Never underestimate the power of good lingerie on a tiring day. Good Luck! - Samantha Riyadi
***
Karena hujan dan macet adalah perpaduan istimewa yang membuatku sampai di rumah pukul 11.00 malam. Untung kan, nggak ngabarin Bryan kalau pulang telat. Ternyata dia juga belum pulang.
Mungkin nggak pulang.
Jumat minggu lalu Bryan nggak pulang ke rumah. Entah menginap di Apartemen yang di dekat Tower kantornya atau menginap di rumah orang tuanya- tapi pasti Mama mertua udah nge-chat sih kalau Bryan nginep di sana, atau... yaaa... di rumah-rumah lain yang aku nggak tahu.
And actually, I don't want to know..
Duh nggak penting banget mikirin orang itu.
Rasa letih langsung terasa ketika memasuki kamar. Walau begitu aku tetap harus membersihkan badan karena sudah seharian di luar. Aku sempatkan buat meramu reed aromatherapy diffuser, mandi dengan aroma-aroma relaksasi yang merebak seruangan adalah self reward. Aku punya banyak koleksi essentials, ada yang wangi wood, flowers, vanilla, coffe atau rempah-rempahan. Semua wewangian ini bisa membuat stress dan capekku hilang pelan-pelan. Aku menyalakan shower agar membasahi rambutku yang lepek karena keringat, lalu mencucinya dengan shampoo beraroma campuran buah bergamot, coconut, dan vanilla. Selesai mandi aku membuka lemari pakaian, tanpa sadar aku berdecak.
Ada beberapa lingerie yang aku dapat dari Samantha sebelum hari pernikahanku. Sekarang hanya menggantung bagai properti wardrobe. Such a waste...
Aku menghela nafas seraya meraih salah satu lingerie dari gantungan untuk aku pakai. Seenggaknya aku bisa bilang ke Samantha kalau hadiahnya aku pakai.
Walau untuk diriku sendiri.Mendadak aku ingat tas ku masih ada di sofa ruang tamu. Segera aku beranjak dari kamar lalu menuruni tangga. Samar-samar aku mendengar derap langkah seseorang terdengar dari bawah. Aku mengernyit, meski tidak terlalu jelas tapi aku masih bisa melihat sosok Bryan berjalan menuju ruang tamu yang hanya berjarak beberapa langkah dari anak tangga tempat aku berdiri.
Tumben orang itu pulang. Aku hanya membatin.
Sepertinya Bryan menyadari kehadiranku, dia menoleh ke arah tangga. Mata kami bertemu tapi aku ragu mau menyapanya atau nggak. Jadi aku putuskan untuk nggak berkata apapun, membalik badan dan hendak naik lagi ke atas. Belum genap dua langkah, suara Bryan menggema.
"Boleh ambilin minum?" tanya tiba-tiba membuatku menoleh ke arahnya. Wajahnya kelihatan lelah mungkin hampir sama dengan wajahku ketika aku baru sampai dari rumah. Kemejanya juga kusut, beberapa kancing bajunya sudah dicopot, lengannya tergulung asal-asalan.
Perasaan iba membuatku tergerak.
"Teh? Susu? Air mineral?" tanyaku setelah sampai di ruang tamu.
"Anything" jawabnya seraya mengikutiku langkahku.
Kalau ikut ke dapur juga, ngapain minta diambil minum?
Meski sedikit tidak tulus, aku tetap meramu teh chamomile setelah itu menuangnya ke dalam cangkir kecil lalu aku dekatkan ke tepi meja tempat Bryan duduk.
Aku mengamati Bryan menyesap teh buatanku, tergelitik ingin bertanya bagaimana kabarnya hari ini. Tapi tanpa pikir panjang aku urungkan, nanti dia berpikir kalau aku ikut campur hidupnya.
"Aku naik dulu," pamitku yang membuat Bryan meletakkan cangkirnya lalu menatapku.
"Jangan pakai baju kayak gini lagi," katanya tiba-tiba membuatku berjengit.
"Sejak kapan lo punya hak buat mengatur apa yang gue pakai?" tanyaku sinis.
Bryan bergeming namun kemudian menghela nafas.
"Atau sengaja? Biar gue tertarik?" tuduh Bryan membuatku naik pitam. Kalau ada olimpiade menahan emosi, mungkin aku sudah mendapat medali emas.
Rasanya sia-sia berbaik hati membuatkan dia teh.
"Lo ngomong aja ya sama cangkir. Kayaknya lo lebih cocok ngobrol sama cangkir daripada sama manusia," ujarku sambil mengetuk cangkir teh Bryan yang sedang dia angkat. Namun ternyata ketukanku terlalu kencang hingga membuat separuh teh panas tumpah ke bajunya.
Bryan nggak berteriak hanya menggigit bibir bawahnya, justru aku yang histeris.
"Lo gimana sih," aku mulai menuduh sembarangan sembari meraih kitchen towel untuk menyeka baju Bryan.
"Gue?" tanyanya nggak terima.
"Iya lah, kalau lo nggak ngomong sembarangan gue nggak akan kayak gitu," aku membela diri.
Bryan tiba-tiba berdiri dari kursinya lalu mendekatiku.
"Sembarangan?" tanyanya dengan nada yang sangat mengintimidasi. Tanpa sadar kakiku mundur hingga membentur tembok.
"Move aside!" perintahku, menyikut badannya supaya ada jarak di antara kami. Tapi Bryan nggak terdorong satu inch pun.
"Kenapa nyuruh gue minggir? Bukannya lo sengaja numpahin teh di baju gue?"
Aku menelan ludah melihat Bryan mulai membuka semua kancing bajunya memamerkan otot-otot hasil work out-nya. Aku merasa terancam ketika menyadari tatapan tajam Bryan menjelajahi camisole yang aku pakai.
"Bryan Widjaya... gue tahu lo lagi capek dan mulai berhalusinasi," bisikku di telinganya. Aku sengaja membuat jeda sambil mendekatkan wajahku hingga hidung kami bersentuhan meski harus membuatku berjinjit. "Tapi maaf—gue bahkan nggak mengharapkan kehadiran lo di rumah ini," imbuhku.
Aku langsung mendorong Bryan saat dia terlihat lengah lalu secepat kilat aku meninggalkan Bryan yang masih berdiri di dapur.
Duh. Sialan si Samantha!
Gara-gara dia aku hampir ditelan serigala berkulit manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bridal Show-erggh!! (Under Revision)
ChickLitPernikahan yang diatur oleh orang tua demi bersatunya dua keluarga terpadang? Ah, Klasik! Nggak mungkin masih ada! Tapi nggak bagi Elea Kirana Dharmawan yang terpaksa hidup satu atap dengan Bryan Ashle Widjaya pengusaha muda berbakat bertangan d...