BAGIAN 4

1.1K 40 0
                                    

Ki Petel beringsut menjauh, tepat pada saat orang berbaju hijau yang hampir membunuhnya menyerang pemuda berbaju rompi putih yang menolong menyelamatkan nyawanya. Sebentar diatur jalan napasnya, lalu disalurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Kini dia berdiri tegak di bawah pohon yang cukup rindang. Saat itu matahari mulai menampakkan dirinya, namun keadaan di Desa Palang Sewu masih terlihat sunyi.
Sementara pertarungan terus berjalan semakin sengit. Tanpa disadari, pertarungan berlangsung dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Sekarang yang terlihat hanya dua bayangan berkelebatan saling menyambar dan berkelit menghindar. Namun Ki Petel masih dapat melihat jelas jalannya pertarungan itu. Kepala Desa Palang Sewu itu semakin tercekat hatinya, karena orang berbaju serba hijau itu menggunakan jurus-jurus yang amat dikenalnya, yang hanya dimiliki Nyai Dadap! Dulu Nyai Dadap hampir menghancurkan desa-desa di Kaki Lereng Gunung Palang Sewu ini, terutama Desa Palang Sewu yang hampir rata dengan tanah.
"Hup!"
Orang berbaju serba hijau itu melompat mundur, keluar dari arena pertarungan. Sedangkan pemuda gagah berbaju rompi putih, berdiri tegak dengan mata tajam menatap ke depan.
"Kau cukup tangguh, Anak Muda. Tapi itu bukan berarti kau menang," kata orang berbaju hijau itu dingin.
"Hm......” pemuda gagah berbaju rompi putih itu hanya bergumam tidak jelas.
"Sayang, waktuku tidak banyak."
Setelah berkata demikian, orang berbaju hijau itu memasukkan pedang ke dalam sarungnya di punggung. Dengan kecepatan bagai kilat, dia melesat pergi.
"Kita akan bertemu lagi, Anak Muda!"
"Aku tunggu!" balas pemuda berbaju rompi putih itu mantap.
Ki Petel bergegas menghampiri setelah bayangan hijau lenyap dari pandangan. Sedangkan pemuda gagah itu tetap berdiri tegap tanpa menoleh. Dia baru menarik napas panjang setelah Ki Petel berada di depannya.
"Kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti," puji Ki Petel tulus. Tentu saja ia kenal, karena pernah bertemu dan sempat berbicara dengan orang yang berada di depannya ini.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti seraya tersenyum.
"Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Ki Petel.
"Siapa orang itu?" tanya Rangga.
"Dia yang kita bicarakan kemarin."
"Nyai Dadap?"
"Entahlah, aku sendiri pun sangsi. Nyai Dadap tidak pernah memakai baju warna hijau dan menyelubungi wajahnya. Tapi jurus-jurus dan senjata yang digunakan memang kepunyaan Nyai Dadap," sahut Ki Petel ragu-ragu.
Rangga diam, tapi sedikit heran juga dengan sikap, Ki Petel yang begitu cepat berubah. Semula laki-laki tua itu begitu yakin dengan pendiriannya, tapi kini malah ragu-ragu. Tapi Rangga tidak menanyakannya. Dia bisa mengambil kesimpulan sendiri akan sikap Ki Petel. Seseorang memang bisa cepat berubah, jika sudah mengalaminya sendiri. Dan itu dialami oleh Ki Petel.
"Tuan Pendekar ......”
"Rangga. Panggil saja aku. Rangga," potong Rangga cepat.
"Hhh..., aku mau minta maaf atas sikapku tempo hari," kata Ki Petel yang pernah menyangsikan dan menganggap lain pada Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Lupakan," sahut Rangga tersenyum maklum.
"Ternyata pilihan Dewi Melati tidak meleset. Aku yakin, kau adalah orang yang tepat untuk menghadapi orang misterius itu," ajar Ki Petel lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Sudah terlalu Sering didengar pujian seperti ini. Tapi, pujian itu tidak membuatnya jadi besar kepala atau berbangga hati. Meskipun dia seorang tokoh yang amat disegani kawan maupun lawan, tapi sikapnya tetap merendah dan tidak melambung karena pujian.
"Ki Petel! Boleh aku tahu siapa Nyai Dadap itu?" tanya Rangga membelokkan kembali pada pokok persoalannya.
"Nyai Dadap seorang tokoh hitam yang sangat kejam," sahut Ki Petel.
"Kenapa ingin menguasai Desa Palang Sewu?" tanya Rangga lagi.
"Sebenarnya dia tidak bermaksud menguasai Desa Palang Sewu. Bukannya di sini saja dia bersikap begitu, tapi desa-desa lain pun terbabat habis oleh polahnya yang tidak punya belas kasihan."
"Aneh! Seseorang bisa berbuat begitu pasti ada sebabnya," gumam Rangga pelan.
"Memang," sahut Ki Petel seraya melangkah menghampiri kudanya.
"Bisa kau jelaskan?" pinta Rangga.
"Tentu saja! Kau memang harus tahu, Rangga." Rangga melangkah di samping Ki Petel yang sudah berjalan sambil menuntun kudanya. Laki-laki tua itu berjalan menyusuri jalan utama desa yang mulai ramai oleh orang-orang yang baru keluar dari rumahnya. Para penduduk desa itu membungkuk memberikan hormat pada Ki Petel.
"Akan kujelaskan di rumahku nanti," kata Ki Petel.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Sementara Desa Palang Sewu mulai terlihat hidup kembali. Para penduduk sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Kehidupan kembali berjalan seperti biasa, meskipun di wajah mereka masih tersirat perasaan cemas dan ketakutan. Bahkan mereka mulai berbisik-bisik   tentang kejadian semalam yang mengambil korban Wandara, seorang tetua desa yang disegani. Berita itu cepat tersebar dari mulut ke mulut. Berita itu datang dari para murid Padepokan Soka Palang Sewu yang berasal dari desa itu juga. Tidak heran kalau setiap ada peristiwa selalu dapat tersebar luas di desa yang kecil ini.
Rangga mengangkat kepalanya ketika seorang gadis keluar dari dalam rumah membawa sebuah baki berisi dua gelas minuman yang masih mengepulkan uap panas. Gadis itu, tersenyum dan mengangguk sedikit. Diletakkan gelas-gelas minuman itu di depan Rangga dan Ki Petel. Tanpa berkata-kata lagi, gadis itu berbalik, lalu masuk kembali ke dalam rumahnya.
Pendekar Rajawah Sakti itu kembali melayangkan pandangannya ke depan, memandangi orang yang lalu-lalang di depan rumah kepala desa ini. Sedangkan Ki Petel asyik dengan lintingan rokoknya. Cukup lama juga mereka hanya diam duduk di beranda depan tanpa berkata-kata.
"Silakan diminum," Ki Petel mempersilakan sambil mengambil gelas minumannya.
"Terima kasih," ucap Rangga, lalu mengambil gelas minumannya pula. Dihirup sedikit minuman berwarna kecoklatan yang mengepulkan asap itu.
"Minuman kopi khas Desa Palang Sewu," ujar Ki Petel memberitahu.
"Nikmat," sambut Rangga meletakkan kembali gelasnya.
"Kopi Desa Palang Sewu memang terkenal nikmatnya. Tapi sayang sekali penduduknya enggan menanamnya. "
"Kenapa?"
"Biayanya mahal. Sedangkan menunggu panen terlalu lama. Padahal, harganya cukup lumayan juga. "
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memang tidak tahu-menahu seluk beluk pertanian. Tapi selama berada di Desa Palang Sewu ini, dia memang tidak melihat adanya tanaman kopi. Hanya ada beberapa saja yang terlihat. Itu pun sudah berada di daerah perbatasan yang agak tinggi datarannya, dan dimiliki oleh orang yang mampu.
"Ah, jadi melantur," desah Ki Petel, "Oh, ya. Sampai di mana pembicaraan kita tadi?"
"Persoalan Nyai Dadap," Rangga mengingatkan.
"Hm... ya. Tentang Nyai Dadap datang ke Desa Palang Sewu ini," gumam Ki Petel kembali teringat pada pokok permasalahannya.
Rangga kembali mengangkat kepalanya. Pada saat itu di depan melintas seorang wanita cantik mengenakan     baju hijau sambil membawa keranjang dari anyaman bambu. Kepala yang tertutup kerudung hijau itu, sempat menoleh seraya memberikan senyuman manis pada Pendekar Rajawaii Sakti. Seketika Rangga merasakan sesuatu di dalam dadanya. Namun belum sempat dia berpikir jauh, Ki Petel sudah membuka suara lagi.
Hanya sebentar Rangga memalingkan mukanya pada Ki Petel. Dan begitu menatap ke depan kembali, wanita cantik berbaju hijau itu sudah tidak terlihat lagi. Lenyap di antara banyak orang yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.
"Nyai Dadap sebenarnya berasal dari Desa Palang Sewu ini...," kata Ki Petel memulai.
"Hm...," Rangga hanya menggumam tidak jelas. Matanya terus menatap ke depan, memandangi orang-orang yang lalu-lalang.
"Entah berapa puluh tahun dia menghilang. Tapi sepuluh tahun lalu kembali dengan membawa petaka, menjadikan Desa Palang Sewu bagai terpanggang api neraka," lanjut Ki Petel.
"Ke mana dia pergi?" tanya Rangga tanpa menoleh.
"Tidak ada yang tahu pasti. Tapi yang kudengar dari kabar burung, dia pergi menuntut ilmu. Entah di mana dan siapa gurunya. Yang jelas Nyai Dadap datang dengan membawa segudang ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang sukar dicari tandingannya.”
"Lantas, apa yang diinginkannya di sini?"
"Balas dendam."
Rangga memalingkan mukanya menatap pada kepala desa di sampingnya. Keningnya agak berkerut mendengar jawaban Ki Petel barusan. Jawaban yang tidak diduga sama sekali sebelumnya.
"Orang tua Nyai Dadap seorang tokoh sakti rimba persilatan beraliran hitam. Dia datang ke Desa Palang Sewu dan menikah dengan gadis desa ini. Saat Nyai Dadap lahir, orang tuanya tewas terbunuh.”
"0...!" Rangga tersentak agak terkejut.
"Meskipun telah berkeluarga, orang tua Nyai Dadap tidak meninggalkan kebiasaan buruknya. Banyak gadis menjadi korban nafsu setannya. Bahkan banyak pendekar yang tewas terbunuh di tangannya. Hal ini membuat cemar nama Desa Palang Sewu," lanjut Ki Petel.
"Hm.... Siapa yang berhasil membunuhnya?" tanya Rangga.
"Ki Ageng Sela, Pranata, Wandara, Paman Waku, Nyi Senah, dan aku sendiri," sahut Ki Petel.
"Dan kalian juga yang menghadapi Nyai Dadap sepuluh tahun lalu?"
"Ya, dan kami berhasil menewaskannya. Tapi..., yah, saat itu kami semua terlalu yakin dan tidak memeriksa lagi ke dasar jurang. Sama sekali tidak kusangka kalau Nyai Dadap masih hidup dan sekarang membalas dendam yang belum tertuntaskan. Tapi aku sendiri juga ragu-ragu setelah bentrok dengannya tadi," nada suara Ki Petel memang terdengar sumbang.
"Apa ada kejanggalan pada orang itu, Ki?" tanya Rangga, namun matanya tidak lepas memandang ke arah sebuah pohon ara yang cukup besar di samping sebuah kedai.

19. Pendekar Rajawali Sakti : Putri Kerudung HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang