Hangat dan Hujan (Cerpen)

104 3 4
                                    

"Kamu kedinginan, Naya?"

Kau bertanya penuh kekhawatiran. Di halte bus tinggal kita berdua yang terkepung oleh hujan. Kau tanggalkan  sweater abu-abu kesayangan yang dipundakkan karena bahu kekasih mulai kebasahan. Kekasihmu yang memiliki iris mata berwarna coklat menyala, berambut hitam sepunggung, itu aku.

"Rumahmu masih jauh Abi. Kau pakai saja ini."

Satu bus seakan mengerti bahwa sepasang kekasih ini mulai menyerah pada hujan yang semakin mendingin. Bus itu melahap kita. Mengantarkan dan melindungi dengan tubuh besi yang mulai keropos. Lagi-lagi kita harus menerobos. Bus itu enggan mengantar hingga ke depan gerbang.

Asap kalori dalam tubuh yang kedinginan mengepul dari kedua mulut kita. Hujan yang jahat! Tega-teganya membuat laki-laki yang aku cintai terlihat begitu lemah. Kau menggigil meminta pertolongan yang ditawan kenaifanmu.

"Kita masuk dulu Bi. Keringkan dulu bajumu sebelum pulang."

"Tapi ini udah sore Nay."

"Enggak! Nanti kamu sakit!"

Siapa yang tega melihat laki-laki kurus berponi itu sakit. Terlebih kau pacarku. Lekas kita bergantian menanggalkan baju putih-abu, menggantinya dengan pakaian yang masih kering. Syukurlah pakaian adikku cukup di badanmu yang memang tak jauh beda usianya. Selama kau di kamar mandi, aku membuat teh hangat yang paling spesial di dunia ini. Tak ada yang bisa mengalahkan keistimewaan teh yang kubuat ini untukmu. Teh celup yang diberi air panas segelas, gula pasir 2 sendok, dan cinta sebanyak-banyaknya.

Aku sajikan teh itu di depanmu yang sedang sibuk mengeringkan rambut dengan handuk bergambar bunga biru kesayangan.

"Minum dulu, mumpung masih panas."

Kupandangi dirimu yang berusaha meraih teh itu. Setiap tiupan pada gelasnya menghantarkan ku pada ketenangan. Hingga senyum di wajahku tak tertahan sebelum matamu melirik ke arahku dan senyum itu seketika buyar.

"Kau juga minum, mumpung masih panas. Supaya badanmu hangat lagi."

Tak perlu teh panas untuk membuatku merasakan kehangatan. Senyummu sudah cukup, Bi.

"Kau tahu kenapa hujan turun?"
Kau bertanya tiba-tiba.

"Iya karena awan sudah tak kuat menampung airnya."
Jawabku dengan logika.

"Bukan."

"Lalu apa?"

"Kenapa hujan turun? Iya karena kamu."

"Kok karena aku?"

"Dia cemburu sama aku. Makanya aku diserang. Hujan enggak terima cewek secantik kamu jadi pacar siapa-siapa."

"Garing Bi."

Ada sepi yang menyekat kita tiba-tiba untuk beberapa saat.

"Tapi jangankan hujan. Badai, gempa bumi, longsor, puting beliung--pun aku lawan kalau mereka mau mencoba merebutmu dariku."

"Tapi tadi kamu kedinginan, Bi. Kamu kalah sama hujan. Jangan sok kuat."

"Iya. Haha..."

Tawa hadir antara kita. Semakin hangat. Suasana ini semakin ingin kunikmati lebih lama. Aku, teh, dan kamu. Kita bertiga melawan hangat dan hujan yang mendera.

Kau salah tentang hujan, Bi. Ia tak cemburu, ia baik padaku. Buktinya hujan menahanmu di sini untuk pulang, agar aku bisa sedikit merasa lebih senang.

Telukjambe Timur, 4 November 2019
Agustianta Rensa

PUISI MUSIM HUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang