BAGIAN 6

1K 41 1
                                    

Sebuah bayangan hijau berkelebat cepat keluar dari pondok kecil yang terpencil di antara rumah penduduk Desa Palang Sewu. Dari balik rerimbunan semak, sepasang mata memperhatikan bayangan hijau yang melesat cepat bagai kilat tadi. Sesaat kemudian, dari dalam semak itu melesat satu bayangan putih menuju ke arah bayangan hijau tadi berkelebat.
Bayangan hijau itu terus bergerak cepat menuju ke sebuah bangunan besar dikelilingi pagar tembok benteng yang kokoh. Bangunan itu adalah padepokan yang dipimpin Pranata. Bayangan hijau itu berhenti setelah tiba di samping pagar tembok yang tinggi dan terlindung bayang-bayang pohon. Keadaan di sekitar Padepokan Soka Palang Sewu itu tampak sepi, hanya beberapa orang murid saja yang berjaga-jaga di depan pintu gerbang.
"Sepi..., kesempatanku untuk membuat perhitungan dengan Pranata."
Sosok bayangan hijau itu ternyata adalah Katila. Meski seluruh kepala dan wajahnya terlindung selubung kain hijau, namun bentuk matanya yang indah masih dapat menggambarkan jati dirinya. Katila tidak menyadari kalau ada sepasang mata bening bersinar bagai bintang, tengah mengawasinya sejak keluar dari dalam pondoknya.
Slap!
Katila melesat naik ke atas pagar tembok benteng padepokan itu. Tubuhnya agak membungkuk dengan lutut tertekuk hampir menyentuh dinding atas tembok. Sebentar diamati keadaan di dalam benteng padepokan itu.   Kemudian dengan satu gerakan ringan tanpa menimbulkan suara, tubuh ramping itu meluruk turun.
"Siapa itu?" terdengar bentakan keras begitu kaki Katila menjejak tanah.
"Sial!" dengus Katila.
Dengan gerakan cepat, Katila mengebutkan tangannya ketika seorang laki-laki muda bersenjata golok datang berlari-lari. Seberkas cahaya hijau melesat cepat ke arah orang itu, dan langsung menerjangnya tanpa ampun.
"Akh!" laki-lak muda itu memekik keras. Seketika itu juga tubuhnya terjungkal ambruk. Hanya sebentar mampu bergerak, sesaat kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Sebilah pisau berwarna hijau tertancap dalam tepat di jantungnya.
"Hup!" Katila melompat cepat ke arah laki-laki muda yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Tangannya menjulur mencabut pisau yang tertanam di dada. Pisau berwarna hijau itu diselipkan di balik ikat pinggangnya. Katila mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara-suara langkah kaki menuju ke arahnya.

"Huh! Mereka sudah tahu kedatanganku!" dengus Katila memberengut.
Katila membalikkan tubuhnya, dan langsung terkejut. Di belakangnya kini telah berdiri sekitar sepuluh orang bersenjata golok terhunus. Dan ketika menoleh ke belakang, sudah ada sekitar sepuluh orang lagi. Mereka adalah murid dari Padepokan Soka Palang Sewu. Semuanya sudah menghunus golok telanjang di tangan.  Tanpa menunggu komando lagi, mereka serentak bergerak mengepung.
"Ternyata dugaanku benar, kaulah yang selama ini membuat kerusuhan."
"Pranata... !" desis Katila ketika menoleh.
Pranata melangkah mendekat dengan bibir tersungging senyuman. Sedangkan Katila memandangnya penuh kebencian. Tidak kurang dari tiga puluh orang bersenjata golok mengepung di sekitar tempat itu.
"Kau menaruh dendam padaku, mengapa orang lain kau ikut sertakan, Katila?" agak bergetar suara Pranata.
"Bukan hanya kau, tapi seluruh penduduk desa ini harus mati!" sahut Katila dingin.
"Hm.... kau membawa senjata Nyai Dadap. Ada hubungan apa kau dengan iblis betina itu?" mata Pranata tidak berkedip memandang senjata yang tersandang di tubuh Katila.
"Nyai Dadap guruku! Sekarang suaminya, dan aku muridnya akan menuntut balas!" jawab Katila tegas.
Pranata mengerutkan keningnya. Jawaban tegas wanita cantik itu membuatnya terkejut. Sungguh tidak pernah terpikirkan kalau Nyai Dadap mempunyai suami dan seorang murid wanita yang cantik. Wanita yang selama ini dikenal baik oleh penduduk Desa Palang Sewu, ternyata adalah murid Nyai Dadap! Dia itu dulu seorang tokoh hitam rimba persilatan yang menjadi momok menakutkan bagi seluruh penduduk desa.
"Demi arwah guruku, terimalah kematianmu, Pranata!”
Setelah berkata lantang, Katila langsung melompat menerjang Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu. Terjangannya begitu cepat, sehingga membuat Pranata sempat terperangah. Namun dengan cepat dia melompat mundur menghindari terjangan wanita berbaju serba hijau itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa ... !"
Katila berteriak keras melengking, dan tangannya mengibas cepat beberapa kali. Beberapa cahaya hijau meluncur bagai hujan ke arah orang yang mengepungnya. Begitu cepatnya cahaya hijau itu melesat, sehingga tidak ada yang sempat menghindarinya. Jeritan melengking terdengar beberapa kali saling susul begitu cahaya hijau yang berasal dari beberapa jarum kecil itu menembus orang yang mengepung dengan senjata terhunus.
Tidak kurang dari sepuluh orang, ambruk bergulingan di tanah. Kejadian yang cepat dan tidak terduga itu, membuat yang lainnya jadi terperangah. Terlebih lagi Pranata. Dia terkejut sekali mendapati sepuluh orang muridnya tewas hanya dalam satu gebrakan saja.
"Iblis! Perempuan keparat...!" geram Pranata gusar.
"Yat..! Haaa...
Katila kembali mengebutkan tangannya. Dan jeritan melengking kembali terdengar menyayat memecah kesunyian malam ini. Kembali delapan orang terjungkal roboh tertembus jarum-jarum beracun yang dilepaskan wanita cantik berbaju hijau itu.
"Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"
Pranata tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Langsung dicabut goloknya seraya melompat menerjang ganas. Katila mengegoskan tubuhnya sedikit ke kiri, maka tusukan golok Pranata lewat sedikit di pinggangnya. Secepat Pranata menarik goloknya kembali, secepat itu pula dikibaskannya ke arah pinggang. Katila menarik kakinya ke belakang satu langkah, lalu membungkukan sedikit tubuhnya sambil menarik perutnya ke belakang. Kembali serangan Pranata luput dari sasaran. Ujung goloknya hanya lewat sedikit di depan perut Katila.
“Hap!”
Cepat sekali katila memutar tubuhnya sambil mengangkat kaki kanannya. Satu serangan balasan yang cepat, membuat Pranata sulit menghindarinya. Tapi dengan cepat Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu mengibaskan goloknya menyilang di depan dada.
"Uts!"
Katila langsung menekuk kakinya. Dan begitu golok Pranata berada di bawah perut, dengan cepat tangan kiri wanita itu melayang ke depan, mengarah ke dada lawan yang kosong.
Dug!
"Akh!" Pranata memekik tertahan.
Kepalan tangan Katila telak masuk ke dada Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu. Tubuh Pranata terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tangan kirinya mendekap dada yang terkena pukulan bertenaga dalam cukup tinggi itu. Dan belum lagi Pranata dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, Katila cepat melompat sambil mencabut senjatanya berupa sebilah pedang berbentuk ular berwarna hijau.
Sret!
"Mampus kau, Pranata! Yaaat...!” Katila menjerit keras melengking.
Sementara Pranata yang masih dalam keadaan limbung, hanya bisa terkesiap melihat serangan selanjutnya yang datang begitu cepat. Tidak ada waktu lagi untuk berkelit. Pranata kontan mengangkat goloknya, cepat membentengi tubuhnya.
Trang!
Dua senjata beradu keras.
"lkh!" Pranata terperanjat. Tangannya bergetar hebat, dan golok kebanggaannya terpotong jadi dua bagian. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, secercah cahaya hijau berkelebat cepat ke arahnya.
Buru-buru Pranata melompat mundur. Namun ujung senjata Katila masih sempat menggores dadanya. Kembali Pranata memekik tertahan. Darah pun mengucur dari luka yang cukup panjang di dada Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu.
"Hi hi hi...!" Katila tertawa terkikih melihat darah mengucur dari dada lawannya.
"Serang... !" seru Pranata keras sambil menahan rasa nyeri.
Dua belas orang muridnya serentak berlompatan menyerang dengan ganas begitu mendapat perintah dari gurunya. Namun Katila bukanlah orang sembarangan. Gerakan jurus-jurusnya demikian cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa. Apalagi kini memegang senjata yang sangat ampuh dan dahsyat. Murid-murid Padepokan Soka Palang Sewu sungguh dibuat tidak berdaya. Mereka tumbang satu persatu dalam waktu cepat.
Hanya dalam waktu setegukan air teh saja, tinggal enam orang yang masih hidup. Katila benar-benar tidak memberi ampuh lagi pada lawan-lawannya. Dibabatnya habis siapa saja yang berani menghalanginya.
"Hiya! Yeaaah...
Sambil berteriak keras, Katila melompat berputar mengibaskan pedangnya yang berbentuk seekor ular hijau itu. Jerit dan pekik kematian mewarnai suasana malam ini. Jeritan terakhir dari murid-murid Padepokan Soka Palang Sewu. Katila berdiri tegak di, antara gelimpangan mayat-mayat. Pedangnya menyilang di depan dada. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Pranata. Saat itu Pranata sudah bias menghentikan darah yang mengucur keluar dari luka di dadanya. Napasnya pun sudah teratur kembali.
Cring!
Katila memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggang. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya seorang ksatria yang berani menghadapi lawan tanpa menggunakan senjata, di saat lawannya juga tidak memegang senjata. Pelahan-lahan Katila menggeser kakinya ke samping, dan pandangan matanya tetap tajam menusuk tidak berkedip.
Sementara Pranata juga telah bersiap-siap menghadapi wanita berbaju hijau yang penuh dendam di hatinya itu. Kini Pranata tidak dapat bermain-main lagi. Dia sudah merasakan, bagaimana pahitnya menganggap remeh lawan yang hanya seorang wanita. Dia juga tidak berkedip mengamati setiap gerak wanita di depannya.
"Hup! "Hya...!
Hampir bersarnaan, Katila dan Pranata melornpat saling menerjang. Kedua tangan mereka terpentang ke depan, disertai pengerahan ilmu andalan masing-masing.
Tepat pada satu titik di tengah, kedua tangan mereka bertemu. Satu ledakan keras terdengar menggelegar disertai memijarnya bunga api, disaat kedua pasang telapak tangan bertemu di udara. Kedua tangan yang mengadu ilmu itu tampak terpental ke belakang dengan keras. Masing- masing jatuh bergulingan di tanah. Namun Katila cepat dapat bangkit kembali. Tampak darah mengalir keluar dari mulutnya. Sedangkan Pranata tetap menggeletak dengan tubuh menghitam bagai terbakar. Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
"Hhh...!" Katila menarik napas panjang dan berat.
Namun wajahnya langsung memerah begitu menarik napas. Tangan kirinya menekan dadanya kuat-kuat. Sesaat kemudian dimuntahkan darah kental agak kehitaman. Raut wajahnya berubah memucat, dan tubuhnya bergetar. Buru-buru dia duduk bersila, lalu menyilangkan tangannya di depan dada dengan jari telunjuk  merapat menunjuk ke atas. Matanya terpejam rapat, kemudian diatur napasnya.
"Hsss..., " dari mulutnya keluar suara mendesis bagai seekor ular.
Katila menyadari kalau dirinya terkena pengaruh ilmu yang dikeluarkan Pranata tadi. Dipusatkan seluruh jiwanya lalu disalurkan hawa murni untak memulihkan bagian dalam tubuhnya. Sedikit demi sedikit hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Dua kali dia memuntahkan darah kental kehitaman. Dan pada muntahan yang ketiga kalinya, darahnya kembali berwama merah. Pelahan-lahan kelopak, matanya kembali terbuka.
"Uh! Sungguh hebat ilmunyat" lenguh Katila seraya bangkit berdiri.
"Hampir saja aku tidak kuat menahannya."
Sejenak dipandangi keadaan sekitarnya yang dipenuhi mayat bergelimpangan bersimbah darah. Tatapan matanya langsung tertumbuk pada mayat Pranata yang terbujur kaku dengan seluruh tubuh menghitarn hangus.
"Hhh...! Kalau saja tidak kugunakan aji ‘Pati Geni', entah apa yang tejadi pada diriku ......” gumam Katila pelan.
Katila berbalik dan langsung melompat melewati pagar tembok benteng yang tinggi dan tebal. Tubuhnya melesat ringan, dan cepat meluruk ke bawah begitu melewati bagian atas tembok benteng itu. Dan begitu kakinya berhasil menjejak tanah, matanya membeliak lebar.
Katila memandangi laki-laki muda berwajah tampan di depannya seperti hampir tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Pemuda tampan berbaju rompi putih pun membalas tatapan itu dengan tajam pula.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Katila agak ketus nada suaranya.
"Seharusnya kau sudah bisa menjawab sendiri, Katila," sahut pemuda itu dingin.
"Kau orang asing di sini. Jangan mencampuri urusanku! "
"Aku memang tidak akan mencampuri urusanmu, jika kau tidak berlaku kejam dengan membantai orang-orang tidak bersalah. Sayang sekali, tidak bisa kubiarkan kekejaman berlangsung di depan mataku."
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Katila sengit.
"Namaku Rangga, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti," pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri.
"Heh! Temyata memang benar dugaan guruku. Kau memang akan menjadi batu sandungan besar bagiku," dengus Katila. Dia memang sudah pernah bertemu pemuda itu, namun belum mengenal namanya. Katila jadi teringat kata-kata Ki Dadap, suami gurunya yang telah memperingatkannya agar tidak mengambil urusan dengan orang yang bernama Pendekar Rajawali Sakti.
"Bukan hanya penghalang, tapi akan menghentikan tindakanmu," tegas Rangga.
"Cobalah, kalau kau mampu," tantang Katila.
Belum pernah Rangga ditantang seorang wanita seperti ini, meskipun wanita itu memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang cukup tinggi. Dan tantangan Katila membuat darahnya mendidih. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu masih dapat menahan diri. Dia yakin, di belakang wanita ini masih ada orang lain yang pasti sangat dihormatinya.
Rangga sendiri menginginkan orang yang berada di belakang semua kejadian ini. Baginya tidak ada gunanya jika hanya menghadapi orang yang tidak berkepentingan secara mutlak. Pendekar Rajawali Sakti tidak akan merasa puas jika belum bertemu dengan biang keladi yang sebenarnya.
"Katila. Siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini?" tanya Rangga diperlunak nada suaranya.
"Diriku sendiri!" sahut Katila tegas.
"Kau memiliki ilmu-ilmu Nyai Dadap, dan kau juga menyandang senjatanya. Apakah dia gurumu? Diakah yang menyuruhmu membalaskan sakit hatinya?" desak Rangga.
"Jangan bawa-bawa nama guruku!" bentak Katila berang.
"Aku tahu, kau menyimpan dendam terhadap Pranata. Dan malam ini telah kau lampiaskan dendammu. Tapi aku yakin, tidak hanya sampai di sini tindakanmu, Katila. Dan itu bukan dari hati nuranimu sendiri. Kau jangan  berdusta di depanku, Katila," desak Rangga.
"Kau orang asing di sini. Apa untungnya mencampuri urusan orang lain, heh?!" bentak Katila.
“Aku memang selalu mencampuri urusan orang lain, terutama orang yang berhati iblis dan bermaksud buruk pada orang yang tidak berdosa!" tegas nada suara Rangga.
"Huh! Tidak ada gunanya kau bicara padaku! Hih...!”
Tiba-tiba saja Katila mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan saat itu juga, jarum-jarum beracun dahsyat   bertebaran, melesat cepat. Yang terlihat kini hanya pancaran cahaya hijau yang meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hey! Hup ... !"
Rangga tersentak kaget, dan cepat melompat ke atas menghindari sergapan jarum-jarum beracun itu. Dan pada saat itu juga, Katila melesat pergi sambil menebarkan puluhan jarum beracunnya kembali. Hal ini membuat Rangga harus berputar di udara menghindari terjangan senjata rahasia itu.
“Hap” Rangga jadi celingukan begitu kakinya mendarat di tanah. Katila sudah tidak terlihat di tempat ini. Sedangkan jarum-jarum beracun itu menancap di tanah dan pepohonan. Rangga mengumpat dalam hati. Dia tidak sempat memperhatikan ke arah mana wanita itu pergi.
"Cerdik sekali dia...!" dengus Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu melayangkan pandangannya berkeliling. Tidak ada sebuah bayangan pun yang terlihat. Yang ada hanya kegelapan malam dan udara dingin menusuk kulit.
"Dia pasti ada di pondoknya," gumam Rangga dalam hati.
Mendapat pikiran demikian, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya meninggalkan tempat itu. Sungguh cepat luar biasa! Dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam. Dan keadaan di sekitar Padepokan Soka Palang Sewu jadi lengang, tidak terdengar lagi suara sedikit pun.

***

19. Pendekar Rajawali Sakti : Putri Kerudung HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang