L.I.P 18

24 1 0
                                    


Malam sudah menjemput kini Helen hanya bisa menatap langit-langit kamar yang ditempatinya. Dennish bahkan entah kemana sejak gio mengatakan padanya untuk bercerita berdua, dennish sudah tidak menunjukkan wajahnya. Helen berpikir keras apa yang dirinya lakukan hari ini. Helen memejamkan matanya dan menghela nafas. Berharap semuanya berjalan sesuai rencananya.

Pintu kamar terbuka menampakkan wajah suaminya yang kusut dan penuh dengan bauh alcohol. Dan Helen benci ketika dennish dalam keadaan seperti ini. Helen berusaha untuk tidak menatap suaminya.

Dennish memilih sofa untuk dia tempati dan beberapa menit kemudian ponselnya bordering, Helen mendegar dengan baik apa yang dikatakan suaminya. "sudah kukatakan batalkan kerja sama kita dengan gios hotel". Ucap dennish tegas. "aku tidak peduli, batalkan saja kontrak kerja sama kita dengannya, aku tidak peduli berapa kerugian yang kita alami yang ku inginkan detik ini juga kerja sama kita berakhir BRYAN". Teriak dennish diakhir kalimatnya.

Dennish melemparkan ponselnya kesembarang arah tanpa memperdulikan istrinya yang terpaku mendengar kalimat yang sangat mengejutkan itu. Dennish akhirnya menatap wajah istrinya yang menatap langit-langit kamarnya.

Dennish melangkah sempoyongan dan duduk dikursi yang telah tersedia di samping istrinya. "bagaimana keadaanmu len". Tanya dennish meraih jemari istrinya dan mengecupnya penuh kelembutan. Helen yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menatap tidak percaya.

"apa yang sedang kamu lakukan dennish". Tanya Helen menatap suaminya dalam.

Dennish menegerti pertanyaan istrinya dan menatap Helen juga begitu dalamnya. "aku hanya melakukan apa yang hatiku katakan len". Jawab dennish mengelus puncak kepala istrinya.

"dan hatimu mengatakan untuk mengakhiri kerja sama kalian".

Dennish mengangguk mendengar perkataan istrinya. "yah hatiku memerintahkannya". Jawab dennish masih menatap istrinya yang menghela nafas.

"dennish, aku yang bertanggung jawab atas semua kerja sama kalian, dan tindakanmu ini begitu kekanakan dennish, apa alasanmu mengakhiri kerja sama ini yang bernilain trilliunan dollar, tidak kah kamu berpikir bahwa satu saja perusahaan yang mengakhiri kerja sama ini maka perushaan lain akan kena dampaknya, dan tidakkah kamu berpikir bagaimana tanggapan konsumen kita". Jelas Helen berapi-api dengan emosi yang membara.

Dennish menatap istrinya tidak percaya akan apa yang dilontarkan istrinya. Dennish bukan seorang yang bodoh yang tidak mengerti itu semua hanya yang dia tidak percaya saat ini adalah ketika istrinya menjelaskan sesuatu begitu rinci dihadapannya seolah menegaskan bahwa dennish hanyalah rekan kerja saja.

"aku tidak peduli len, tidak peduli". Jawab dennish.

"lalu apa yang kamu pedulikan". Tanya Helen dan memaksakan kondisinya untuk duduk menahan rasa sakit pada pinggulnya terlebih pinggulnya masih belum dalam kondisi yang bisa dikatakan untuk duduk. Dennish menatap istrinya yang bertingkah seperti itu.

"kondisimu belum pulih untuk duduk HELEN". Teriak dennish.

"lalu apa yang kamu pedulikan dennish, kenapa kamu mengakhiri kerja sama ini, apa kamu tau bahkan aku menggantungkan hidupku pada kerja sama ini". Lagi-lagi Helen mengabaikan perkataan suaminya dan malah bertanya akan kerja sama yang suaminya batalkan.

"justru karena itu aku membatalkannya Helen, karena kamu adalah pokok dalam kerja sama ini, yang kupedulikan hanyalah kamu, aku tidak ingin kamu bekerja lagi". Dan kalimat itu berhasil membuat Helen terkekeh.

"jangan kekanakan dennish aku bahkan bukan anak kecil lagi yang perlu larangan seperti ini". Sanggah Helen.

"aku tidak kekenakan Helen, tidak". Jawab dennish berkacak pinggang didepan istrinya. "apa kamu tidak tahu aghh, bahwa ketika kerja sama ini berhasil maka seorang Helen Brayden akan direkrut oleh perusahaan besar dijerman dan itulah yang aku hindari dengan menggagalkan kerja sama ini". Lanjut dennish membuat Helen menatap suaminya tidak percaya.

Love Is PunishmentWhere stories live. Discover now