"Hei?"
"Taehyung, ayo bangun."
Jimin berulang kali menepuk pelan pipi Taehyung, berharap bahwa anak itu bangun setelah tiba-tiba kehilangan kesadaran dan bersender di bahunya.
Jimin tentu saja panik, Ia mendadak banting stir dan berhenti di sisi trotoar, pikirannya buntu dan malah menelpon Namjoon dan Seokjin untuk mendatanginya.
Namjoon yang notabene semobil dengan Seokjin harus memarkirkan mobilnya di sebuah basement mall terdekat dan menyetir mobil Jimin.
"Macet, dan rumah sakitnya masih jauh." Kata Namjoon khawatir, jemarinya mengetuk stir, pandangannya terus berputar di sekitarnya dan kaca dasbor.
"Kalian bilang dia absen hari ini, apa dia benar-benar sakit? Dan tentu bukan hanya alasan?"
Seokjin memutar tubuhnya, menatap Jimin yang duduk di belakangnya memangku Taehyung.
"Tapi kenapa dia berbohong? Biasanya dia akan berbagi pada kita."
Hening.
"Ayo bangun, kau tidak biasanya seperti ini. Bahkan sebuah luka kecilpun kau akan memberitahu kami." Jimin melirih pelan, memainkan rambut Taehyung yang sedikit acak-acakan.
Tepat saat itu juga terdengar helaan nafas berat, bersamaan dengan kelopak matanya yang membuka.
"Aaa!"
Taehyung panik, satu tarikan nafas menetralkan kesadarannya, lalu bertanya-tanya dalam hati kenapa saat Ia membuka matanya ada Jimin yang menghalangi kabin mobil. Bahkan karena terlalu panik, Taehyung langsung terduduk dan dahinya mengenai dagu Jimin.
"Astaga. Huaaa."
Jimin histeris, meraba bibirnya yang tergigit karena benturan kuat di dagunya. Beberapa detik kemudian Ia bisa merasakan perih dan sensasi amisnya darah.
Buru-buru Ia menarik tisu di kursi depannya.
"TAEHYUNG!" Jimin memekik kuat.
"Ah, maaf." Taehyung tergagap, tapi ekspresi wajahnya seolah merasa lucu dengan kejadian barusan.
"Loh, sejak kapan hyung membawa supir?" Taehyung bertanya-tanya, Ia beringsut dan memakai sabuk pengaman.
"Ulangi perkataanmu." Namjoon menatap Taehyung dengan memamerkan seringaiannya.
"Ada Seokjin hyung juga? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi? Kita akan pergi ke mana?" Taehyung menghujani mereka dengan pertanyaan.
"Ckckck."
Jimin berdecak sebal, "Kau pingsan, saat aku mengantarmu pulang. Sekarang kita menuju rumah sakit."
"Aku baik-baik saja, putar balik, hyung." Taehyung bertatapan dengan Namjoon melalui kaca dasbor.
"Ya, melihatmu membentur daguku dan tidak meringis membuatku berpikir kau baik-baik saja." Sahut Jimin.
"Tadi kau sangat panik, Jim." Giliran Seokjin yang bicara.
"Aku baik-baik saja, aku hanya kelelahan pagi tadi karena menunggu bis dan berjalan-jalan di sekitar pemakaman."
Mendengar alibi itu, sepertinya mereka bertiga setuju bahwa tidak ada hal serius yang terjadi.
Sebenarnya Taehyung merasa tidak nyaman setelah mendengar penjelasan Jimin atas apa yang terjadi secara keseluruhan, termasuk bagimana Seokjin ditemani Namjoon yang masih mengerjakan tugas di kafe harus buru-buru mendatangi Jimin karena dirinya, dan memarkirkan mobilnya di sebuah mall.
Kini hanya ada dirinya dan Jimin, Namjoon dan Seokjin sudah turun saat mobil memutar balik.
"Hyung—"
"Tak apa memanggilku Jimin."
Taehyung menghela nafas, "Maaf atas kejadian hari ini."
"Bukan salahmu, lagipula aku tak keberatan kecuali hal ini." Jimin menoleh, menunjuk ke arah dagunya yang kemerahan dengan ekpresi yang tidak menujukkan kekesalan sama sekali. Taehyung bisa bernafas lega.
"Aku kelewat panik dan kaget hehe."
Lalu hening, hanya terdengar bunyi mesin pendingin udara dan suara yang berasal dari luar mobil.
Taehyung kembali merasakan kepalanya pening, penglihatannya memburam, nafasnya sesak, juga seolah ada yang ingin mengalir keluar dari hidungnya.
Untunglah itu hanya sesaat kecuali hal terakhir, membuat Taehyung terus mendongak.
"Kenapa?"
Taehyung menoleh, "Huh?"
"Memikirkan sesuatu?"
"Hmm mungkin."
Taehyung hanya mengiyakan, yang penting bisa menyamarkan kondisinya.
"Hyunra? Atau orang tuamu."
"Apa aku harus memikirkan hal itu?"
Jimin menjadi salah tingkah, mungkin poin orang tua itu adalah hal sensitif untuk sahabatnya ini. Jimin tau betul bagaimana sulitnya Taehyung selama ini.
"Um, kau pasti belajar keras untuk olimpiade kan?"
Jimin mengalihkan mencoba membicaraan, rasanya aneh sekali atmosfer disekitar mereka.
"Ya, bagaimana jika aku kalah. Satu sekolah bisa membicarakan hal negatif tentangku."
"Pikirkan saja kau akan menang, satu sekolah akan membicarakan sisi positifnya bukan?"
"Aku tak yakin, aku membuat Hyunra dikeluarkan dari kelas—"
"Seharusnya dia tau cara menanggapi orang yang peduli padanya, itu bukan salahmu."
Taehyung diam, mencerna ucapan Jimin barusan, "Seperti itu, ya?"
"Nah sampai,"
"Terima kasih, hyu—maksudku Jimin."
Jimin terkekeh pelan, "Ya, masuklah. Sampai jumpa besok pagi.""Aku—aku akan naik bus besok, jadi tidak usah ke rumahku." Taehyung bicara takut-takut di depan Jimin.
"Huh?"
"Aku hanya—ingin, kau banyak membantuku, lagipula aku jarang berolahraga, hitung-hitung jalan kaki menuju halte sebagai olahraga."
Jimin terkekeh, "Ya baiklah, lakukan sesukamu."
"Sampai jumpa." Taehyung membuka gerbang dan lekas menutupnya.
Ia berlari dari arah depan dan menekan pin rumahnya tidak sabaran, dari tadi Ia terus menarik nafas, menahan cairan di hidungnya agar tidak keluar.
Taehyung melempar tasnya di sofa dan berlari ke arah toilet, mencuci wajahnya dan, sebenarnya Taehyung tidak lagi terkejut saat air yang Ia masukkan di hidungnya kembali keluar dengan warna yang berbeda, disusul dengan cairan merah kental yang ikut menetes di wastafel.
"Apa aku harus menemui dokter karena ini?"
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Nothing Last Forever
Fanfiction[Ft. Taehyung] ❝I need more time, I wanna live, please.❞ ©hleover, 2019.