Siang itu udara di sekitar Desa Palang Sewu terasa hangat. Matahari bersinar cerah dengan sedikit awan tipis menggantung di langit. Keadaan desa Lereng Gunung Palang Sewu itu kelihatan tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Orang-orang tua bekerja di ladang seperti biasanya, sedangkan anak-anak bermain ceria.
Di sebuah kedai yang cukup besar, tampak ramai dikunjungi orang. Meskipun mereka semua kelihatan cerah, namun pembicaraan yang terdengar tidak jauh berkisar dari tewasnya dua peronda malang semalam. Tapi di wajah mereka tidak tercermin perasaan takut atau segala macam kecemasan. Mereka bicara seperti tidak mempunyai beban sama sekali.
Namun pembicaraan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki berusia hampir mencapai tujuh puluh tahun masuk ke kedai itu. Dilihat dari cara berpakaian dan caranya memandang, tidak disangkal lagi kalau kedua laki-laki itu tokoh rimba persilatan.
Kedua laki-laki tua yang baru masuk itu duduk di kursi dekat jendela. Mereka membuka caping besar yang menutupi kepalanya. Tampak dengan jelas kalau wajah mereka begitu mirip. Pengunjung kedai lainnya yang memperhatikan, segera mengalihkan pandangannya. Mereka semua tahu kalau dua orang kembar itu dari kalangan rimba persilatan golongan hitam, yang dikenal dengan nama Kera Kembar dari Karang Setan.
"Pelayan!" seru salah seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah merah.
Seorang laki-laki muda datang menghampiri terbungkuk-bungkuk. Dibungkukkan tubuhnya beberapa kali setelah sampai di depan kedua laki-laki yang berjuluk Kera Kembar dari Karang Setan itu.
"Kenapa baru datang?" bentak laki-laki tua yang memakai jubah merah itu. Dia dikenal dengan nama Kera Merah. Sedangkan yang seorang lagi memakai jubah warna biru. Namanya Kera Biru. Dan yang pasti, itu bukan nama asli mereka berdua. Tidak ada yang tahu siapa nama asli mereka berdua.
"Maaf, Tuan. Hari ini banyak pengunjung, jadi harus sabar menunggu," sahut laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Aka tidak peduli dengan cacing-cacing! Cepat sediakan makanan dan minuman terbaikmu!" bentak Kera Merah keras.
"Baik..., baik, Tuan."
"Cepat!"
"Brak!
Si Kera Merah menggebrak meja di depannya. Akibatnya cawan dan kendi di atas meja itu terpental ke atas, lalu terbanting pecah di lantai. Semua orang yang berada di dalam kedai itu terkejut, langsung menatap tidak senang ke arah dua laki-laki tua itu. Namun si Kera Kembar dari Karang Setan tidak mempedulikannya. Sedangkan pelayan tadi bergegas meninggalkannya dengan sikap ketakutan.
"Tamu adalah raja. Tapi raja yang tidak sopan, tidak patut mendapat layanan istimewa," terdengar suara bergumam.
Semua orang di dalam kedai itu tersentak kaget. Suara gumaman itu demikian jelas terdengar seolah-olah datang dari segala sudut ruangan kedai ini. Lebih-lebih lagi si Kera Kembar dari Karang Setan. Mereka begitu tersentak kaget, karena suara gumaman bertenaga dalam itu jelas ditujukan kepadanya.
"Kakang Kera Merah! Rupanya di kedai ini ada juga tikus busuk yang mengganggu selera makan kita," kata si Kera Biru setengah bergumam. Namun suaranya terdengar menggema, karena disalurkan melalui pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Menyadari suasana yang semakin tidak menguntungkan, beberapa orang pengunjung kedai mulai meninggalkan meja mereka. Sedangkan para pelayan kedai itu, menyembunyikan diri di balik dinding yang memisahkan ruangan makan itu dengan bagian belakang. Satu persatu pengunjung kedai meninggalkan tempatnya. Kini di dalam kedai itu tinggal si Kera Kembar dari Karang Setan, lalu seorang perempuan lanjut usia berbaju kuning gading yang longgar, dan seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih dengan pedang di punggung. Tidak jauh dari pemuda tampan itu, ada tiga orang lagi yang kelihatannya juga dari kalangan rimba persilatan, terlihat seorang pemuda perlente yang mengenakan baju dari bahan sutra halus dengan sulaman benang emas. Di sampingnya duduk seorang wanita cantik mengenakan baju warna biru ketat, dengan rambut panjang terikat menyampir di pundak.
"Hhh...! Aku tidak suka suasana seperti ini. Sebaiknya kita pergi saja, Kakang," terdengar suara mengeluh.
Seorang dari tiga orang yang duduk satu meja, bangkit berdiri, kemudian dua orang lainnya ikut berdiri. Sejenak mereka menatap orang-orang yang masih duduk di tempatnya masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi, ketiga orang itu melangkah keluar setelah meninggalkan beberapa, keping uang logam di atas meja. Tidak lama berselang, pasangan muda-mudi pun bangkit dan meninggalkan kedai ini.
"Tinggal dua orang lagi, Kakang Kera Merah," gumam Kera Biru.
"Ya. Dan sepertinya suara perempuan," sahut Kera Merah.
Setelah berkata demikian, si Kera Merah langsung mengibaskan tangan kirinya ke arah perempuan tua yang memakai baju kuning gading. Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu sebuah gelas dari batang bambu telah melayang cepat ke arah perempuan tua itu.
Seettt!
Tap!
Hanya dengan mengangkat tangannya sedikit saja, gelas itu berhasil ditangkap perempuan tua itu. Dia tersenyum dan melirik pada si Kera Kembar dari Karang Setan, kemudian menenggak arak di dalam gelas itu.
"Terima kasih," ucapnya pelan. "Kalau boleh, aku minta lagi. Hih!"
Gelas di tangannya langsung melesat begitu tangannya berkibas ringan. Gelas itu meluncur daras ke arah si Kera Merah. Tentu saja si Kera Kembar dari Karang Setan itu terkejut. Kera Merah buru-buru mengangkat tangannya, dan menangkap gelas itu. Namun tanpa diduga sama sekali, tubuhnya terdorong keras ke belakang hingga jatuh terguling dari kursi yang didudukinya.
"Setan...!" umpat Kera Merah seraya melompat bangkit.
Suasana di dalam kedai itu semakin terasa panas. Si Kera Kembar dari Karang Setan segera berdiri tegak berdampingan. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke arah perempuan tua berbaju kuning gading itu. Sementara pemuda berbaju rompi putih, masih tetap duduk sambil menikmati araknya, seolah-olah tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya.
"Perempuan busuk! Siapa kau?" bentak Kera Merah keras.
"Kau bertanya padaku, Kisanak?" perempuan tua itu balik bertanya. Nada suaranya kalem. "Keparat! Kau tahu, sedang berhadapan dengan siapa, he?!" si Kera Merah semakin berang.
"Aku tahu, kalian adalah monyet-monyet tua yang hampir mampus," sahut perempuan tua berbaju kuning gading itu, suaranya tetap tenang.
"Bangsat...! Hiyaaa...!"
Si Kera Merah tidak dapat lagi membendung amarahnya. Dengan cepat dia melompat sambil mengirimkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah perempuan tua itu. Namun dengan manis sekali, perempuan tua berbaju kuning gading menggerakkan tubuhnya menghindari dua pukulan beruntun itu. Dia tetap duduk di kursinya. Dan tanpa diduga, sama sekali, tangan kanannya menyodok cepat ke perut si Kera Merah.
"Hugh!" Kera Merah melenguh pendek.
Dan selagi tubuhnya sedikit membungkuk, tangan kiri perempuan tua itu melayang menghantam wajah si Kera Merah. Seketika itu juga si Kera Merah terdongak, lalu terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Sebuah meja langsung hancur berantakan tertimpa tubuhnya.
"Perempuan keparat! Sebutkan namamu, sebelum kukirim ke neraka!" bentak si Kera Biru.
"Hi hi hi...! Kalian tahu ini?" perempuan tua itu mengeluarkan sekuntum bunga melati dari balik lipatan bajunya.
"Dewi Melati...!" si Kera Kembar dari Karang Setan itu terkejut melihat sekuntum bunga di tangan perempuan tua itu.
"Sebaiknya enyah dari sini, sebelum aku bertindak lebih jauh!" kata Dewi Melati ketus.
Kedua laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi, mereka bergegas melangkah keluar dari kedai ini. Sedangkan Dewi Melati segera mengalihkan pandangannya pada pemuda tampan yang duduk tidak jauh darinya.
"Kau tidak pergi, Anak Muda?" tanya Dewi Melati berubah lernbut suaranya.
"Makanku belum selesai," jawab pemuda itu tanpa mengangkat wajahnya.
"Aku sedang menunggu seseorang di sini. Jika tidak keberatan, aku tidak ingin ada seorang pun di kedai ini," kata Dewi Melati.
Suara perempuan tua itu terdengar lembut, namun nadanya jelas tidak menghendaki kehadiran pemuda itu di kedai ini. Namun pemuda berbaju rompi putih itu tetap saja duduk menikmati hidangannya, sama sekali tidak mempedulikan pengusiran secara halus itu.
"Anak Muda, kau bisa mendengar kata-kataku, bukan?" nada suara Dewi Melati terdengar ketus tidak sabaran.
"Dengar," sahut pemuda itu singkat dan tenang. "Mengapa tidak segera angkat kaki dari sini?"
"Maaf, aku juga sedang menunggu seseorang disini."
"Anak Muda! Jangan menunggu kesabaranku habis!" bentak Dewi Melati mulai berang.
"Semua orang bisa sabar, juga bisa berang. Maaf, aku tidak ingin selera makanku terganggu," kata pemuda itu tetap tenang suaranya.
"Keparat! Kau tidak memandangku, heh?!" Dewi Melati semakin berang.
"Kita sama-sama membutuhkan kedai ini. Kau menikmati makanmu sambil menunggu seseorang, dan aku pun begitu. Kenapa mesti mengusik satu sama lainnya? Aku tidak merasa terganggu meskipun kau ada di sini," kata pemuda itu sambil mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung tertuju pada Dewi Melati.
"Kau hanya beralasan saja, Anak Muda!" dengus Dewi Melati.
"Sama sekali tidak, kalau benar desa ini bernama Desa Palang Sewu," sahut pemuda itu tetap tenang.
Dewi Melati mengernyitkan alisnya. Kata-kata pemuda tampan berbaju rompi putih itu demikian tenang, dan nada suaranya juga tidak main-main. Perempuan tua itu memperhatikan dalam-dalam wajah pemuda itu. Pandangannya terpaku pada gagang pedang yang menonjol keluar dari balik punggung pemuda di, depannya.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Dewi Melati tanpa berkedip memandang pedang di punggung pemuda itu.
"Untuk apa kau tahu namaku?" pemuda itu balik bertanya.
"Kau angkuh juga rupanya, Anak Muda. Baiklah, mungkin dengan cara lain aku bisa mengetahui siapa dirimu, dan sekaligus mengusirmu dari sini," kata Dewi Melati dingin.
Setelah berkata demikian, Dewi Melati menjentikkan ujung jarinya yang menjepit sekuntum bunga melati. Bunga itu meluncur deras ke arah pemuda berbaju rompi putih itu. Hanya sedikit saja memiringkan tubuh, dan mengangkat tangan kirinya, bunga melati itu berhasil dijepit dengan dua jari tangan pemuda itu.
Namun belum juga pemuda itu sempat menarik kembali tubuhnya, Dewi Melati sudah melontarkan pukulan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Mau tidak mau pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara, lalu berputar dua kali sebelum kakinya dengan manis hinggap di atas meja. Dan seketika itu juga, tangan kirinya mengibas melontarkan bunga melati yang berhasil ditangkapnya dengan dua jari tadi.
"Hup!
Dewi Melati melompat ke samping, seraya tangannya menjulur menangkap bunganya sendiri. Secepat kilat dia melesat menerjang pemuda itu. Dewi Melati langsung menyerang dengan jurus-jurus sangat dahsyat dan berbahaya. Pemuda itu menghadapinya dengan jurus-jurus dahsyatnya pula. Seluruh isi kedai itu seketika porak-poranda terlanda dua tokoh rimba persilatan yang bertarung dahsyat.
"Cukup ... !" seru Dewi Melati sambil melesat ke belakang.
"Kenapa berhenti?" dengus pemuda itu.
"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Kutunggu kau di Puncak Gunung Palang Sewu."
Dewi Melati segera melesat cepat meninggalkan kedai itu. Sedangkan pemuda itu hanya bengong tidak mengerti. Sementara bayangan tubuh Dewi Melati sudah lenyap, tidak terlihat lagi. Lesatannya bagaikan kilat, pertanda memiliki kepandaian yang tidak rendah tingkatannya.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu melemparkan sekantung uang, kemudian segera melesat pergi. Para pelayan dan pemilik kedai bergegas keluar dari persembunyiannya. Mereka hanya bisa bengong melihat keadaan kedai yang berantakan, seperti baru saja diamuk gajah liar.
Puncak Gunung Palang Sewu tampak indah pada senja hari ini. Matahari yang hampir tenggelam, memantulkan cahayanya yang merah jingga. Namun di balik semua keindahan itu, tersimpan sejuta misteri yang tak pernah terungkapkan.
Suasana yang tersaput tirai misteri itu terasa sekali bagi seorang pemuda berbaju rompi putih yang baru tiba di Puncak Gunung Palang Sewu itu. Dia berdiri tegak memandang ke arah matahari terbenam. Kesunyian begitu mencekam, bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya desiran angin senja saja yang terasa dingin menyapu kulit.
"Kau datang juga, Pendekar Rajawali Sakti."
"Heh!" pemuda berbaju rompi putih itu terkejut, langsung dibalikkan tubuhnya.
Seorang perempuan tua berbaju kuning gading tahu-tahu sudah berdiri di bawah pohon rindang, tidak jauh darinya. Pemuda itu tahu, kalau perempuan tua itu adalah Dewi Melati yang dijumpainya di kedai siang tadi.
"Dari mana kau tahu namaku?" tanya pemuda berbaju rompi putih itu agak heran.
"Mudah sekali mengenalimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dari pedangmu yang sudah kuduga sebelumnya. Dan aku bertambah yakin setelah kau mengeluarkan dua dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'," sahut Dewi Melati.
"Hm..., kau sudah tahu siapa diriku. Lalu, apa maksudmu mengundangku ke sini?" tanya pemuda tampan itu yang memang tidak lain dari Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bisa paham kata-kataku di kedai tadi?" Dewi Melati malah balik bertanya.
"Aku tidak percaya kau yang mengundangku ke Desa Palang Sewu," sahut Rangga.
"Kau terima undanganku?"
"Ya. Tapi sayang sekali, orang yang kau kirim tewas. "
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu, apa sebabnya. Tapi yang jelas dia bertarung dengan seorang wanita. Dia terluka parah, tapi sempat memberikan undangan yang kau titipkan untukku. Maaf. Aku terlambat menolongnya, sehingga nyawanya tidak bisa tertolong lagi," jelas Rangga.
"Ah, sudahlah. Yang penting kau sudah memenuhi undanganku, Pendekar ......"
"Rangga. Panggil saja aku Rangga," selak Rangga cepat.
"Baiklah. Namamu sangat bagus, Rangga."
"Terima kasih," ucap Rangga tersenyum.
"Tapi jelaskanlah maksud undanganmu itu, Nini Dewi," kata Rangga mengingatkan pada pokok persoalannya.
"Rupanya kau termasuk orang yang tidak bisa menahan sabar juga, Rangga," kata Dewi Melati seraya duduk bersila di bawah pohon itu.
"Tergantung," sahut Rangga sambil ikut duduk di depan perempuan tua itu.
"Masih ada satu orang lagi yang akan datang ke sini," kata Dewi Melati kalem.
"Siapa?" tanya Rangga.
"Ki Petel, Kepala Desa Palang Sewu. Dia bukan orang lain bagiku. Dia adik seperguruanku. Kau tidak perlu menaruh curiga padanya, karena Ki Petel punya tujuan yang sama denganku," sahut Dewi Melati menjelaskan.
"Aku selalu curiga pada setiap orang. Maaf, juga padamu," sahut Rangga.
"Seorang pendekar besar dan ternama memang selalu mempunyai sikap seperti itu. Tidak heran lagi kalau kau mencurigaiku. Tapi itu tidak jadi masalah bagiku," balas Dewi Melati memaklumi.
Rangga tidak bicara lagi. Dari kata-kata yang diucapkan Dewi Melati, Rangga sudah bisa menilai kalau perempuan tua ini orang yang arif dan bijaksana. Tentunya dia sudah berpengalaman dalam dunia persilatan, sehingga bisa memaklumi segala tindak dan sikap orang-orang rimba persilatan.
Pada saat mereka tengah terdiam, terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka. Begitu kepala mereka menoleh, tampak seorang laki-laki berusia di atas lima puluh tahun melangkah keluar dari semak. Langkahnya bergegas, dan segera menghampiri dua orang yang tengah duduk di bawah pohon. Dia segera duduk di samping Dewi Melati. Keringat masih terlihat menitik di wajah dan lehernya.
"Kau datang terlambat, Ki Petel," kata Dewi Melati.
"Maaf, Nini Dewi. Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan. Kedai Paman Japur diobrak-abrik orang," sahut Ki Petel beralasan.
Dewi Melati hanya tersenyum saja, dan matanya sempat melirik pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Nini Dewi. Apakah dia yang kau undang?" tanya Ki Petel seraya menatap pada Rangga.
"Benar," sahut Dewi Melati.
"Sungguh tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda. Maaf, Tuan. Aku tidak sempat memberi penghormatan padamu," kata Ki Petel.
"Ah, sudahlah. Tidak perlu sungkan begitu", sambut Rangga merendah.
"Bagaimana? Apakah sudah kau ceritakan pada Tuan Pendekar ini, Nini Dewi?" tanya Ki Petel.
"Belum," sahut Dewi Melati.
"Katakanlah, kalau tidak menunggu orang lain lagi," kata Rangga cepat-cepat.
"Tidak, hanya kita bertiga," sahut Dewi Melati.
"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas.***
KAMU SEDANG MEMBACA
19. Pendekar Rajawali Sakti : Putri Kerudung Hijau
AçãoSerial ke 19. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.