Chapter-04 : Bencana

52 11 1
                                    

"Bagaimana ini?" Nia menggigit bibir bagian bawahnya, menahan tangis yang nyaris pecah. "Ali ... Ali tadi ..." Bahkan ia sendiri tak sanggup menyelesaikan ucapannya sendiri. Wajahnya pucat pasi, melebihi kertas.

Semua terdiam, membisu di lorong gelap-entah-dimana-ini.

"Kita harus mencari jalan keluar!" putusku cepat.

"Tapi ... bagaimana?" Theo mendesah tertahan. Keputus asaan terukir di wajahnya. "Nyaris sejam kita berkeliling, namun kita belum kunjung menemukan tangga turun ke lantai satu."

Aku tak bisa menyangkal, karena perkataan Theo benar adanya. Sudah nyaris sejam kami berlari sepanjang lorong, namun kami belum kunjung menemukan tangga turun. Ini semua karena lorongnya terlalu banyak cabang! Banyak sekali belokan entah kemana, dan membuat kami semua tersesat.

Sebenarnya, seluas apa mansion ini?!

"Pertama-tama ...," aku berpikir sesaat, "Kita hitung dulu. Total keseluruhan kita tanpa Ali 23, 'kan?"

Yang lain mengangguk. Kini, tiba-tiba saja aku merasa jadi pemimpin mereka.

Kami mulai berhitung, mengabaikan deru napas yang tak beraturan.

"Dua puluh satu ...," hitungan terhenti di Vivian, membuat kami saling menatap satu sama lain.

"Tunggu, kenapa hanya dua puluh satu?" tanyaku heran. Kupikir, kami salah berhitung. Maka, kami berhitung ulang. Namun, tetap saja hasilnya dua puluh satu. Siapa yang hilang?

"Eh," Yuda tersentak, tersadar akan sesuatu. "Alea mana?"

Aku menatap sekitar. Benar juga ... tidak ada kehadiran Alea di antara kami.

"H-Huh? T-Tapi tadi dia berjalan di belakangku ...," wajah Vivian berubah pucat. "Kapan dia terpisah dengan kita."

"Kita harus cepat!" sahutku lantang. "Saling berpegangan! Kita berlari mencari jalan keluar, sekarang juga!"

Kami saling berpegangan tangan, berlari seperti jejeran kereta api.

Aku ... aku tidak mau kehilangan teman-temanku lagi. Sudah cukup Ali, yang lain jangan.

Sosok Ali yang dimakan oleh Iblis tadi kembali terputar di kepalaku. Membuat rasa penyesalan datang menyeruak di dada tanpa permisi.

Beberapa menit, kami tiba di sebuah ruangan luas yang aneh. Lorong terhubung langsung dengan ruangan ini, tak ada pintu yang menjadi sekat.

Ruangan ini begitu luas dan gelap. Aku mengarahkan lampu senter ke sekitar. Di sini terdapat banyak sekali barang antik, beberapa bahkan tak kukenali.

"Kenapa kita bisa sampai di sini?" bisik Nia dengan suara bergetar. "Padahal ... seingatku tadi saat ke mari kita tidak melewati ruangan ini."

"Aku juga tidak tahu," balasku.

Kami menelusuri ruangan, berjalan melihat-lihat keadaan, berharap menemukan sesuatu sebagai petunjuk agar kami dapat keluar dari tempat ini.

Cahaya senterku tanpa sengaja mengenai sebuah lukisan tua yang bertengger di dinding ruangan berlapis motif kotak-kotak. Aku berjalan mendekat, memperhatikan lukisan tersebut lamat-lamat.

Lukisan tersebut berisi seorang gadis yang berdiri di tengah sekumpulan mayat. Di tangannya, terdapat sebuah pisau berlumuran darah.

Sekilas, lukisan tersebut tampak familiar. Namun di saat yang bersamaan, terlihat asing di mataku.

"Apakah ... makhluk tadi itu ... Satan?" tanya Vani tiba-tiba, memecah kesunyian.

"Mungkin ...," jawabku ragu.

Bloody Halloween [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang