Satu

32.4K 2.5K 145
                                    

Di sinilah mereka, berniat memulai sebuah kisah baru, berharap masa lalu tak lagi menganggu. Prakasa menatap punggung kecil itu berdiri membelakanginya menatap hamparan laut di depan mata. Setelah permintaan mertuanya itu, Anara mengajaknya untuk pergi ke pantai, membahas kembali permintaan Abah.

"Aku rasa ini bukan jawaban yang tepat, Sa. Kamu tahu bagaimana keras kepalanya Abah," lirih Anara masih bisa ia dengar.
Prakasa mendekat, berdiri tepat di samping Anara. Anara menoleh menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sekarang kamu jujur, kamu masih mencintai Kiara, kan?"

Prakasa tersenyum tipis, bersedekap membalas tatapan Anara lekat. "Iya," jawabnya, "tapi bukankah permintaan orangtua lebih berarti daripada cinta untuk Kiara?" lanjutnya serius.

Anara mendesah gusar. "Bukan! Menerima ini bukan keputusan yang baik. Berumah-tangga tanpa rasa cinta itu nggak masuk pilihanku."

"Kamu dengar Abah bilang apa? Biar cinta mengalahkan keegoisan kita. Saya nggak bisa berbohong kalau saya memang masih mencintai Kiara, tetapi apa salahnya dicoba dulu. Nggak berat, kan?" Prakasa tahu Anara keras kepala, tapi tidak menyangka akan sekeras kepala ini. "Maaf, bukan saya nggak punya harga diri menerima begitu saja permintaan Abah, tapi justru saya harus bersikap lebih dewasa menanggapi permintaan Abah. Kalau menyangkut orangtua, bukan perasaan kita lagi yang utama, tapi perasaan orangtua."

Yang menjadi prinsip hidupnya, selagi orangtua masih bernapas, apa pun keinginan mereka selama masih dalam kebenaran, ia tak akan segan untuk menurutinya.

"Kamu nggak ngerti, Sa," desah Anara pelan.
Kening Prakasa mengerenyit bingung. "Apa yang saya nggak mengerti?" sejauh ini, dirinya mengerti apa maksud ayah mertuanya. Lalu, apa lagi yang tidak ia mengerti?

Prakasa terpaku melihat tatapan putus asa Anara. "Mencintai lelaki seperti kamu, aku yakin nggak akan sulit. Yang jadi masalahnya di sini adalah menggantikan Kiara di hati kamu, aku yakin akan sangat sulit mengingat kamu masih mencintainya."

Iya, itu yang Anara khawatirkan. Anara sudah membangun benteng pertahanan di hatinya agar tidak jatuh cinta pada Prakasa. Anara wanita biasa, ia bisa mudah luluh dengan perhatian dan juga sikap penuh kelembutan Prakasa. Resiko patah hati atas rasanya sangat besar jika dia membiarkan perasaannya tumbuh begitu saja. Tidak. Anara tidak akan membiarkan itu. Caranya, ia akan menolak permintaan ayahnya.

"Kita bisa saling menyayangi kalau tidak bisa saling mencintai."

Anara tersenyum getir, menggeleng tegas. "Rasa cinta sudah pasti bersamaan dengan rasa sayang, sedangkan rasa sayang belum tentu mencintai." netra cokelat terang Anara beradu tatap dengan netra cokelat gelap Prakasa. "Jangan membuat masalah untuk hatiku, Sa. Aku belum siap kalau harus patah hati lagi. Patah hati di masa lalu saja belum benar-benar sembuh. Aku harap, kamu sepemikiran sama aku menolak permintaan Abah."

Rupanya, Anara harus kecewa melihat gelengan dari Prakasa. "Biar saya dengan cara sendiri, dan kamu dengan cara kamu sendiri. Kamu mau menolak? Silakan. Saya tidak akan bisa menolak, mengingat Abah tidak pernah meminta apa pun selain ini."
Prakasa melakukan ini, karena sebuah rasa yang pernah hadir waktu lalu. Perasaan yang sempat terpendam, akan mudah kembali hadir bila mereka bersama.

Tangan Anara terkepal kuat, menatap sengit Prakasa. "Oke, kamu kukuh dengan pilihan kamu. Aku juga bisa kukuh dengan pilihan aku."

Prakasa tersenyum tipis, menggeleng pelan. Lihat, betapa keras kepala wanita di sampingnya ini. Anara dan Kiara memang sangat berbanding terbalik. Maaf, bukan Prakasa menjelekkan, tapi pantas saja sampai detik ini Anara tak kunjung menikah. Semua terlihat jelas di hadapannya, Anara begitu kaku, tegas, dan tidak bisa dibantah. Melihat sikap Anara, Prakasa yakin ada banyak lelaki yang berhasil diintimidasi oleh Anara.

Berbeda dengan Kiara, Kiara sangat baik, penuh kelembutan dan kasih sayang. Kiara juga tidak tegaan, sosok Kiara hampir mirip dengan sahabatnya, Syeena yang sekarang sudah menikah dengan lelaki yang dicintai.
"Kalau laki-laki, menikah diusia 35 tahun itu, semakin matang. Kalau perempuan menikah diusia 35 tahun, bukan matang lagi. Malahan sudah jadi layu saking lamanya," celetuk Prakasa dengan nada jengah.

Anara seketika menatap Prakasa marah. "Kamu menghina aku?!"

"Nggak sama sekali," bantahnya, "saya hanya mengingatkan, batas melahirkan tahun sekarang itu 35 tahun. Di atas 35 tahun, melahirkan banyak resikonya."

Anara membuang pandangannya ke lain arah, menahan bendungan air mata di pelupuk matanya. "Kamu hanya mengenal aku sekilas. Jadi nggak perlu repot-repot mengurusi hidup aku. Aku lebih tahu jalan hidupku seperti apa," ucapnya sebelum akhirnya berbalik melangkah cepat meninggalkannya.

Prakasa menghela napas panjang menatap kepergian Anara. "Saya juga nggak mau repot-repot mengurusi hidup kamu. Dasar wanita, baperannya melebihi putri malu."

Naik Ranjang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang