Chapter-05 : Awal dari sebuah akhir

73 11 2
                                    

Kami sisa berlima.

Hanya ada aku, Nia, Kevin, Yuda, dan Vani yang tersisa dari total keseluruhan 24 orang.

"Yang lain ... tidak selamat?" Vani menunduk. "Aku tidak mau mati ... aku masih ingin hidup."

"Maaf, ini semua salahku," Kevin menggigit bibir bagian bawahnya. "Seharusnya, dia memakanku saja. Aku rela dimakan, asalkan kalian semua selamat!"

Entah ada angin apa, tiba-tiba Yuda meninju wajah Kevin. Wajah Yuda terlihat tak bersahabat. "Jangan bicara seperti itu! Kita akan keluar di sini bersama-sama! Enggak ada lagi yang harus dikorbankan!!"

Kevin menyentuh pipinya yang lebam biru. Jari tangannya tidak utuh, darah kering terlihat di sana. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf."

"Sudahlah," ujar Vani. Ia mencoba terlihat tegar, meski aku tahu dia sedang menahan setengah mati rasa ketakutannya. "Lebih baik ... sekarang kita mulai mencari jalan keluar."

Kami mengangguk, menyetujui usulan dari Vani.

Kami kembali berlari, menelusuro lorong-lorong gelap dengan mengandalakan pencahayaan senter saja.

Hingga kami tiba di ujung lorong, sebuah tangga terlihat. Ada kobaran api semangat yang membara di dalam dada. Senyum mengembang dengan sempurna di wajah kami. "Lihat, itu tangga!"

Saat hendak menuruni tangga, tanpa sengaja aku melihat sebuah lukisan yang sama seperti lukisan yang kulihat terakhir kali di ruangan sebelumnya.

Tiba-tiba, perasaanku berubah tak enak.

Kami telah tiba di lantai dasar, dan pintu keluar sudah terlihat. Kami berlima berlari kencang, jika saja tidak ada sebuah suara yang menghentikan.

"Hihihi, mau keluar, ya?"

Tubuhku sontak mematung. Jantung seakan berhenti berdetak, hendak melompat keluar dari tempat.

Perlahan, aku menoleh. Sosok makhluk itu terlihat, tersenyum begitu menyeramkan. Darah kering terlihat di sekitar mulutnya, begitu pula di tangan serta bagian tubuhnya yang lain.

Bau darah kembali menusuk indra, membuatku mual.

Rekaman ingatan tentang teman-temanku yang dimakan olehnya kini terputar kembali. Rasanya aku ingin menangis mengingatnya.

"Wah ... hanya sisa lima orang? Sepertinya aku makan terlalu rakus tadi." Makhluk itu terkekeh. "Ah, karena kalian berhasil selamat hingga akhir, maka aku akan memberikan hadiah khusus untuk kalian!"

Kami berlima terdiam, menunggu.

Satan melemparkan lima bilah pisau ke lantai. Perasaanku kian tidak enak.

"Kalau kalian saling membunuh dan salah satu di antara kalian berhasil hidup sendirian, aku akan membiarkannya hidup." Ia kembali tersenyum. "Bagaimana? Aku akan menunggu di sini hingga akhir."

"Bagaimana kalau kami menolak?" tanya Yuda.

"Aku akan memakan kalian semua sekarang. Tidak ada bedanya, 'kan?"

"Tolong makan saja aku!" sahut Kevin dengan mimik wajah serius. "Kau boleh memakanku, mencabik-cabikku, tapi tolong biarkan mereka hidup."

"Kau sungguh naif. Tentu saja aku tidak akan mengabulkan permohonanmu itu," Satan tertawa.

Kevin menunduk sesaat, kemudian ia menoleh, menatapku. "Terima kasih karena telah mempercayaiku. Sisanya, kuserahkan kepadamu."

Butuh beberapa waktu untukku memproses perkataan Kevin, namun lelaki itu sudah terlebih dahulu meraih pisau, melesat maju, kemudian dengan cepat melemparkan bilah pisau ke arah Satan.

Aku mendelik melihat kelakuan nekad Kevin. Aku hendak mengentikan, namun telah terlambat.

Sesuai dugaan, Satan menghindar dengan mudah. Namun, mata pisau berhasil menggores pipi Satan.

Satan melotot, menatap murka. "Beraninya kamu!"

"SEKARANG!" sahut Kevin lantang. "PERGI, SEKARANG!!"

Aku segera meraih tangan Nia dan Vani, kemudian segera berlari pergi.

Yuda meraih tangan Kevin, mencoba menariknya terlepas dari genggaman tangan Satan.

Tolong, Kevin, Yuda, bertahanlah. Setelah membawa Nia dan Vani pergi, aku pasti akan menolong kalian!

Pintu keluar telah di depan mata. Aku meraih gagang pintu, mencoba mendorongnya.

Deg.

Pintunya ... tak bisa terbuka.

Terkunci.

Seberapa keraspun aku mencoba, pintu tetap terkunci rapat, enggan untuk terbuka.

"Ah, enaknya ...," Satan mengusap mulutnya yang bersimbah darah segar. Aku membeku, menatap tak percaya sosok Satan yang kini tinggal sendiri.

Yuda dan Kevin sudah ...

Perasaan bersalah menyeruak di dadaku. Rasanya aku ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi tidak bisa.

"Jangan menentangku, sudah kubilang semuanya sama saja." Satan itu tertawa puas. "Nah, bisa permainannya dimulai?"

Vani yang lebih pertama berjalan. Tatapan matanya begitu hampa. Ia meraih pisau yang tergeletak di atas lantai, menoleh ke arahku dan Nia. "Maaf ... tapi ... aku masih ingin hidup."

"V-Vani ...," aku menatap tak percaya. "A-Apa yang kau pikirkan?"

"Aku masih ingin hidup, An!" sahut Vani tertahan. "Tolong mengertilah!"

Vani melesat ke arahku dan Nia sembari melayangkan mata pisaunya ke arah kami. Aku mendorok tubuh Nia agar menghindar, lantas membanting tubuhku sendiri ke lantai. Alhasil, Vani hanya menebas udara kosong.

"VANI, SADARLAH!" seru Nia frustasi.

"AKU ENGGAK MAU MATI, AKU ENGGAK MAU MATI," teriak Vani berulang-ulang kali.

Apa yang sudah merasukinya?!

Vani melesat, kini ia menerjang Nia. Nia mencoba menghindar, namun gerakan Vani terlalu cepat, nyaris menusuk tubuh Nia jika saja aku tidak nekad menahannya.

"Vani, hentikan!" seruku kesal. "Kamu rela membunuh temanmu sendiri?!"

"Saat ini, kita lawan!" balas Vani. Gadis itu menangis. "Aku masih mau hidup. Aku enggak mau mati. Aku--"

Jleb.

Sebuah pedang panjang menembus tubuhku dan Vani. Aku menunduk, menatap darah yang mengalir dengan derasnya dari luka yang tercipta.

Aku mengangkat kepala, menatap Nia yang merupakan pelaku penusukku dan Vani.

Nia menarik kembali pedangnya. Aku dan Vani ambruk ke lantai.

Kugenggam erat luka tusuk di tubuhku. Darah menyeruak keluar dengan derasnya. Kepalaku terasa begitu pusing. Rasa sakit yang begitu menyiksa terasa.

"N-Nia ...?"

Nia berdiri, menatap teduh, tersenyum manis. "Selamat tidur, Ana. Terima kasih telah menjadi teman baikku selama ini."

"Terima kasih, anakku." Satan mengelus kepala Nia. "Terima kasih telah memberikanku makan malam paling nikmat yang pernah ada."

Nia ... kenapa?

Kenapa dia tega ...?

Ingatanku kembali terputar.

Kini aku ingat, bahwa Nia lah yang memberi tahu Kevin tentang rumah berhantu ini. Nia satu-satunya orang yang tidak panik saat melihat sosok Satan untuk yang pertama kali. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?

Jadi maksud lukisan yang kulihat itu ... adalah Nia sang anak Satan?

Rasa pening menjalar. Pandanganku memburam, perlahan mulai menggelap.

Hal yang kulihat untuk terakhir kalinya adalah wajah Nia yang tersenyum manis kepadaku sambil mengatakan, "Selamat tidur, sobat."

Setelah itu, semuanya gelap.

***END***

The powah of kepepet

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bloody Halloween [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang