Bridal Shower? Hell. No. Never.

48.9K 5.3K 89
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Forget the correct spell

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Forget the correct spell. Because Rineya is not Rineya kalau masih bisa ngetik dengan benar setelah undangan pernikahanku sampai ke rumahnya-tiba-tiba..

Aku memang sengaja nggak memberikan langsung undangan ke sahabat-sahabatku karena mereka pasti akan langsung tahu tentang apa yang terjadi hanya dengan melihat wajahku. Nggak ada juga acara seperti bridal shower layaknya orang-orang sekarang ini.

Dua bulan lalu, aku adalah Elea Kirana Dharmawan, dan sekarang namaku bertambah panjang.

Elea Kirana Dharmawan-Widjaya.

Sama seperti aku yang nggak punya power buat menolak pernikahan ini, nama Dharmawan yang aku sandang lebih dari tiga dekade ini nggak bisa aku singkirkan meski aku sudah menjadi istri seorang Widjaya. Kata Ayahku, Almarhum Kakek buyutku bertitah semua keturunannya harus tetap menyandang nama Dharmawan meski sudah dipersunting orang, sementara keluarga Widjaya punya tradisi bahwa semua menantu wanitanya harus menyandang nama Widjaya.

***

Throwback

"So? What do you think?" tanyaku penuh hati-hati.

Hari itu malam pertama kali aku bertemu Bryan . Aku ingat saat itu hujan deras, keluarga Bryan datang untuk dinner di rumahku. Aku pikir hanya makan malam untuk urusan bisnis seperti biasa.

Tapi ternyata, urusan bisnis kali ini lebih dari biasanya.

Bryan masih diam dengan satu gelas martini di tangannya. Raut wajahnya datar, meski terkesan sinis. Sementara kami sedang beradu tatapan dingin di ruang baca, keluargaku dan keluarga Bryan justru bersuka cita merayakan persatuan kedua keluarga yang sebentar lagi menjadi kenyataan.

"I don't mind," jawab Bryan.

Dahiku berkerut, membuat kedua pangkal alisku nyaris bertemu.

"Are you single?" tanyaku hati-hati, seperti wartawan majalah online.

Bryan bergeming.

"Do you even know me?" aku bertanya serius. Maksudku, apa jangan-jangan dia memang udah tahu aku dari dulu dan sekarang membuat kejutan dengan datang melamarku bersama keluarganya.

Me, and my absurd fantasy.

Bryan mengubah posisi duduknya, menaruh kedua siku di masing-masing lutut. Pandangannya lurus kepadaku yang kebetulan berhadapan, lalu entah mengapa membuat jantungku berdetak lebih kencang. Bola matanya coklat gelap, tatapannya tajam dan dalam membuatku merasa terintimidasi hanya dengan tatapannya.

"Who are you?" Dia baru bertanya setelah hampir setengah jam ada di rumahku.

Aku menggelengkan kepala, "You don't even know me so how can you love me then?" aku menimpali.

"Since when we need love for getting married?" ujarnya santai membuatku terdiam sepersekian detik.

"Yah silahkan, kamu bisa menikah dengan diri sendiri. I am not in. Aku menolak pernikahan ini," kataku tegas lalu bangkit dari kursi hendak meninggalkannya sendirian.

"Unfortunately, You can't refuse. Yang gue tahu pernikahan ini diatur karena lo nggak mau in charge meneruskan perusahaan bokap," kata Bryan yang langsung membuatku berhenti melangkah.

Aku lulusan fashion design, menggeluti dunia fashion sejak tiga tahun yang lalu. Ayahku, Hari Dharmawan jelas menginginkan aku sekolah bisnis dan melanjutkan memonitor usaha keluarga yang sudah dibangun oleh tiga generasi. Namun aku teguh dengan pendirianku, membuat Papa menemukan ide konyol menjodohkanku dengan anak kolega bisnisnya -which extremely handsome but sarcastic and heartless. Padahal bisnis Dharmawan juga nggak akan runtuh walau aku absen memonitor karena selama ini yang pegang langsung perusahaan-perusahaan juga 'boneka-boneka' Papa.

Yang dikhawatirkan sebenarnya adalah kerumitan yang akan timbul kalau pemegang kendali utama bukan dari cucu pertama dari anak pertama Keturunan Dharmawan. Memang agak kompleks kalau diceritakan. Kalian bakal bosan kalau dengar ceritanya.

"Lo boleh melanjutkan usaha fashion lo dan gue bantu bokap lo monitor perusahaan Dharmawan. Lo lanjutkan hidup seperti biasa, gue juga. Bedanya kita akan tinggal serumah. Just live our life like before we met. Gue nggak akan mencampuri kehidupan pribadi lo dan lo juga jangan mencampuri kehidupan pribadi gue. Win-win solution, right?" jelas Bryan panjang lebar.

Ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar selama tiga puluh lima menit kami duduk di sini. Efek stupefy ala Harry Potter membuatku nggak bergerak selama Bryan bicara.

***

Present

Aku selalu menarik nafas panjang setiap mengingat pertemuan pertamaku dengan Bryan. Laki-laki yang sekarang menjadi suamiku, yang hanya aku dengar suara deru mobilnya setiap pagi.

 Laki-laki yang sekarang menjadi suamiku, yang hanya aku dengar suara deru mobilnya setiap pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bridal Show-erggh!! (Under Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang