DM || Bagian 1

78.1K 4K 974
                                    

"Ketika kau menemukan seseorang berdiri di tengah kegelapan ... tahanlah diri untuk tidak menepuk pundaknya."

OoO

Malam hampir datang. Angin yang beralun sendu mengalirkan kesan tersendiri. Di hutan, pepohonan rindang justru jadi tantangan. Tidak ada yang tahu, apa atau siapa yang bersembunyi diantara cabang dan semak belukar. Ketika matahari sudah tenggelam, saatnya semua waspada. Tanah atau udara, semua berbahaya.

"Aku capek."

Keluhan itu sudah yang ke-30 kalinya di dengar rombongan kecil itu. Gadis yang mengenakan jaket beludru lantas tanpa pikir panjang menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Bersender tepat di pohon jati yang menjulang. Tak peduli jika tanah basah mengotori celananya.

"Ayolah, Ri. Seengaknya kita cari tanah lapang buat bangun tenda seadanya. Ini hutan. Bukan taman wisata alam. Kita nggak tau apa yang ada disini." ceramah itu diberikan oleh sang leader. Pemuda jangkung yang nampaknya juga sudah letih. Kamal. Tidak ada yang menunjuknya sebagai pemimpin. Tapi melihat dia yang memiliki jiwa dan intuisi paling kuat, secara otomatis Kamal menduduki jabatannya.

"Capek, Mal. Kita udah jalan dari kemarin sampai malem. Nggak tau kemana tujuan kita," jawab Riri. Gadis berambut panjang itu memejamkan mata sejenak. Betisnya sudah kaku dan membesar. Ia butuh istirahat.

"Riri," Isabel, kali ini gadis berambut sebahu itu menunduk. Mensejajarkan tubuh pada sahabatnya yang mati - matian merehatkan badan. Isabel juga lelah. Tapi Kamal benar. Tidak menutup kemungkinan mereka akan celaka jika berdiam diri di tempat serawan ini. "Ri, ayo jalan bentar lagi. Bener kata Kamal. Kita harus cari tempat luas buat bangun tenda."

"Iya. Di sini mayoritas pohonnya besar sama berdekatan. Bahaya kalau kita disini. Besar kemungkinan ada binatang buasnya." kali ini Yuta berceletuk. Satu - satunya pemuda blasteran Perancis di rombongan. Senior dari jurusan Psikologi. "Saya cuma gak mau salah satu dari kita celaka. Mau saya gendong?"

"Biar aku yang gendong. Yuta sama Kamal bantu bawain tas Riri aja." Ini Abas yang menyerobot. Sudah bukan rahasia publik jika Abas menyukai Riri. Hanya saja ... begitulah. Klise yang begitu menyenangkan dalam suatu cerita.

"Ah, kamu aja yang bawain tasnya Riri, Mal. Saya mau bawain tas Isabel. Kasian dia juga kecapekan," sahut Yuta. Pemuda itu langsung mengambil alih ransel di pundak Isabel. Meraih tangan Isabel yang nyaris ambruk untuk memapahnya perlahan.

Rombongan itu berjalan di depan. Meninggalkan Kamal dengan keremangan ganjil yang segera menusuk tubuhnya. Perlahan Kamal menunduk untuk mengambil tas Riri yang tergeletak di tanah, sebelum matanya membeliak tertahan karena melihat kelebatan bayangan hitam yang bergerak cepat di belakangnya.

Kamal tidak salah lihat...

Buktinya, setetes air liur menetes di lehernya.

OoO

Api unggun menyala terang di tengah tanah lapang. Yuta, Abas dan Riri tepat duduk melingkar sembari menghangatkan diri sementara Kamal sibuk meneliti petanya lagi, sembari mencoba untuk tidak memikirkan kembali perihal air liur yang menetes di tengkuknya. Kamal berani yakin itu benar air liur. Tapi, dia sendiri tidak ingin meyakinkan diri darimana air liur itu berasal.

Isabel tidak ada dalam kerumunan. Gadis itu sudah meringkuk di dalam tenda. Antara tertidur atau pingsan. Tapi kata Yuta, Isabel tidur. Yuta sendiri yang memastikannya. Entah bagaimana caranya.

"Percuma kamu baca peta terus. Kalaupun kamu nemuin jalan pulangnya, kita tetep gak tau ini dimana," sungut Abas pasrah, "andai aja GPS gak rusak sama ban mobil kita gak pake bocor, pasti kita udah ada di rumah. Tidur nyaman di kamar bukannya di tengah hutan."

Desa Mati [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang