8. Kembali Ke Jakarta

159 19 23
                                    

Aku kembali menginjakkan kaki di kota ini. Kota di mana orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kota di mana para perantau menggantungkan mimpi dan harapannya.

Harapan untuk hidup yang lebih baik dari pada di kota asal mereka. Tak sedikit yang lalu terjebak dalam kerasnya kehidupan kota metropolitan yang keras. 

Dan aku kembali lagi ke kota ini. Untuk melanjutkan hidup, untuk mewujudkan cita-cita. Dan untuk mendapatkan cinta--mungkin.

Bukankah aku sudah beranjak dewasa? aku rasa ibu tak akan melarangku lagi, untukku mulai mempunyai pasangan, pacar maksudku.

Ya ampun Vi, kenapa belum apa-apa sudah berpikir ke situ?

Oke! pertama-tama aku harus beberes rumah terlebih dulu. Sudah lama aku meninggalkannya. Walau selama ini dihuni bapak, tapi tetap saja rumah ini tidak terawat dengan benar.

Kubuka pintu kamar, yang masih sama seperti terakhir aku meninggalkannya. Sesaat aku terpaku, mengedarkan pandangan ke tiap sudut. Aku jadi merindukan kamarku di jogja---di rumah embah. Tapi tidak, rumah itu sudah dijual.

Terngiang di telinga, rencana bapak yang akan merenovasi rumah ini, menambahkannya kolam renang di belakang. Akan seperti apa nanti? membuatku tidak sabar.

Baiklah lupakan itu dulu, setelah semua urusan kembali ke jakarta kelar, hal yang harus kupikirkan selanjutnya adalah melanjutkan study.

Aku sudah membulatkan tekad untuk ambil jurusan fashion desaign. Sesuai dengan passsion-ku selama ini.

Rasanya pasti seru. Aku bahkan sudah bermimpi bisa punya label baju sendiri. Kira-kira apa namanya nanti ya? V-collection? ah ... angan-anganku ini membuatku tersenyum tipis.

Kurebahkan tubuh lelahku pada ranjang ukuran single. Sejak tiba dari perjalanan panjang dengan kereta dari Jogja, rasanya aku butuh istirahat.

**

Hari-hariku selanjutnya sudah disibukkan dengan urusan kuliah. Aku benar-benar mengambil jurusan fashion desaign. Kedua orang tuaku mendukung. Aku beruntung mempunyai kedua orang tua seperti mereka.

Ibu juga sudah mulai menekuni bisnis konveksinya. Bapak menyewakan sebuah ruko untuk kegiatan produksi.

Dan bapak, masih terus bekerja pada perusahaan makanan yang berhasil menghidupi kami selama ini.

Perlahan kehidupan kami merangkak naik. Rumah sederhana yang selama ini kami tempati seperti disulap menjadi istana kecil. Dengan kolam renang yang sudah selesai dibangun. Aku bisa memandanginya dari balkon kamar.  bahkan kamarku memiliki balkon kecil sekarang. Balkon yang segaris lurus dengan kolam renangku di belakang.

Kurasa hidupku penuh dengan kejutan. Lalu kejutan apa lagi yang akan terjadi selanjutnya? aku bahkan sudah tidak sabar.

Mungkinkah akan datang seseorang yang sanggup membuat hatiku bergelora? yang membuatku hanyut dalam tatapan matanya. Yang membuatku tak berhenti memikirkannya. Siapakah seseorang itu?

Entah, aku masih menunggunya.

**

"Gimana kuliahmu hari ini, Nduk?" tanya ibu saat aku menyempatkan mampir ke tempat konveksinya selepas kuliah.

"Lumayan."

"Apa kamu betah?"

"Pasti, Bu. Teman-temannya juga menyenangkan."

"Syukurlah...."

"Aku akan bantu Ibu, mengembangkan konveksi ini, nanti."

Ibu menatapku lalu tersenyum. "Ibu yakin kamu bakal jadi disainer yang sukses, yang diperhitungkan." Ibu berkata sambil merapikan gulungan kain di gudang.

Ucapan ibu membuatku tersenyum, itu seperti sebuah doa. Aku mengamininya dalam hati.

"Ibu...."

"Ya?" aku sukses membuat ibuku menoleh.

"Doakan juga aku agar dapat pasangan yang baik ya...." Aku tersenyum usil ke arah ibu.

"Ya ampun, Vi?" Ibuku tertawa kecil.

"Kenapa? apa ibu masih akan melarangku punya pacar? aku sudah dewasa, Bu."

"Iya, ibu nggak akan melarangmu lagi. Tapi kenalkan pada Ibu dan Bapak kalau kamu sudah punya pacar."

"Ya itu pasti." Aku semringrah.

"Memangnya sudah ada? bawa ke rumah."

"Eum ... belum." Seketika wajah semringahku padam.

Ibu tertawa kecil lalu mengusap kepalaku lembut. "Anak gadisku ini ternyata sudah beranjak dewasa."

Ibu mengembuskan napasnya. "Waktu begitu cepat berlalu ya? sebentar lagi, pasti akan ada yang datang ke rumah untuk melamar."

"Nggak secepat itu juga, Bu. Aku ingin meraih cita-citaku dulu." Kusandarkan kepalaku di bahu ibu--manja.

"Semoga orang yang menjadi pasanganmu kelak adalah orang yang bertanggung jawab, penuh kasih sayang, mencintaimu dengan tulus. Kalau bisa yang mapan, syukur-syukur juga tampan."

Aku menarik diri dari bahu ibu. "Harus mapan, Bu?" selidikku.

"Nggak juga, kan itu tadi sebuah harapan. Itu doa Ibu untukmu."

"Dari semua yang, Ibu sebutkan tadi. Itu kriteria sempurna. Memangnya ada laki-laki sempurna seperti itu?"

"Yang pasti dia harus bisa membuatmu bahagia. Kamu anak Ibu satu-satunya."

Aku ingin bertemu dengan laki-laki seperti itu. seperti yang ibu harapkan, yang bertanggung jawab, penuh kasih sayang, yang akan mencintaiku dengan tulus. Mapan ... ah yang ini nggak harus sih. Dan terakhir tampan. Duh ... di mana aku akan menemukannya?

**

Di mana ya? 😁

Eric kok belum nonggol2 ya? Aku juga nggak tahu nih, ngikutin aja kemana jari mengetik. Itulah yang menuntun perjumpaan Via dgn Eric nanti.

Mungkin next part jadi tetep vote & komen ya...

Trims 🙏









Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gelora RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang