“HANYA KEPADA ALLAH AKU MEMINTA DAN
KEPADA ALLAH PULA AKU BERSERAH DIRI”Bel pertama telah berdering mengartikan proses belajar mengajar akan segrera di mulai. Semua aktivitas siswa siswi pun terhenti, Ada yang duduk di pinggir teras kelas bersama teman teman yang lain, ada yang sibuk dengan smartphone, dan ketika bel berdering semua harus kembali ke kelas.
“Assalamu’alaikum, Pagi anak anak ibu, Bagaimana? Apakah kalian siap mengahadapi ujian yg akan di mulai lusa nanti?” ucap bu wardiah guru matematika sekaligus wali kelas kami di waktu kelas X dan XI.
Ia adalah salah satu guru yang kami anggap sebagai orang tua kami sendiri di sekolah dan kami sangat menyayanginya.
“Wa’alaykumussalam, pagi juga ibu. Siap gak siap harus siap buk!!” teriak serempak dari siswa siswi XII AK-2, yang di akhiri tawa di akhir kalimat. Enatahla begitu lucu terdengar ketika kekompakan itu terjadi.
“Kompak ya, udh pada janjian ni kayaknya. Oiya Lusa kan kalian sudah mulai ujian nak, semoga kalian semua ujiannya lancar ya, dan sukses untuk kedepannya” ucap bu wardiah dengan nada yang berat, akan tau sebentar lagi seluruh siswa-siswi akan selesai dari proses belajar di sekolah ini.
“Berarti akan ada perpisahan ya buk? Kenapa setelah semua yg bertemu harus berpisah buk? Padahal runi menemukan keluarga baru disini” runi tertunduk, untuk menahan bulir air mata.
“Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Sudah fitrahnya seperti itu nak, kita hanya berpisah jarak, bukan persaudaraan. Banyak cara untuk kita bertemu. Apalagi zaman semakin berkembang. Kita bisa menukar kabar lewat sosial media, jangan bersedih, kalian harus semangat” hibur bu wardiah untuk menyemangati kami.
Tata berlari kedepan kelas dan siap memeluk tubuh ibu kedua kami, yang diikuti teman teman lain untuk saling berpelukan. Kelas pun menjadi haru, tanpa sadar kami menitihkan air mata, entah sejak kapan buliran bening ini jatuh tanpa izin. Soal perpisahan memanglah paling sensitif.
“Ya Rabb… perpisahan ini bukanlah yang kami inginkan, tetapi jika kau sudah menentukan jalan takdir kami, kami hanya bisa menjalaninya dengan rasa ikhlas. Karena ku tau, apa yang terjadi sekarang adalah bagian dari rencana mu yang sudah tertulis di dalam skenario mu. Mungkin, kau menyiapkan hal terindah buat kami dengan menciptakan perpisahan di antara kami. Bantu kami agar terus merasakan nikmat mu, walau dengan menyakiti kami dahulu, untuk membuat kami bahagia kemudian.” Batin arummy seolah menghibur diri sendiri.
Akan ada perpisahan beberapa hari lagi, aku, guru guruku, teman temanku, sahabat sahabatku. Semua bakal mencari tempat yang berbeda lagi, mengait masa depan yang indah. Ilmu yg di dapat sekarang akan menjadi bekal kami untuk melanjutkan perjalanan baru.
“Udahan yukk nak nangis nangis nya. Sekarang kita bahas untuk ujian nanti yuk” tutur ibu wardiah, yang menyadarkanku dari lamunan. Kami pun mengiyakan, dan balik ke kursi kami kembali.🍁🍁🍁
Lama sudah kami membahas untuk ujian dan bel kembali terdengar suaranya, menandakan jam istirahat untuk seluruh siswa siswi, sekolah pun terasa ramai ketika istirahat berlangsung. Sekolah itu memiliki 3 kantin, dan ketiganya di penuhi oleh murid-murid yang ingin mengisi perut mereka dan seperti biasa juga, ada yang sibuk memainkan handphone, ada yang duduk di teras sekolah untuk sekedar bercerita dan tertawa, dan ada pula yang berdiri melihat pemandangan sekolah dari lantai atas. Sementara Arummy dan ketujuh sahabatnya sibuk di meja kelas untuk sekedar membahas pelajaran apa yang akan menjadi ujiannya nanti.Tiba-tiba ada yang datang mengagetkan mereka dari arah belakang
“Woiii!!!” sambil menghentak meja dan di barengi dengan tertawa konyol mereka, sontak kami pun kaget melihat kehajahilan 2 pria ini, siapa lagi kalau bukan tegar dan Al, ya begitulah di kelas kami hanya ada 2 lelaki yang kehebohannya seperti ada 20 laki-laki di kelas ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teguhkanlah Keimananku di Atas Agamamu
General FictionBegitulah harapan ku kepada Allah. Aku tidak akan merasakan pedihnya pengharapan. Jika, aku tidak berharap selain ia. Dan mungkin ini jawabannya. Ketika aku hanya berharap kepada Allah. Namaku dan Namanya yang sudah tertulis di lauhul Mahfudz. Kini...