Lama gadis itu menatap potret dirinya tiga tahun lalu, bahkan jikalau diminta menjelaskan bagaimana rasanya ketika sebuah kamera menyorot padanya lalu menjadikan satu detik yang abadi hingga kini. Ia pasti ingat itu, ingat bagaimana kulit lengannya berkeringat, bagaimana gambaran dirinya dengan tubuh gempal di layar kamera, bagaimana dia tak punya teman untuk sekadar mengajaknya bercanda. Gadis itu ingin seperti teman-teman lainnya, digoda ramai-ramai untuk mencipta senyum yang lebih natural. Semua tidak berhasil jadi miliknya, bahkan ketika seseorang di belakang kamera menghitung mundur lalu kilau cahaya membuatnya jatuh tak berdaya. Semua tidak pernah jadi miliknya hari itu.
Nafisa, gadis berambut ikal sebahu itu menghembuskan napas pelan, meningalkan potret di papan pengumuman peserta Ujian Nasional. Langkahnya yang ringan melewati ruang-ruang kelas.
"Nafisa," panggil gadis sebayanya.
Gadis yang dipanggil namanya itu menoleh, tersenyum menatap salah satu teman sekelasnya yang begitu ceria menyodorkan sebuah kertas merah muda dihiasi balon-balon cantik di setiap sudutnya.
"Datang ke ulang tahun aku, ya?"
Nafisa mengangguk pelan, masih dengan senyum kaku yang begitu khas dari tiga tahun lalu.
"Kenapa sih masih malu-malu, kan sekarang udah kurus, cantik pula."
Nafisa tersenyum malu. "Makasih, Intan."
"Kamu pakai perawatan wajah apa, Naf? Kayanya nggak cocok deh, muka kamu jadi banyak jerawat gitu."
Senyumnya perlahan pudar, dengan tak berdosa Intan berlalu membagikan undangan pada teman-teman lainnya. Tanpa sadar, ucapannya menghantam Nafisa dengan cukup keras. Nafisa menoleh pada jendela ruang kelas, menatap wajahnya.
Dengan sedikit menunduk Nafisa berjalan cepat menuju kelasnya, mengambil masker lalu menggunakannya. Hingga pulang, Nafisa masih memikirkan apakah ucapan Intan siang tadi benar?
Setelah memesan semangkuk mie ayam, Nafisa duduk di meja paling belakang. Pantulan dari gelas teh manis yang berada di hadapannya, membuat Nafisa merasa semakin buruk hingga ketika makanannya tiba, Nafisa hanya memakannya sedikit.
"Dek, boleh Bapak duduk disini? Di depan terlalu pengap."
Ragu-ragu Nafisa mengangguk, membiarkan seorang lelaki seumuran Ayahnya duduk satu meja bersamanya. Lelaki itu tak banyak bertanya, Ia memakan mie ayamnya dengan lahap hingga mangkuk di hadapannya kosong. Nafisa mengaduk minumannya, memikirkan bagaimana cara memperbaiki kulit wajahnya.
"Adek ini sekolah di SMA depan?"
"Iya, Pak."
"Saya alumni sana, sekarang kerjannya ngobrol aja."
Nafisa tersenyum sebagai tanggapan.
"Siapa nama kamu?"
"Nafisa, Pak."
"Nafisa, menurut kamu enakan Mie Ayam disini atau di pertigaan sana?"
"Sama-sama enak, sih, Pak."
"Apa yang membedakan?"
"Kalo disini enak bumbunya, tapi di sana mienya lebih enak, lebih kenyal."
Lelaki tua itu tersenyum mengangguk. "Menurut kamu, gimana kalau saya buka warung Mie Ayam baru. Saya ambil mienya dari sana dan bumbunya dari sini. Tapi, saya naikkan harganya lebih mahal 20%."
Nafisa mengerutkan dahinya, sedikit bingung mengapa hal tersebut ditanyakan padanya. "Mungkin akan jadi mie ayam paling enak, Pak."
"Kalau kamu pembelinya, kamu akan beli mie ayam dimana?"