"Kita selalu memperjuangkan rasa, meski sebenarnya bergantung pada semesta. "
Melepas 7 juni 2020, 2am*****
Namanya Ardan, lelaki super tengil yang anehnya satu frekuensi denganku. Misalnya sekarang, tempat kesukaan kami berdua. Lantai teratas rumahnya, berteman dengan ribuan bintang juga sesekali hampir bertengkar dengan nyamuk. Ardan bilang, nyamuk adalah hewan yang sangat ia tunggu kepunahannya. Tentu saja aku tak setuju, bagaimana dengan pekerja obat nyamuk dan semacamnya? Bisa jadi, kepunahan nyamuk hanya akan menambah tingkat pengangguran di negara ini.
"Gak asik lo, Ra, kalau terlalu serius," begitu ucapnya ketika aku menjelaskan mengapa nyamuk tidak boleh punah.
Aku tertawa mendengarnya seraya terus menatap langit, benda paling ramai dibanding kami. Iya, aku dan Ardan. Mataku menerawang, menikmati hening diantara aku dan Ardan. Biasanya, saat-saat seperti ini harus ada yang membuka pertanyaan, supaya tidak semakin sepi hingga harus terbunuh berdua.
"Ar, apa mimpi terbesar lo di dunia ini?"
Ardan menoleh sejenak, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. "Lo mau dengar?"
"Hm."
"Gue mau jadi orang sukses," ucapnya membuatku menoleh cepat lalu tertawa.
"Tuh, kan, lo selalu aja gitu," ucapnya kesal namun ikut tertawa.
"Ardan mau sukses tapi kerjaannya gini-gini aja? Tidur, nyapu kamar, nyari makanan ke rumah gue, ngerokok, nonton konser, dan ini. Duduk di rooftop sambil ngehalu sama gue."
Dia tertawa. "Tapi kan gue kerja kadang-kadang, Ra, lo hilangin yang baik-baiknya."
Dia memang bekerja, tetapi tidak tentu. Biasanya, dia menjadi seorang calo jika ada yang menbutuhkan bantuannya. Relasinya cukup luas, sebab itu dia terkenal sebagai calo yang cepat dalam hal penjualan. Tentu saja itu bukan sebuah jawaban Ia akan sangat sukses di kemudiaj hari, bukankah yang menjual dan membutuhkan tidak selalu ada?
"Ini serius, Ra. Gue kasih tau lagi."
"Iya, deh."
Dia menoleh ke bawah, taman tidak terlalu luas di dasar sana. Senyum miringnya tercetak, dia kembali menatap langit yang aku rasa lebih menarik dibanding taman kecil penuh duka itu. Baginya.
"Suatu hari gue pengen punya keluarga kecil yang bahagianya sederhana. Cukup sederhana, jangan berlebihan seperti yang gue alami. Anak gue kelak, nggak boleh ngerasain hidup seperti bapaknya. Cukup bapaknya yang merasa gak berguna, bingung, sepi, dan hampa."
Aku merebahkan kepalaku di pundaknya, bersama dengan air maya yang menetes. Sudah kubilang, kita satu frekuensi termasuk dengan bagaimana hidup berjalan.
"Gue yakin, Ra, lo punya harapan yang sama."
"Salah nggak, ya?"
"Selagi itu lebih baik, gue rasa nggak."
"Lo tau apa yang salah dari perpisahan mereka? Ego atau cinta?"
"Hati mereka. Hati mereka ada yang salah, sampai lupa bahwa anak yang mereka besarkan akan sedikit demi sedikit terabaikan. Mereka kira kita udah dewasa, Ra, sehingga mereka rasa sudah saatnya ego diutamakan. Bercerai, menikah lagi, menawarkan dengan siapa kita akan tinggal. Nyatanya, kita selalu punya rumah paling istimewa untuk tidak pernah ditinggalkan. Bukan, bukan soal semewah apa rumah itu, tetapi tentang bagaimana kita lebih banyak tertawa lepas di rumah yang penuh kehangatan meski tersisa sebagai kenangan."
"Gue harap Tuhan bisa mendengar lebih keras harapan lo, Ar."
"Harapan lo juga."
Malam itu, pukul dua belas lewat lima menit. Aku memejamkan mata, membiarkan dinginnya malam semakin menusuk. Jaket jeans yang dihiasi sobek-sobek di beberapa bagian yang Ardan gunakan sudah basah ulah air mataku.
Tuhan, sisakan bahagia sedikit saja untuk masa depan kami di depan sana. Seperti yang Ardan inginkan, sebagaimana yang selalu dijanjikan Ibu dahulu ketika langkah kaki belum sepenuhnya mampu melangkah. Katanya, kita akan berjalan jauh berkelana menyusuri dunia lalu menemukan bahagia dan rumah sebenarnya. Kemudian, kita akan menyebut pulang sebagai not paling indah didengar melalui sambungan telepon.
Ardan menarik tanganku, menatap jam yang melingkar di pergelangan tanganku. "Gue telat hampir sepuluh menit."
Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya, tak mengerti maksud lelaki itu. "Apa yang telat?"
"Selamat ulang tahun, Tiara."
Mataku berkaca, hampir menjatuhkan air mata. Segera aku mengusap, tentu Ardan tidak akan senang aku menangis di hari milikku.
"Ada hadiah kecil-kecilan, maklum lah gue kan gak punya banyak duit. Yang kaya bokap gue, bukan gue."
Aku tertawa diiringi air mata yang jatuh.
"Dih, nangis. Belum juga lihat isinya."
"Gue tau ini akan zonk, makannya gue nangis."
"Sialan," umpatnya seraya terkekeh.
Aku menerima kotak itu, dibungkus dengan cara paling tidak rapi. Aku tertawa melihat betapa hancurnya kotak itu. Penyok di beberapa bagian. "Gak usah cengar cengir gitu, gue tau lo ngetawain bentuk kotaknya."
"Yang penting kan isinya," ucapku mengelak dari tebakannya. Dia mendengus.
Dengan sangat mudah aku membuka kotak itu, menemukan secarik kertas. Tulisan tak rapi kini kembali membuatku tersenyum.
"Gue baca, ya?"
"Iya."
"Selamat ulang tahun, sobat gue satu-satunya. Gue nggak tau harus nulis apa lagi, disamping gue males nulis gue juga gak bisa bikin kata-kata ulanh tahun. Sekian, Ardan ganteng."
"Makasih, gue emang ganteng."
Aku menatapnya tajam. "Nyesel gue bacain."
Dia tertawa. Aku beralih pada hadiahnya, kalung dengan liontin bulan sabit. "Waw, bulan."
"Gimana? Suka?"
Aku mengangguk cepat. "Suka. Pakein."
Dia mengambil kalung itu, memasangkannya di leherku. Aku menunduk menatap kalung yanh sudah terpasang indah di leherku, kemudian beralih menatapnya. "Cocok nggak, Ar?"
"Nggak, terlalu unyu buat lo yang urakan."
"Berengsek."
Dia tertawa, aku juga. Lama mata kami saling terkunci, sampai kemudian aku yang kalah lalu menunduk. "Makasih, ya, Ar. Bahkan, ketika orang tua gue nggak ada yang ingat, lo malah ngasih gue hadiah."
"Anything for you."
Aku menatapnya dalam, berakhir memeluknya menumpahkan air mata. "Bahkan jika gue diminta untuk menyebutkan siapa orang yang gue punya saat ini, gue hanya akan menyebut nama lo, Ar. Lo yang nggak pernah bikin gue kecewa, lo yang akan selalu ada ketika gue merasa hampa, merasa takut tidur sendirian di rumah karena mereka sama-sama memilih keluarga baru mereka, lo yang akan selalu setia duduk di samping gue nonton pertunjukan budaya padahal lo gak sepenuhnya tertarik dan lebih banyak tidur. Gue tahu di dunia ini gue gak akan sendiri, makannya tujuh belas tahun lalu gue dipertemukan sama lo."
"Ra, ini hari ulang tahun lo. Hari ini milik lo, jangan sedih."
Dia melepas pelukan mengusap air mataku yang tak henti luruh. "Jelek lo kalau cengeng gini, gue suka ekspresi lo kalau nonton pertunjukan budaya. Manis banget. Kaya cewek beneran."
"Lo pikir gue bohongan?"
Dia terkekeh pelan, menatapku yang sibuk mengusap air mata diiringi senyum hangat.
"Tiara," panggilnya sedikit pelan.
"Apa?"
"Gue gak tahu setelah ini, kita masih bisa di sini atau nggak. Gue nggak yakin, karena apa yang gue bicarakan tentu ada kemungkinan lo akan menghindar atau sebaliknya."
"Apa sih, Ar, nggak usah muter-muter."
Dia meraih jemariku, mengusapnya lembut. "Gue sayang sama lo, Ra."
Aku membeku, diam menunggu dia akan tertawa lalu mengatakan ini lelucon. Meski sebenarnya, itu tidak sama sekali aku harapkan.
"Gue tau ini nggak seharusnya, Ra, tapi—"
"Tapi gue gak bisa bohong. Gue janji, Ra, gue janji akan memperjuangkan hidup yang jauh lebih baik dibanding apa yang kita alami. Gue janji, Ra, gue bisa bangun keluarga yang lebih harmonis dibanding orang tua kita. Gue janji, seumur hidup gue, Ra. Sekarang, gue memang belum bisa buktiin, tapi gue akan berusaha mulai detik ini."
Dia menunduk, pundaknya bergetar meluapkan emosi dalam dirinya. Menyatakan perasaan itu, aku yakin begitu berat. Bertahun-tahun kami bersama, tentu bukan sesuatu yang mudah. Aku memeluknya, membuatnya segera mengeratkan pelukan itu dan menangis di dalam pelukanku. "Gue hampa, Ra, gue sepi. Gue kehilangan semuanya bahkan kebahagiaan yang dari kecil gue kira akan berlanjut sampai gue dewasa. Lo tahu? Sama lo, gue merasa lengkap. Gue merasa hidup akan selalu baik-baik aja selagi lo ada sebagai bagian dari hidup gue."
"Apa kita bisa, Ar? Berlayar pakai jalan yang berbeda?"
"Bisa. Apapun itu, pasti bisa. Gue akan mencari tempat terbaik di dunia, untuk kita."
"Gue mau, Ar, bawa gue pergi. Gue mau."
"Jadi istri gue, Ra, selamanya. Satu-satunya perempuan di hidup gue."
Dan sejak penghujung kalimat itu, semua berakhir. Dia terkulai ambruk di sampingku, membuatku sedikit terbawa. Aku berteriak sekencang yang aku bia, berharap suaraku menembus tembok-tembok tebal rumah lainnya. Berulang kali aku mengguncang tubuhnya, namun semua tetap sama. Dia bahkan tak menjawab sama sekali panggilanku padahal aku mengatakan semua itu ditelinganya. Tuhan tak mengizinkan cinta kami, baginya mungkin sudah cukup lama kami menghabiskan waktu berdua. Sudah saatnya Ardan beristirahat sekarang.
Beberapa hari setelahnya, aku tahu Ardan ternyata mengalami kerusakan di paru-parunya juga organ lainnya. Hari-hari yang ia lalui begitu berat, pikiran-pikiran kosong yang setiap malam menghantuinya berhasil membawa Ardan pada penggunaan obat-obatan terlarang, rokok yang setiap hari ia hisap, juga minuman keras yang setiap malam ia teguk.
Dan saat itu, orang tua Ardan kembali ke rumah mereka yang dulu ditempati berdua. Mereka tersungkur disamping anak lelaki yang mereka kira akan sekuat baja, mereka menangis menggema mengalahkan suara hujan. Mereka hanya bisa menyesali semua yang terjadi, seharusnya mereka tak hanya memikirkan egonya. Seharusnya mereka sadar sejak awal, bahwa ada yang mereka tinggalkan karena bagi seorang anak, tidak ada orang tua lagi selain ayah dan Ibu kandungnya.
Orang tuaku juga hadir, mereka berada di samping kanan dan kiriku. "Kita akan dirumah mulai hari ini, jadi teman cerita buat kamu," ucap Papa.
Mereka memutuskan untuk kembali, menjadi sepasang suami istri sekaligus Papa dan Mama untukku. Kepergian Ardan menyadarkan banyak orang, termasuk orang tuanya yang kini saling menguatkan.
Benar, seseorang perlu diajarkan kehilangan untuk sekadar mampu benar-benar belajar.
Ardan, selamanya. Selamanya kamu adalah duniaku, meski terpaksa harus kutumpuk dengan dunia yang lain. Selamat jalan.
***SELESAI***TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA