4

9.2K 1.2K 20
                                    

Makan siang bersama keluarga sendiri memang nikmat. Rasanya pasti menyenangkan sekali. Tapi, Gea sudah lama tak melakukan itu. Berhubung dia tak tinggal satu kota dengan orangtua, jadi dia jarang bertemu dengan orangtuanya.

Awalnya, Gea tinggal di Jakarta bersama kedua orangtuanya. Namun, semenjak dia bekerja di perusahaan Marwan, orangtua Gea memutuskan pindah ke Cirebon. Kota tempat tinggal kakak Gea yang sudah berkeluarga.

Berhubung Gea sibuk kerja dan sering lembur, dia jadi tak bisa memperhatikan keadaan orangtuanya setiap saat. Karena itu, walaupun sedikit tak rela, Gea membiarkan orangtuanya pindah. Lagi pula, Gea punya kakak ipar yang sangat baik. Yang tak keberatan jika harus mengurus dan menemani orangtua Gea.

Awalnya, Gea juga berniat ikut pindah. Dan tentu saja, pindah kerja juga. Tetapi, niatnya di larang sang kakak. Nasihatnya selalu Gea ingat sampai sekarang. Nasihat agar jangan menyia-nyiakan pekerjaan yang sudah ada. Karena sekarang, mendapatkan pekerjaan sangatlah susah. Banyak diluaran sana yang tidak seberuntung dirinya. Gelar sarjana, tetapi pengangguran.

Karena itu, Gea pun memaksakan diri tinggal di Jakarta seorang diri. Saat ada libur, Gea akan menyempatkan diri berkunjung ke Cirebon. Kadang, dia juga dikunjungi kakaknya saat kakaknya itu bertugas di Jakarta.

Karena jarang berkumpul dengan orangtua, kadang Gea menganggap Marwan dan Anin sebagai orangtuanya sendiri. Mereka baik, memberikan apa yang dia butuhkan, dan tak menganggapnya orang lain. Sayang, kelakuan menyebalkan mereka membuat Gea sering kesal dan marah.

Seperti siang ini, Marwan mengajak Gea untuk makan siang bersama. Di meja makan, hanya ada empat orang. Marwan, Anin, Reno, dan tentu saja Gea. Marwan berkali-kali mengatakan pada Gea agar jangan sungkan dan malu-malu. Katanya, anggap saja rumah sendiri. Tapi, Gea tak bisa setenang itu. Sebab, berkumpul dengan keluarga Marwan yang gila bisa memengaruhi kewarasan otaknya.

Ingin kabur, tak bisa. Marwan dan Anin selalu saja bisa menahan Gea agar tidak pergi. Ancaman mereka yaitu pekerjaan. Kalau Gea tak menurut, maka Gea akan di pecat. Dan Gea tak pernah mengharapkan itu terjadi. Dia tak mau jadi gelandangan hanya karena tak menuruti keinginan pasangan suami istri itu.

Nasib buruk, pertama bekerja Gea harus jadi bawahan dari orang-orang seperti Marwan. Yang seenaknya, menyebalkan, dan juga gila. Ya, walaupun kadang Marwan dan Anin menunjukkan kebaikan hati mereka.

"Pa, dia sudah bekerja berapa lama?" Reno bertanya setelah acara makan siang selesai. Sedari tadi, Gea tak berhenti menampilkan wajah cemberut. Berharap salah satu diantara tiga orang itu peka dan membiarkannya pergi. Sayang, ketiganya sama-sama memasang muka tembok. Seolah tak peduli dengan kekesalan hati Gea.

"Sudah tiga tahun kalau tidak salah. Hampir empat tahun lah," jawab Marwan. Tak mau mendengar obrolan antara Marwan dan Reno, Gea memilih untuk membantu Bi Tuti. Membereskan meja makan dan mencuci piring.

"Sudah lumayan lama rupanya. Pantas saja dia sudah punya mobil mewah. Sepertinya dia orang yang suka menabung," ucap Reno memuji.

"Itu bukan mobilnya, Ren. Papa kamu sengaja meminjamkan mobil itu pada Gea agar memudahkan Gea berangkat kerja," balas Anin meluruskan pikiran Reno yang salah.

"Meminjamkan?" tanya Reno heran.

"Iya. Awal kerja, Gea sudah bekerja dengan baik. Dia cekatan dan telaten. Kami percaya padanya jadi kami pinjamkan mobil itu pada Gea. Kadang, Gea juga jadi supir dadakan saat Mama harus pergi ke suatu tempat," jawab Anin. Reno terdiam mendengar itu. Dia pikir, mobil itu hasil dari kerja Gea. Rupanya, mobil itu milik orangtuanya. Yang dipinjamkan pada Gea. Secara singkat, Gea tak punya hak penuh atas mobil itu.

"Kalau begitu, mulai besok aku akan ambil mobil itu. Dan aku yang akan memakainya," ucap Reno.

"Jangan, Ren. Nanti susah kalau Gea harus jemput Mama," tegur Anin pelan.

"Ada Pak Joko, Ma. Buat apa dia di gaji kalau tidak bekerja?" tanya Reno. Joko adalah supir pribadi Marwan. Sering mengantarkan Marwan jika bepergian. Dan jarang sekali mengantarkan Anin pergi. Karena Anin sendiri yang memilih untuk di antar oleh Gea.

"Lalu, Gea bagaimana?" tanya Anin bingung. Marwan ikut menatap Reno dengan tatapan heran.

"Dia bisa berangkat pakai taksi online," jawab Reno singkat. Marwan dan Anin saling tatap kemudian mengangguk pelan.

"Baiklah. Terserah kamu saja. Yang paling penting, kamu harus bekerja dengan baik di kantor. Jangan sampai usaha yang Papa bangun selama ini jatuh bangkrut di tanganmu," peringat Marwan. Reno mengangguk pelan sebagai balasan.

Tak lama kemudian, Gea datang dari arah dapur. Berjalan mendekati meja makan dan bersiap pamit untuk segera pergi.

"Tugas saya sudah selesai, Pak, Bu. Saya pamit pulang," ucap Gea cepat. Tanpa menunggu balasan dari Marwan dan Anin, Gea segera melangkah pergi. Berharap, kali ini dia tak di tahan lagi.

"Gea! Tunggu!"

Gea menggeram marah mendengar suara Reno yang menghentikannya. Dia pun berhenti melangkah dan berbalik. Menatap Reno dengan tajam.

"Apa lagi?" tanya Gea geram. Reno tersenyum kecil melihat kekesalan Gea. Dia berjalan santai mendekati Gea. Membuat Gea semakin kesal.

"Mana kunci mobil?" tanya Reno. Dia mengulurkan tangan, meminta kunci mobil pada Gea.

"Maaf. Tapi, Anda perlu apa?" tanya Gea dengan mata menatap Reno tajam.

"Itu mobil orangtuaku, mobil perusahaan. Kamu tak punya hak atas mobil itu," jawab Reno. Gea membelalak kaget mendengar itu. Dia menggeram kesal dan memberikan kunci mobil pada Reno. Tanpa bicara lagi, Gea pun segera keluar dari rumah itu. Dia berniat untuk langsung pulang ke apartemennya. Mood baiknya untuk bekerja sudah hancur total karena semua yang dilakukan oleh Marwan dan keluarganya.

Di pinggir jalan, Gea berdiri sambil memegang ponsel. Dia sedang membuka sebuah aplikasi, untuk memesan taksi online. Entah kesialan apa lagi, jaringan internetnya sedikit bermasalah. Membuatnya susah untuk masuk ke aplikasi.

Bagai malaikat tanpa sayap, Reno datang dengan mobil yang selama ini di pakai Gea. Dia berhenti di depan Gea dan menyuruh Gea untuk masuk. Tetapi, Gea menolak. Dia memilih jalan kaki saja. Sayang, Reno terus mengejarnya.

"Kamu akan kehilangan pekerjaan kalau tak menuruti perintahku!" seru Reno. Gea pun terpaksa masuk lagi ke dalam mobil. Wajahnya sudah sekusut benang. Emosinya benar-benar di permainkan hari ini.

"Di mana tempat tinggalmu?" tanya Reno. Gea pun langsung menjawab karena tak mau berlama-lama lagi di dalam mobil bersama Reno.

Sampai di parkiran apartemen, Gea segera membuka sabuk pengaman. Meraih gagang pintu dan membukanya. Keluar dari dalam mobil dan menutup pintunya dengan keras. Melihat itu semua, Reno malah tertawa geli.

Sepertinya, pekerjaannya tak akan terlalu membosankan. Dia punya Gea, yang bisa dia jahili habis-habisan nanti. Dan Reno tak sabar rasanya menunggu hari esok tiba. Hari di mana dia mulai bekerja.

_______________________________________

Hai hai...
Bagaimana???
Jangan lupa vote dan komennya ya...

Crazy Boss!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang