"Tadi itu siapa?" Ibu bertanya saat langkah kakiku sampai di ruang utama.
"Temen, Buk."
"Sekolah yang bener ya, Vi. Jangan pacar-pacaran dulu," ujar ibu yang tak mengalihkan fokusnya pada mesin jahit di depannya.
"Iya. Terus kapan aku boleh pacarannya, Buk?"
Ibu menghentikan sejenak aktivitasnya. Pertanyaan isengku sanggup membuat ibu mengalihkan perhatiannya.
"Nduk--"
"Iya, Buk Via tau. Tadi itu cuma temen sekelas nawarin tebengan kok, nggak lebih."
Ibu mengembuskan napas."Boleh temenan tapi tahu batas ya, apalagi kamu anak gadis."
"Iya...iya...Buk." Aku mendekat ke arah ibu, dan bergelayut manja di bahunya, yang masih menginjak pedal mesin untuk mengerakan jahitan.
"Aku mau dong dibikin baju lagi, Buk."
"Boleh, mau yang model gimana?"
"Eum...ntar aku gambar dulu."
"Ya udah ganti baju dulu, buruan makan, trus istirahat."
"Siap!"
"Ibu juga mau nyuapin Embah dulu, udah waktunya makan siang." Ibu beranjak dari kursinya, melenggang ke arah kamar embah.
Sudah hampir setahun, kami tinggal di Jogja. Tapi embah masih sama. Tidak juga pulih tidak juga---ah aku nggak boleh berpikir seperti itu!
Melihat ibuku yang telaten merawat embah yang sudah tidak bisa apa-apa itu, membuatku salut.
Aku salut sama ibu, bagaimana kesabarannya merawat embah sampai urusan buang air kecil dan besar. Menganti posisi berbaring embah dengan posisi miring begitu sebaliknya. Dan kesabarannya Itu menjadikan teladan yang baik untukku. Begitulah aku harus merawat ibu saat tua nanti.
Aku mengembuskan napas, menatap mesin jahit model lama yang turun temurun dari embah. Mesin itu bukti betapa dulu embah juga seorang penjahit yang handal.
Aku duduk di kursi mesin itu mencoba menyatukan beberapa kain perca yang tak terpakai, menjadi satu jahitan lurus.
"Vi, kamu masih di situ?" Aku menoleh ke arah ibu dengan cenggiran.
"Ganti baju dulu, nanti baju putih kamu kotor." Ibu menghampiriku dan kini sudah berdiri tepat di sampingku.
"Kamu jahit?"
"Iseng."
"Mau Ibu ajarin?"
Aku menggeleng.
"Eh siapa tau nanti kamu jadi perancang busana."
"Perancang busana nggak harus bisa jahit, Buk."
"Tapi kalau bisa, itu jadi nilai lebih."
"Eum ... kapan-kapan aja." Aku beranjak dari kursi yang lalu digantikan posisinya oleh ibu.
Aku rasa menjahit bisa menghilangkan kejenuhan ibu selama merawat embah di sini. Nyaris selama setahun ini ibu tidak pernah keluar rumah. Tidak mau meninggalkan embah barang sekejap. Kebayangkan jenuhnya?
**
Pagi ini seperti biasa, aku berangkat ke sekolah. Udara pagi Jogja masih sejuk di banding jakarta. Jarak sekolah yang tidak terlalu jauh yang bisa kutempuh dengan berjalan kaki, selama 10 menit kurang lebih.
Ada sepeda di rumah embah kalau mau pakai, tapi aku enggak mau. Sedikit gengsilah naik sepeda ke sekolah Sementara yang lain pada naik motor. Jadi aku memilih jalan kaki saja.
"Kamu yang namanya Via?" suara garang dan muka tidak bersahabat itu tiba-tiba menyambutku ketika sampai di koridor.
Sepanjang koridor masih sepi, dan cewek yang sedang menatapku penuh intimidasi itu tidak sendiri, dia bersama dua teman cewek , sama menatapaku dengan tatapan seolah ingin menelanku hidup-hidup.
"Iya ada apa ya kak?"
"Sini!"
Satu di antara mereka menarik tanganku dengan paksa, membawaku ke arah toilet diikuti dengan dua temannya.
Aku di dorong sampai punggungku menghantam tembok. Aku sedikit mengerang kesakitan. Dan mereka sama sekali tak mengendurkan tatapan sinis yang sedari tadi menghujamku.
"Jangan kecentilan!" kata salah satu dari mereka sambil mengangkat daguku dengan jari telunjuknya. Masih dengan tatapan iblis.
"Maaf, maksudnya apa ya kak?"
"Jangan deket-deket sama Bayu lagi!"
Bayu?
"Paham?"
"Kalau, aku masih melihat kamu...," katanya menjeda dengan telunjuk yang dia arahkan tepat di depan wajahku. "Masih deket-deket sama dia. Siap-siap bermasalah sama aku!"
Dia menurunkan telunjuknya masih menatapku sinis. Teman-teman di sebelahnya ikut menatapku tak kalah horor.
Beberapa siswi masuk toilet yang lalu melempar tatapan ke arah kami.
"Ingat itu!" kata terakhir yang terlontar sebelum mereka pergi dari hadapanku.
Aku mengembuskan napas kasar. Ternyata aku abis di bully barusan. Gayanya yang sok berkuasa itu---memangnya dia siapanya Bayu?
"Kamu nggak apa-apa?" Aku menoleh
"Enggak."
"Ada apa?" tanyanya lagi sambil menyentuh lenganku, sikapnya terkesan care, tapi entah benar-benar care atau hanya sekedar ingin menggali informasi lebih lanjut?
Aku menggeleng sambil tersenyum sebagai bentuk terima kasih atas perhatiannya. Aku mulai beranjak.
"Kalau nggak mau cerita nggak apa, tapi kita bisa masuk ke kelas bareng," katanya lagi membuat langkahku terhenti sesaat. Dia sudah menyejajarkan diri denganku. "Yuk!"
Aku dan dia, eum---Siska maksudku, kami akhirnya berjalan beriring menuju kelas.
***
Ingat Siska kan? Lalu Siapakah Bayu? Mungkinkah Bayu akan merebut hati Via?
Tapi nyatanya Via hanya untuk Eric *eh 😅
Tunggu, belum waktunya Eric & Via bertemu.
Vote & komen yaw
Terima kasih sudah mampir 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelora Rasa
عاطفيةSpin-off Rasa. Bisa dibaca terpisah. Ini sisi lain dari kisahku dengan seorang pria bernama Hendric Wicaksono, love story kami sebelum semuanya menjadi rumit di kemudian hari~ Via.