petel lenyap di dalam rumahnya, laki-laki tua itu masih memandanginya tidak berkedip. Sedangkan Paman Waku dan Pranata yang berada tidak begitu jauh dari tempat itu, hanya memandangi tidak mengerti.
"Ada apa?" tanya Nyi Senah begitu menghampiri.
"Tidak ada apa-apa," sahut Pranata.
"Kudengar nama Dewi Melati disebut-sebut," sambung Paman Waku.
Pranata hanya mengangkat bahunya, kemudian melangkah pergi. Sedangkan Wandara mengajak Ki Ageng Sela untuk pergi dari tempat itu. Tinggal Paman Waku dan Nyi Senah saling berpandangan tidak mengerti.
Sementara itu Ki Ageng Sela dan Wandara berjalan menyusuri jalan utama Desa Palang Sewu. Sepanjang jalan yang dilalui hanya kesunyian yang didapatkan. Tak ada seorang penduduk pun yang berada di luar rumah. Beberapa orang bersenjata masih terlihat berjaga-jaga di tempat-tempat yang telah ditentukan. "Keadaan makin bertambah buruk ... !" gumam Ki Ageng Sela seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Wandara.
"Aku yakin, kedatangan Dewi Melati punya maksud tertentu. Aku tahu betul siapa wanita itu," sahut Ki Ageng Sela.
"Kau mencurigai kalau Dewi Melati yang melakukan semua itu?" tebak Wandara.
"Mungkin," sahut Ki Ageng Sela.
"Itu berarti kau juga mencurigai Ki Petel."
Ki Ageng Sela tidak menyahut, tapi terus saja melangkah pelahan-lahan. Sedangkan Wandara menghentikan langkahnya. Dia tidak mengerti, kenapa Ki Ageng Sela punya pikiran seperti itu. Tidak sedikit pun terlintas di benaknya untuk mencurigai orang-orang yang dikenalnya baik. Tapi Wandara tahu siapa Ki Ageng Sela. Sekali orang tua itu menaruh kecurigaan pada seseorang, sudah pasti punya alasan tersendiri yang sangat kuat.
Wandara kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah, mendadak matanya melihat sebuah bayangan berkelebat ke arah Ki Ageng Sela.
"Ki Ageng, awas...”
"Uts!"
Ki Ageng Sela melompat ke samping begitu menoleh. Bayangan itu berkelebat cepat hampir menyambarnya.   Dan belum lagi Ki Ageng sempat menyadari apa, yang baru terjadi, bayangan itu sudah berbalik cepat menyerangnya kembali. Laki-laki tua itu sempat membanting dirinya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Secepat kilat Ki Ageng Sela bangkit berdiri, dan langsung bersiap-siap. Namun dia jadi terkejut. Bayangan itu mendadak saja berubah haluan, langsung menyerang Wandara yang masih diliputi keterkejutan.
"Hup!
Wandara melompat mundur sambil mengangkat tangannya ke depan. Dan bayangan itu langsung menerjangnya dengan kecepatan bagai kilat.
"Akh!" Wandara memekik tertahan.
Seketika itu juga tubuhnya terlempar beberapa batang tombak ke belakang, lalu dengan keras, punggungnya menghajar sebuah pohon besar hingga tumbang. Bayangan itu kembali berkelebat cepat ke arah Wandara yang tengah berusaha bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Ki Ageng Sela melentingkan tubuhnya. Segera dia melesat cepat memotong arah sambil mengirimkan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah bayangan itu.
"Hyaaat... Bug!
Bayangan itu terlontar jauh begitu pukulan Ki Ageng Sela menghajarnya. Namun dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh mata, bayangan itu cepat melesat pergi. Ki Ageng Sela mengurungkan niatnya untuk mengejar, begitu mendengar suara rintihan lirih. Bergegas dihampiri Wandara yang tengah duduk bersila dekat pohon yang tumbang terhantam benturan tubuhnya. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental   berwarna agak kehitaman.
"Wandara...," Ki Ageng Sela berlutut di depan Wandara.
"Ugh, dadaku ......” keluh Wandara sambil mendekap dadanya.
"Kau terluka dalam, Wandara," kata Ki Ageng Sela setelah memeriksa dada Wandara.
"Uhk ..."
Wandara memuntahkan darah kental kehitaman. Ki Ageng Sela terperanjat, dan langsung  melompat bangkit begitu melihat ada warna kehijauan dalam muntahan darah itu. Matanya menatap tidak berkedip pada gumpalan darah yang dimuntahkan dari mulut Wandara. Kemudian pandangannya beralih ke wajah Wandara. Terlihat wajah itu berubah pucat bagai mayat. Keringat mengucur deras di wajah dan lehernya. '"Pukulan Racun Hijau'...!" desis Ki Ageng Sela sedikit tercekat suaranya.
Ki Ageng Sela benar-benar terkejut melihat muntahan darah dari mulut Wandara yang berwarna kehitaman dengan bintik-bintik  hijau. Dia tahu betul kalau itu akibat 'Pukulan Racun Hijau'. Sebuah ilmu pukulan yang hanya dimiliki oleh Nyai Dadap. Tidak ada seorang pun yang mampu bertahan hidup terkena pukulan dahsyat itu.
"Akh ... !" Wandara memekik tertahan.
Seketika itu juga tubuh Wandara ambruk dan menggelepar di tanah. Dari mulutnya mengeluarkan busa berwarna kehijauan. Kedua bola matanya membeliak lebar. Sementara Ki Ageng Sela hanya memperhatikan, tidak mampu berbuat apa-apa. Di saat itu beberapa orang berdatangan. Tampak Pranata, Nyi Senah, Ki Petel, dan Paman Waku bersama sekitar sepuluh orang lainnya tergopoh-gopoh.
Mereka semua terkejut melihat Wandara menggelepar dengan mulut mengeluarkan busa kehijauan. Tangannya mendekap dada erat-erat. Sesaat kemudian, tubuhnya mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak lagi. Semua orang yang berada di tempat itu terpaku.
"Ki Ageng, apa, yang terjadi?" tanya Pranata memecah kekakuan.
"Aku tidak tahu, kejadiannya begitu cepat," sahut Ki Ageng Sela pelan.
Sementara itu Ki Petel dan Paman Waku memeriksa Wandara yang sudah menghembuskan napas terakhir. Kedua orang itu saling melempar pandang, kemudian bangkit berdiri hampir bersamaan. Mereka sama-sama memandang Ki Ageng Sela yang tampak pucat wajahnya.
"Wandara terkena 'Pukulan Racun Hijau'," kata Paman Waku pelan.
"Apa...?!" Pranata dan Nyi Senah terperanjat kaget.
Untuk   sesaat   lamanya   tidak   ada   yang bicara. Mereka dicekam perasaan kaget dan ketidakpercayaan yang amat sangat. Hanya Ki Petel yang kelihatan begitu, tenang. Memang sudah diduga sejak semula kalau Wandara terkena 'Pukulan Racun Hijau'. Dan semua orang yang berada di sini tahu, siapa pernilik jenis pukulan yang amat berbahaya dan dahsyat itu.
Pranata memerintahkan murid-muridnya untuk membawa mayat Wandara, kemudian menghampiri Ki Petel.  Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu mengajak Ki Petel menjauh dari tempat itu. Sementara Nyi Senah dan Paman Waku masih berbicara dengan Ki Ageng Sela.
"Rasanya sukar dipercaya kalau Nyai Dadap masih hidup," kata Pranata pelan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Kau percaya dengan dugaanku, Pranata?" nada suara Ki Petel terdengar sinis.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanya Pranata.
"Luka pada mayat kedua peronda yang membuatku begitu yakin," sahut Ki Petel mantap.
"Aku tidak tahu lagi harus berkata apa, kalau memang benar Nyai Dadap masih hidup. Bahkan sekarang muncul untuk membalas dendam," lenguh Pranata.
"Hal ini tidak akan terjadi kalau kita tidak lengah," sahut Ki Petel.
"Ya. Kita terlalu yakin dengan kemampuan diri sendiri waktu itu," desah Pranata mulai goyah pendiriannya.
Mereka terdiam saat Nyi Senah, Paman Waku, dan Ki Ageng Sela menghampiri. Terlihat jelas kalau wajah mereka dirundung kegelisahan dan kecemasan. Agak lama juga mereka saling berdiam diri, sibuk dengan pikirannya masing- masing.
Sementara malam terus merayap semakin tinggi. Keheningan semakin mencekam menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Palang Sewu. Di kejauhan sana, terlihat Gunung Palang Sewu yang gelap terselimut kabut. Kematian Wandara membuat seluruh tetua desa dirundung kecemasan dan kekhawatiran yang amat sangat.
Pagi-pagi sekali Ki Petel sudah memacu kudanya mendaki Lereng Gunung Palang Sewu. Debu mengepul tersepak kaki kuda yang dipacu cepat, berbaur jadi satu dengan kabut yang masih menyelimuti permukaan lereng gunung itu.
"Hooop ... ! "
Ki Petel menarik tali kekang kudanya, maka kuda putih berbelang coklat tua itu meringkik keras sambil berhenti berpacu. Dengan satu gerakan manis, kepala desa itu melompat turun dari punggung kudanya. Tidak jauh di depan, seorang wanita berparas cantik berdiri mengepit sebuah keranjang dari anyaman bambu.
Ki Petel melangkah menghampiri wanita itu. Dibiarkan saja kudanya yang kini merumput. Kepala desa itu berhenti tidak jauh di depan wanita cantik yang mengenakan baju hijau agak ketat itu. Sebagian wajahnya hampir tertutup kain kerudung berwarna hijau pula. Namun tetap saja tidak sanggup menyembunyikan parasnya yang cantik menawan.
"Dari sendang, Nyai Katila?" tegur Ki Petel.
"Iya," sahut wanita itu yang dipanggil Nyai Katila. Suaranya terdengar pelan dan lembut.
"Pagi-pagi begini kau sudah ke sendang. Apa tidak takut berjalan sendirian?"
"Aku selalu sendiri, Ki. Lagi pula tidak ada orang yang bermaksud buruk padaku di sini."
"Aku yakin, kau mengetahui keadaan Desa Palang Sewu."
"Betul, Ki.”
"Untuk keselamatanmu sendiri, sebaiknya jangan bepergian seorang diri," Ki Petel memperingatkan.
"Terima kasih. "
"Hm..., cepatlah pulang. Atau kuantar saja, bagaimana?"
"Tidak usah, Ki. Terima kasih."
Katila buru-buru melangkah pergi. Sementara Ki Petel memandanginya. Kepala desa itu masih tetap berdiri memandang kepergian wanita cantik itu, meskipun telah jauh, kemudian baru melangkah menghampiri kudanya. Namun tiba-tiba dia tidak jadi naik ke punggung kudanya. Matanya menatap lurus ke arah datangnya Nyai Katila tadi, seperti teringat sesuatu.
"Hm..., bukankah itu arah ke Karang Setan?" gumam Ki Petel seperti baru menyadari.
"Heh! Kenapa aku jadi seperti bermimpi... ?!"
Ki Petel buru-buru melompat naik ke punggung kudanya. Diputarkan arah kudanya dan dipacunya cepat mengejar Nyai Katila. Ki Petel mengurungkan niatnya menemui Dewi Melati di Puncak Gunung Palang Sewu.  Dia baru sadar kalau wanita cantik itu tadi datang dari arah Karang Setan yang berada di sebelah timur Lereng Gunung Palang Sewu. Daerah yang sangat angker dan tidak seorang pun berani mendatanginya, dan kini dikuasai dua orang kembar yang sangat kejam dengan julukan Kera Kembar dari Karang Setan.
Kening laki-laki tua itu jadi berkerut, karena tidak lagi menjumpai Nyai Katila. Padahal dia hampir memasuki perbatasan desanya dengan hutan lereng Gunung Palang Sewu! Dan belum lama Katila berlalu, sedangkan Ki Petel memacu kudanya begitu cepat menyusulnya.
"Huh! Tidak mungkin kalau aku terlewat!" dengus Ki Petel sambil menghentikan lari kudanya.
Ki Petel mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun terlihat di daerah perbatasan ini.  Hanya kesunyian yang mengelilinginya. Tampak rumah-rumah penduduk masih terlihat sunyi, belum ada seorang pun yang keluar dari rumahnya. Ini memang masih terlalu pagi benar, matahari belum lagi menampakkan dirinya dengan penuh. Hanya cahaya merah jingga saja yang memancar dari balik gunung.
Pelahan-lahan Ki Petel kembali menggebah kudanya. Bola matanya terus berputar memandangi sekitarnya. Tapi sebentar kemudian, dihentikan kembali langkah kaki kudanya. Pandangan matanya lurus ke depan, menatap sebuah pondok kecil yang berdiri agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Pondok itu kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni.
"Ada yang bisa aku bantu?" tiba-tiba terdengar teguran halus dari arah belakang.
Tapi belum juga Ki Petel bisa melihat orang yang menegumya dengan halus, tiba-tiba saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambarnya. Kepala desa itu tidak mungkin lagi berkelit. Sambaran bayangan hijau itu dernikian cepat, dan tahu-tahu tubuh Ki Petel sudah terlempar keras dari punggung kudanya.
Brak!
Tubuh Ki Petel menghantam sebuah pohon yang cukup besar, sehingga pohon itu hancur berkeping-keping. Dan belum lagi Ki Petel dapat bangkit berdiri bayangan hijau itu telah menyerang kembali dengan kecepatan luar biasa. Buru-buru Ki Petel menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan beberapa kali di tanah. Tanpa menghiraukan rasa sakit pada seluruh tubuhnya, laki-laki tua itu bergegas melompat bangkit.
"Siapa kau?" bentak Ki Petel keras.
Tidak ada sahutan sama sekali. Namun Ki Petel jadi bergidik ketika orang yang seluruh tubuhnya mengenakan   pakaian hijau dengan kepala dan wajahnya terselubung kain hijau itu mengeluarkan sebuah pedang yang amat dikenalnya. Pedang itu seluruhnya berwarna hijau, berbentuk menyerupai seekor ular yang meliuk-liuk membuat kelukan lima buah.
"Kau pasti bukan Nyai Dadap! Katakan, siapa dirimu sebenarnya?!" dengus Ki Petel tidak lepas menatap orang itu tajam-tajam.
"Aku senang kau masih mengenaliku, Ki Petel," kata orang itu dengan suara halus, namun bernada ancaman.
"Tidak mungkin...! Mustahil...!" Ki Petel jadi bergetar hatinya.
Memang sudah diduga kalau Nyai Dadap masih hidup, dan sekarang muncul lagi untuk balas dendam atas kekalahannya. Semula keyakinannya itu belum sepenuhnya mendasar di dalam hati. Dan kini, setelah berhadapan dengan orang yang telah menggemparkan desanya selama ini, keraguan dan kebimbangan yang bercampur dengan perasaan kecemasan Mulai menggerogoti hatinya. Suara itu mirip sekali dengan suara Nyai Dadap. Sedangkan pedang yang tergenggam di tangannya, adalah pedang beracun milik Nyai Dadap yang terkenal dahsyat dan bernama Pedang Beracun Ular Hijau.
Hanya yang menjadi keraguannya, Nyai Dadap tidak pernah muncul dalam pakaian berwarna hijau. Terlebih lagi menggunakan selubung penutup kepala hingga wajahnya tidak terlihat.
"Terimalah kematianmu, keparat! Hiyaaa...!"
Ki Petel tidak sempat lagi berpikir lebih jauh. Orang berbaju hijau itu sudah menyerang kembali dengan gerakan yang sangat cepat. Pedang berbentuk ular berwarna hijau itu berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Ki Petel melayani, namun pikirannya masih diliputi berbagai macam pertanyaan.
"Hiya! Hiyaaa...!" "Uts!"
Ki Petel merundukkan kepalanya ketika pedang hijau itu mengibas ke arah kepalanya. Namun tanpa diduga sama sekali, sebuah tendangan keras melayang dan mendarat telak di perutnya. Ki Petel mengeluh pendek. Tubuhnya terbungkuk menahan rasa mual pada perutnya. Dan belum lagi sempat mengontrol dirinya, satu pukulan telak menghajar wajahnya hingga terdongak ke atas.
"Hiya...!" Buk!
Satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi mendarat telak di dada Ki Petel. Tak pelak lagi, tubuh Kepala Desa Palang Sewu itu terjengkang ke belakang beberapa tombak jauhnya. Kesempatan itu digunakan orang yang berbaju serba hijau untuk melompat menyerang sambil berteriak keras melengking tinggi.
"'Yaaa...!"
"Mati aku...!" lenguh Ki Petel tanpa daya. Pedang terhunus berbentuk ular dan berwarna, hijau itu meluruk deras ke arah dada Ki Petel. Dan pada saat ujung pedang itu hampir menembus dada, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapak serangan itu.
Trak!
"Akh!" satu pekikan tertahan terdengar.
Ki Petel yang sudah pasrah dengan mata terpejam, jadi terbengong. Ternyata ajal yang sudah dinantinya tidak kunjung datang. Ki Petel semakin bertambah bengong, karena, begitu matanya terbuka, terlihat seorang laki-laki gagah mengenakan baju rompi putih sudah berdiri di depannya. Sedangkan orang berpakaian serba hijau, berdiri tegak di depannya dengan senjata melintang di depan dada.
"Setan! Berani kau mencampuri urusanku!" bentak orang berbaju serba hijau itu geram.
"Seorang ksatria tidak akan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya," sambut pemuda itu kalem.
"Phuih! Kau juga harus mampus, keparat!"
"Hm....
"Hyaaat...

***

19. Pendekar Rajawali Sakti : Putri Kerudung HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang