one

257 40 15
                                    

Perjalanan Chenle dan Renjun untuk melarikan diri tidak berakhir mulus. Hover car itu kehabisan bahan bakar di tengah jalan yang cukup sepi.

"Ck! Hover car butut!" Chenle menendang hover car itu dengan emosi.

Sebaliknya, Renjun tampak fokus. Komputer super di kepalanya sampai berdesing, berusaha mencari alternatif transportasi untuk pergi lebih jauh.

"Le, ada stasiun kereta di dekat sini. Kita bisa beli tiket ke distrik lain dan merintis pekerjaan baru disana. Setahuku banyak distrik yang menentang regulasi raja tentang android."

Chenle manggut-manggut mendengar perkataan kakaknya. Mereka pun bergegas membeli tiket di stasiun dan untungnya, tidak ada petugas yang mencurigai mereka.

"Fuh, untung berita kita belum sampai kesini." Chenle berbisik pelan ke arah Renjun yang kini bahunya sudah menjelma jadi bantal dadakan Chenle.

Renjun tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap pemandangan diluar jendela dengan mata lelah.

"Kak, sebenarnya kita mau pergi ke distrik mana? Distrik 127? 60? " Chenle bertanya lagi.

"Le, distrik-distrik itu terisolasi."

"Terus kenapa kita naik kereta ini?"

"Tujuan kereta ini distrik 208. Setidaknya cukup jauh dari rumah, berita kita akan lama sampai ke distrik itu."

Chenle ingin protes, namun bibirnya terkatup rapat. Kereta mendesing kencang membelah jalanan. Renjun tertidur pulas tak lama kemudian. Chenle bosan, lalu mengeluarkan iPod dan headset wireless. Hanya samaran, dia sebenarnya tidak membutuhkan iPod itu. Sistemnya bisa mencari seluruh lagu di dunia lalu memutarkannya secara langsung di kepala.

"Bagi penumpang yang akan turun di distrik 39 diharap bersiap, silakan cek barang bawaan anda."

Tak lama kemudian, kereta melambat. Renjun terbangun, meluruskan tubuhnya.

"Kendaraan umum benar-benar nggak nyaman." gerutunya.

Chenle menggeram. "Sudahlah kak, setidaknya pemandangannya bagus kan?"

Ujung bibir Renjun terangkat membentuk senyum tipis saat ia melihat pinggiran laut yang indah. Selama beberapa saat, mereka hanya terdiam memandangi lautan tenang itu, melupakan kejadian beberapa jam lalu.

"Lihat Le, batu yang itu bagus--" kata-kata Renjun terpotong oleh dorongan keras Chenle.

Sebuah monoball, bola yang dapat berubah wujud sesuai olahraga yang dimainkan, memecahkan kaca jendela di seberang mereka. Suara teriakan petugas menggelegar.

"Hei! Berhenti di sana!"

Seorang anak laki-laki dengan kaus tanpa lengan dan plester di pipi kanannya memasuki kereta dengan gerakan secepat kilat.

"Wow, untung saja ada kaca tadi. Kalau nggak mungkin bolanya sudah nyemplung ke laut" laki-laki itu menepuk monoball dengan penuh kasih sayang.

"Untung katamu? Monoball itu hampir mengenai kepala kakakku!" Chenle menjerit histeris.

"Y-ya terus? Mana kutahu ada orang di gerbong ini?" cowok itu mengangkat bahu dengan ekspresi tanpa dosa.

Chenle terperanjat, Renjun menahan adiknya untuk tidak berbuat anarkis.

"Nggak sopan! Kamu punya adab nggak sih?" Chenle menjerit lagi.

"Kalian kelihatannya mau cari pekerjaan ya?" cowok itu tersenyum miring.

"Pertanyaan apa, dijawab apa." Chenle menggerutu.

"Hei, aku serius nanya. Pesawat kerajaan disini sedang butuh pekerja untuk dapur. Kalau kalian nggak mau ikut ya silakan, tapi kulihat kalian nggak bawa uang sepeserpun."

Dream RunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang