Mengapa Tidak Kemarin?

446 19 0
                                    

Terlambat, seharusnya kalimat itu hadir kemarin. Bukan ketika bertahan tak lagi jadi pilihan.

—Mengapa Tidak Kemarin 11 Agustus, 2020—

*****

10 Juli 2013

Baskara

Kamu mau nggak jadi pacar aku?

19 Juli 2013

Baskara

Fi, kita putus.

***

2019

Berhakkah manusia mengharap kenangannya untuk kembali, lalu dirajut lagi untuk memberi bentuk yang lebih utuh? Mungkinkah setiap mereka yang sempat pergi tidak akan sama lagi ketika kembali? Atau kita yang sedang membuat teori agar tidak tenggelam dalam ilusi?

From : Baskara

Apa kabar?

Setelah enam tahun tanpa kabar, tanpa pesan, bahkan tanpa pertemuan. Kalimat itu menjelma barisan huruf paling ingin kubaca berulang di layar ponsel yang sudah lebih lebar dari ponsel tahun dua ribu tiga belas lalu. Dia kembali.

Baskara namanya, dari jutaan manusia aku tidak tahu mengapa yang datang harus yang pernah pergi. Bibirku tekatup dengan mata yang terus bergulir mengulang kalimat, memastikan nama pengirim pesan. Sunyi, hanya detak jantungku yang mulai ramai.

Lifiya :
Hai, aku baik. Kamu, apa kabar?

Tidak perlu menunggu lebih banyak detik yang terbuang, pesan itu terbaca.

Baskara :
Baik, Fi. Kamu dirumah?

Lifiya :
Iya.

Baskara :
Rumahmu kelihatan sepi, orang tua kamu kemana?

Lifiya :
Ada. Tidur. Kamu dimana?

Baskara :
Di rumah nenek.

Aku berjalan menuju jendela, membiarkan pandanganku membelah ramai kendaraan untuk melihat rumah di seberang jalan. Seperti liburan akhir tahun yang sebelumnya, rumah itu kembali ramai.

Lifiya :
Sudah lama sampai?

Baskara :
Dari kemarin

Lifiya :
Oh

Baskara :
Selama ini kemana? Pindah ke Solo?

Lifiya :
Ada. Kamu yang kemana.

Baskara :
Aku selalu kesini tiap libur panjang.

Lifiya :
Aku nggak pernah lihat.

Baskara :
Aku yang gak pernah lihat kamu, Fi.

Aku hanya membaca pesan itu, tak berniat menyambung percakapan. Baru beberapa detik kubiarkan benda pipih itu tergeletak di meja, layarnya sudah kembali menyala.

Baskara :
Fi, sore ini ada acara?

Lifiya :
Nggak. Kenapa?

Baskara :
Jalan, yuk.

Lima belas detik, diam tanpa suara hingga layar benda canggih itu redup dan padam. Kita selalu demikian, bukan? Membiarkan ragu menjalar mengecoh pilihan, meski pada akhirnya tetap rasa yang memenangkan.

Lifiya :
Boleh. Jam 7 malam aja.

Baskara :
Malam-malam enaknya ke taman kota.

Perihal Hati-Hati yang RemukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang