Flamboyant tersebut kembali berbisik. Desahannya begitu lembut, samar didengar dirundung hujan yang tak kunjung berakhir. Namun tiada salah, bahwa semi yang tak kunjung sua semakin jauh dari gapaian rengkuh.Aku tidak pernah paham bagaimana Ia hanya muncul sesaat pada mula hujan, namun hilang pada satu tahun penuh tanpa jejak. Atau mungkin aku memahaminya sedari awal, tetapi melarikan diri dari fakta yang kuketahui. Fakta yang bahkan tak seorangpun pahami, bahkan orang-orang yang disebut sebagai keluarga.
12 November, hujan deras mengguyur sedari malam sebelumnya. Tak ada satupun tanda-tanda akan berakhir. Bahkan fajar yang seharusnya menyingsing, sedikitpun tak terlihat rekam cahayanya pada celah-celah awan mendung. Karenanya, aroma pekat akan rumput basah, tanah, serta berat udara lembap mengisi ruang, tanpa menunjukkan tanda-tanda akan menipis.
Yang menarik, dalam dingin yang merengkuh bagian terdalam dari tulang-tulang di seluruh tubuhmu, yang paling menghangatkan ialah dingin tersebut sendiri. Katakan, bahwa kita hidup dalam dingin, berarti kita mengenal dengan hangat. Langit-langit yang diam, semakin lama memandanginya, semakin kabur pula batas-batas persepsi terhadap waktu dan realita. Lalu tanpa kalian sadari, dari sebuah angan yang bertahan di ruang-ruang kesadaran, lalu berlabuh di dunia mimpi.
Pendengarannya terikat dengan sebuah musikalisasi puisi klasik. Erlkönig, puisi karya Johann Wolfgang van Goethe, yang kemudian dimusikalisasi oleh Franz Schubert-mungkin bukan lagu yang cocok untuk menyambut datangnya hujan setelah sekian lama kemarau yang menghabisi manusia. Namun Han tidak terlalu memperdulikannya, atau mungkin ia hanyut dalam lantunan puisi tersebut. Mulutnya diam, ia melabuhkan pandangnya jauh, jauh melewati sebilah kaca, tanpa memandang apapun.
Kisah Erlkönig datang dari kisah tradisi khas Danish yang berjudul Elveskud, sebuah Ballad yang turun-temurun dikisahkan dan menjadi budaya dari daerah Skandinavia. Bentuk yang lebih klasik, tidak ada seorangpun yang mengetahui tepatnya kapan kisah ini dimulai. Namun disepakati bahwa kisah ini dimulai pada abad pertengahan. Jika ditanya apakah ini musik yang baik atau buruk, well, tema dari puisi tersebut tidak terlalu menyenangkan. Berkisah tentang seorang ayah yang berpacu kuda menggendong putranya melalui hutan berkabut, yang entah bagaimana hanya putra semata wayangnya melihat bahwa mereka dikejar oleh siluet hitam, dan ketika mereka mencapai muka hutan, sang putra telah tiada di punggung ayahnya.
Han begitu mencintai budaya, terutama literatur, sebesar ia mencintai dirinya sendiri. Ia dapat membaca kisah-kisah klasik dan tenggelam di dalamnya berjam-jam lamanya. Jika ditanya apa yang ia cintai dari budaya literatur, mungkin ialah fakta bahwa mereka pencipta dunia. Bahwa masing-masing budaya pun manusia merupakan Tuhan bagi dunia mereka sendiri, lalu mencipta semesta masing-masing yang akhirnya menjadi sebuah identitas dari suatu hal entah kecil maupun besar. Sedari kecil, Han tak menemukan kesulitan dalam memahami karya-karya tertulis entah klasik maupun kontemporer. Sebaliknya, ia begitu bahagia ketika ia menyelami samudra dari imaji para pencipta tersebut, mengarungi satu dunia ke dunia lain, memahami apa yang dirasakan penulis, dan merasakannya pula. Pada sekolah menengah pertama dan atas, ia berulang kali menulis cerpen dan novel, meski ia tak mempublikasikannya dengan alasan ia tidak terlalu percaya diri dengan tulisannya. Koleksinya yang menumpuk, berakhir dengan ia merilis sebuah antologi pada tahun-tahun terakhirnya di sekolah menengah atas.
Namun naas, nasib berkata lain. Hatinya mencinta sastra, tetapi dirinya ditujukan ke dunia engineering. Bukan salah dirinya, mungkin saja ketidaksepakatan yang berulang kali muncul dalam sejarah manusia, secara beruntung muncul pada kisahnya pula.
Han merupakan nama panggilan, karena alasan personal ia lebih suka dipanggil dengan nama Han daripada nama aslinya. Bahkan sampai poin di mana ia mengenalkan dirinya dengan nama Han. Mungkin sebenci itulah ia dengan namanya sendiri. Baginya, nama adalah kutukan, sebuah wahyu yang ditumpahkan kepada dirinya tanpa ada kesempatan baginya untuk memilih. Nama aslinya ditulis dengan "lurus, permata, serta pengetahuan." Sebagai mahasiswa teknik semester tengah, ia sering mengalami moodswing karena kuliahnya yang tak sesuai dengan passion yang ia miliki. Meskipun alasan sebenarnya jauh lebih dalam bukan karena masalah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless Tale
Historia CortaAku mencintai kisah. Sebuah gambaran akan semesta manusia, yang tak mengenal batas-batas.