event

6 1 0
                                    

#Jejak_Literasi_Bersama_Denyut_Capriconus
TEMA : Kekasih_Yang_Tak_Dianggap
JUDUL: Palsu
Oleh : Syifa Nurlatifah

"Apa maksud surat undangan ini Teh?" Emosiku mulai naik. Ketika membaca isi surat undangan.
Benar-benar di luar dugaanku, ternyata orang yang selama ini mampu dipercaya malah menjadi penjilat di belakang.
"Biarkan ana menjelaskan semua ini."
"Mau menjelaskan apalagi teh. Semua sudah jelas, apalagi yang diperjelas. Syifa kira, Teteh itu wanita baik-baik. Tapi nyatanya ... jauh dari ekspetasi yang Syifa bayangkan. Teteh akan menikah dengan kekasih Syifa, Ustadz Dani. Dan sekarang Teteh bilang mau menjelaskan."
Aku menggeleng.
Teteh menangis "Syifa, ini tak seperti yang kamu pikirkan. Teteh  hanya ...." Suaranya terputus-putus karena menangis.

Aku tak mau mendengar pembelaannya jika pada akhirnya itu hanya akan menyakitkan. Emosi masih saja menguasai diri, kata Pak Kiyai kalau sedang emosi baiknya ambil wudu lalu salat.

...
Ah ... segarnya air membasahi tubuh yang panas dibakar emosi. Aku terus berusaha memejamkan mata menetralisir semua emosi. Hati dan pikiran masih tak percaya dengan yang mereka lakukan. Dasar penghianat.

Bisa-bisanya aku dibodohi mereka selama ini, 2 tahun bukanlah waktu sebentar  untuk terus berharap pada Ustadz Dani. Tapi ketika telah dimiliki, dia diambil orang.

Kembali air mengguyur tubuh ini. Sesekali mengomel sendiri.

"Aduh ... kasihan ya Teh, orang yang sering menghayal tinggi, eh dijatuhkan sama temannya sendiri," sindir Nenek lampir di WC sebelah.
"Iya kasihan yah Teh? makanya jadi orang itu harus sadar diri."

Kedua Nenek Lampir itu malah cekikian bagai Kuntilanak. Saling bersahutan bagai pawai kunti. Mereka terus saja mengejek penuh drama. Saking kesalnya, insting kejahilan pun menyapa. Ah, aku punya ide untuk mengerjai para Nenek Lampir itu. Setelah memakai baju, dengan segera naik ke atas pembatas WC. Tak lupa membawa gayung penuh air.
Satu ... dua ... tiga ...
Kedua Nenek Lampir mejerit, karena guyuran air yang terus menerus.
"Aduh ... Tante, maaf, tadi Syifa gak sengaja. Niatnya mau bersihin sekat-sekat WC eh malah kena sama Tante."
Bibir sebisa mungkin untuk tidak tertawa malah dibuat-buat merasa bersalah.

"Eh, maaf Tante, kata Pak Kiyai kalau di kamar mandi kagak boleh lama-lama, apalagi sampe bergosip."

Peringatku penuh perhatian. "Yasudah Tante-Tante, Syifa pamit dulu. Ingat pesan Pak Kiyai jangan lama-lama di Kamar Mandi."

Aku berpamitan pergi, masih jiwa kejahilanku yang mumpuni.

Kembali kedua Nenek lampir itu menjerit ketakuatan. Mana kala lampu kamar mandi mati.
Ah aku tak kuat menahan tawaku sendiri.

....

Gerah bercampur cemburu pun seakan tak pernah berhenti. Ketika bertemu dengan Teh Ani dan Ustadz Dani. Mereka sepertinya tengah asyik mengobrol, sampai saat aku datang mereka bungkam.

"Syifa?" Sepertinya Ustadz Dani kaget dengan kehadiranku.

"Syifa, saya perlu bicara dengan kamu," ucapnya.
beliau berbicara sedikit menunduk. So' suci. Makiku dalam hati, bagaimana tidak di hadapan wanita lain ia menunduk,ketika berinteraksi. Sedang di hadapan Teh Ani ia bicara biasa layaknya sudah menikah.
"Ana tak perlu penjelasan Ustadz. Semua sudah tahu bahwa Ustadz akan menikah dengan teh Ani. Selamat yah. Ana kira selama ini memang benar Ustadz menaruh hati pada ana, tapi nyatanya ... teman sendiri yang di kawini."

Emosiku meluap, air mata terus ditahan agar tak jatuh di hadapan sang Ustadz. Takutnya ia besar kepala.
"Loe, harus jaga imej, Syifa." bathinku.

"Syifa, bisakah sejenak saja mendengar penjelasan saya?" pintanya lagi.

"Nope. Saya kira Ustadz benar ingin serius terhadap saya. Selama ini saya menguatkan hati agar tidak tertarik dengan ikhwan lain yang mencoba serius dengan saya. Saya selalu pegang janji Ustadz yang ingin serius dengan saya. Tapi buktinya mana? semua omong kosong belaka."
Luruh sudah air mata ini. Pertahanan pun menguap begitu saja, untuk pertama kalinya dalam hidup menangisi pria, persis di hadapanya.

Aku pun berlalu, hening, kosong, semuanya hanya jadi tetes bening di pipi ketika mengingat semuanya lagi. Sepucuk surat pertama kali ia berikan kini hanya jadi dekapan dalam pelukan.

Keesokan harinya Teh Ani dan Ustadz Dani pun pulang. Mereka berbarengan bahkan berboncengan. Tak ada satu patah kata pun yang aku lontarkan untuk sebuah perpisahan. Di tempat ini, aku mengintipnya di balik kaca jendela yang tertutup gorden.

......
Seminggu sudah berlalu. Tibalah hari pernikahan Teh Ani dan Ustadz Dani. Semua santri dan santri wati pun bersiap untuk hadir di acara pernikahan mereka. Awalnya aku tak berani ikut atau hadir di acara tersebut. Namun, semua terus memojokanku dengan kata-kata belum move on.

Ok gue buktikan dengan hadir di pernikahan orang terkasih itu.

Pelaminan biru putih menjadi saksi atas hati yang patah. Hati masih tak rela. Namun, bagaimana lagi jodoh siapa yang tahu.

Aku tak melihat persis mempelai pria dan wanita. Aku memilih duduk di belakang sambil menyeka ingus yang terus mengalir.

Akhirnya akad itu selesai. Aku masih tak perduli dengan semua itu, hanya satu inginku pergi dari acara ini.

Tibalah sang kedua mempelai duduk di pelaminan.

Mata masih tak memperhatikan jelas kedua pengantin yang berbahagia. Hingga tibalah waktu untuk memberi do'a.

Wajah terus menunduk lalu bersalaman dengan Teh Ani.
"Selamat menempuh hidup baru Teh beserta Suami."

Do'a ku kali ini tulus, tak diduga Teh Ani langsung memeluk tubuh mungil ini, dia menangis. Lalu berbisik, "maaf, telah mengerjaimu Syifa," ujarnya.

What? Aku melepas pelukan Teh Ani, lalu menatap bola matanya lekat meminta penjelasan.
"Ouh ... ini calon kakak iparku yang salah paham ini." ejek seseorang di sebelah Teh Ani, lalu mata tertuju pada sang mempelai pria,"mengapa Ustadz Dani berubah?" Bathinku.

Benar ini bukan Ustadz Dani, lalu dalam undangan itu? ...

"Pasti calon istri saya ini sedang berfikir keras," ucap seseorang yang jelas sangat hapal pemilik suara itu.

Mata jelalatan ini pun menatap semua orang.
"Teteh, maksud semua ini apa?" Akhirnya pertanyaan itu lolos dari bibir seksi ini.

Keluarga Teh Ani pun tersenyum, seakan tahu apa yang terjadi.
"Syifa, maaf. Ini semua kerjaan abangku. Dia menyuruh teteh untuk diam ketika kamu salah faham, dan perkenalkan ini suami Teteh, Deni pirmansyah, sedang Ustadz satu ini Dani Dzulfikar." jelas Teh Ani.

"Makanya ... sayang. Apa-apa jangan menyimpulkan sendiri, dengarkan apa yang ingin orang lain katakan. Biar gak salah faham ujungnya," ujar Ustadz Dani.

Semua yang tahu permasalahan kami pun tertawa. Seakan puas dengan prank yang mereka buat.

Argh ... malu. Lalu, membenamkan diri dalam dekapan Teh Ani untuk mengalihkan rasa malu.

"Awas kau Ustadz, akan ku balas semuanya." bathinku.

#tamat
Cimahi 28 Oktober 2019

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perihal HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang