Prolog

29 4 2
                                    


  Sinar hangat yang selalu menyapa pagi ku. Aku bahkan tak merasa asing dengan keberadaannya.

  Bangun di pagi hari adalah kewajiban seorang pelajar. Tak terkecuali aku. Aku Jung Mi Young, wanita kelahiran 1997 dan seorang mahasiswi. Lebih tepatnya mahasiswi di Seoul National University.

  Setelah berakhirnya bunyi alarm, terjadi keheningan beberapa saat di dalam kamar ku. Namun, jam dinding tak pernah bosan membuat keheningan pecah. Suara jarum-jarum nya seakan membuat suasana terasa ramai.

  Sebelum beranjak dari ranjang ku, tak lupa ku regang kan otot tangan, leher dan seluruh badan ku. Setelah merasa lebih ringan, aku mulai beranjak meninggalkan ranjang ku yang bertanda bahwa "Kita akan berjumpa nanti malam," Begitulah kehidupan mahasiswa.

  Aku berjalan menuju lemari minimalis yang tak jauh dari ranjang. Menyiapkan pakaian yang simple, lalu aku berjalan lagi. Kini menuju kamar mandi.

  Sekitar 14 menit, aku keluar. Berdandan, berpakaian, dan bersiap. Setelah merasa semua sudah cukup, aku keluar dari kamar dan menuju dapur.  Sebelum benar-benar keluar dari kamar, aku kembali berkaca, memperhatikan setiap lekuk tubuhku dan mencoba memperbaiki yang belum sempurna. Akhirnya aku melangkahkan kaki keluar kamar, tak lupa sembari merangkul tas punggung kesayanganku.

  Kalian ARMY? Mari berpelukan. Aku ARMY garis keras, yah bisa dibilang begitu. Sekeras apapun aku menjadi ARMY, kenyataan tidak bisa berbohong bahwa aku sangat dan lebih menyukai Park Jimin. Ada yang sama denganku?

  Aku juga punya hobi, yaitu Nge-fangirl di manapun tempat dan kondisinya. Terlebih lagi jika itu berkaitan dengan calon masa depanku, Park Jimin. Aku akan menjadi yang paling berisik.

  Tepat di depan meja kaca dengan 4 kursi yang mengelilinginya, aku melihat seorang wanita paruh baya yang sedang menyiapkan sarapan. Ia juga merapih kan meja tersebut serta menata apik piring-piring di meja kaca tersebut.

  Aku jujur, aku tak suka melihatnya bekerja keras sendirian. Di mana appa? Tak usah di tanyakan lagi, aku yakin ia masih sibuk dengan pekerjaannya. 

 Aku menghampiri wanita tersebut yang sudah jelas adalah eomma ku.

"Eomma.. biar aku bantu," ucap ku dengan nada yang sedikit memohon. Beliau tersenyum, terlihat jelas wajah lelahnya, ia berbohong. Senyum palsu. Ia selalu begitu.

  Dengan lembut beliau menggelengkan kepalanya. Itu benar-benar membuatku merasa bersalah. Namun pada akhirnya, aku hanya bisa duduk manis di salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan meja kaca.

  Tak lama, eomma duduk di hadapanku. Kami makan seperti biasanya, hanya berdua, hanya bisa mendalami kesunyian ini. Bahkan, aku saja tidak tahu harus mengangkat topik apa untuk dibicarakan.

"Dia belum pulang?" tanyaku yang memecah keheningan tersebut. Sebenarnya di ruangan tersebut tidak benar-benar hening. Suara sendok dan garpu yang saling bertabrakan selalu terdengar nyaring di telinga.

"Haha, belakangan ini appa mu sangat sibuk. Eomma saja belum mendengar kabarnya sejak kemarin," jawab eomma yang di dampingi tawa palsu nya.

"Eomma selalu berusaha tegar di depanku.. Sudahlah tak usah pikirkan dia, aku saja tak menginginkan kehadirannya di hidupku," balasku dengan nada yang sedatar-datar nya. Beliau terlihat memasang ekspresi sedih dan kecewa ke arah makanannya.

  Aku memakai sneakers putih kesayanganku. Lagi-lagi, menjadi kesayangan. Aku memang begitu, mudah tergoda dan mudah goyah, terkecuali masalah bias.

  Mengikat tali berwarna hitam yang terjalin di sneakers ku ternyata memakan waktu yang cukup lama.

07.00 am

Choose⋆jímín⋆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang