❌ 2 ❌

9 3 0
                                    






Pagi ini hari yang sangat cerah tentunya. Seperti biasa ayah ku tak bisa memberikanku tumpangan tepat di hari ini. Membuatku sedikit kecewa. Melangkah riang menuju kedai yang menjual aneka bunga. Entah kenapa mataku tak berhenti menatap pada sang kelopak putih yang setia berdiri disana. Mawar putih? Boleh juga. Membeli satu buket mungkin sudah cukup.

Memasang headshet yang sedari tadi berada murni di saku jaketku. Mengunjungi sebuah yempat di mana batu nisan tertusun rapi di atasnya.

Berjalan menuju adanya bingkai foto seseorang yang sangat aku rindukan.
Tak pernah bisa melupakannya walaupun sedetik pun. Ku meraba raba fito itu dan terlintas bayangan pembunuhan yang sudah menjadi obyek pertama dalam hidupku.

Mengerjapkan mata berkali kali. Mengahapus seluruh bayangan nya kali ini. Menaruh vuket yang ku pegang tadi di atas batu nisan dengan bertaburan kelopak yang sudah kering.

"Bu...sudah lama kah aku tak kesini?
Maafkan aku...aku sedang melakukan tugas yang entah dapat dorongan dari mana. Membuat orang menderita? Itu yerlihat konyol hhh..
Bu...aku ingin kita kembali lagi nanti.." tak sadar air mataku turun begitu saja.

Seperti yang ku pikirkan. Ibuku sangat menyukai mawar putih dan bunga itulah akan ku jadikan obyek yang sungguh menyenangkan.
.
.
.
.
.
.
.
Di rumah sakit.

Setelah kejadian yang menimpa yeri aku sungguh prihatin dengan kondisi satu matanya yang terutup kain putih tebal. Ku menahan tawa. Walau tak ada yang lucu pastinya.

Ia masih terus terpejam rapat. Ku ingin sekali merobek mulut mungilnya yang suka membicarakan orang. Ku ingin sekali memotong telinganya yang ia gunakan untuk mendengarkan hal hal tidak baik yang menjadikannya jalang yang antusias. Ku ingin memotong kedua kakinya karena sudah membawanya ke jalan yang tidak benar.

Semua kesalahan yang ia lakukan. Masih untung hanya satu mata yang ku tusuk jika kedua matanya pun aku akan tetap bahagia. Tak akan ada lagi yeoja yang mengintip laki laki di kamar mandinya.

"Apakah kau akan tertidur untuk selamanya?" Tanyaku disertai lengkungan kecil di sudut bibirku.

"Tak usah khawatir. Pergilah...aku tak akan mengusik hidupmu lagi. Aku akan menjaga orang tuamu.  Jadi jangan khawatir pergillah"

Bisa kulihat jemari pucat yang diam seakan mati bergerak perlahan membuatku kecewa atas jawabannya.
Ku melihat adanya garpu di atas meja pasien dan terpampang rapi ide ide kreativ bermunculan.

Ku ambil dengan sigap. Merobek alat yang membantu jantungnya untuk normal kembali. Melepas selang oksigenya membuatnya menganga lebar dan mengerjapkan matanya sekali kali. Mencoba mengambil nafas dalam dalam. Aku melihat monitor jantung yang akan menampilkan garis lurus. Aku sungguh senang melihatnya.

"Selamat tinggal yeri..semoga kau tak menyesal karena suah mati untukku"

Ku ambil pisau lipat dari kantongku menaruhnya tepat di bagian jantungnya dan menusuknya beribu kali tanpa henti. Membuatnya tak bernafas dengan mata yang belum tertutup.

Ku selimuti dia hingga bagian kepala dan bisa ku lihat darah itu menembus selimut yang sedang di pakainya. Tak lupa memberi setangkai mawar putih yang ku persembahkan padanya.

Dan pergi dengan perasaan tenang.

Sebelum itu bisa kulihat dari kejauhan ibunya tengah menangis karena anaknya yang sudah tak bernyawa dalam keadaan mengenaskan. Bahagianya diriku ini.

Sengaja aku tak datang ke pemakaman sang yeri. Karena buat apa aku datang toh tak ada yang mengenalku bukan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dead To Me 🚫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang