SATU

22 3 0
                                    

Gadis anggun itu duduk memandangi paras dirinya terpantul cermin. Riasan bedak tebal, serta make-up berlebihan yang jarang sekali ia kenakan di kesehariannya. Mengenakan baju putih, yang baru tiga hari lalu diukur dan dijahit. Sudah dilebihkan beberapa centi namun sekarang begitu sesak. Bahkan hampir tak muat. Gadis itu harus sering menahan nafas agar terlihat bagus.

Gadis itu benci matanya yang terlihat murung.
Jika tidak ditutupi riasan, akan sangat terlihat kantung mata menghitam, yang sering tidak bisa menerima kenyataan di malam hari. Kesedihan terus meracuni otaknya. "Lari! Berlari sejauh mungkin," racau otaknya yang tak bisa ia indahkan.

took ... took ...
Pintu kamar diketuk.

"Ananda Sofya. Sekarang waktumu meminta restu," perintah sang Penghulu.

Sofya nama gadis itu, belum sepenuhnya menerima kenyataan, masih berkutat dengan pikiran kelamnya, dan hal-hal tak masuk akal bertumpuk dalam benak. Berlari atau mati?

Ayahnya duduk di hadapnya, matanya yang biasa memandang gadis kecilnya penuh cinta. Sekarang berubah redup nan kecewa. Batin Sofya bergejolak sendu. Pilu. Nyeri menembus ulu hati, melihat sosok cinta pertamanya bahkan tak ingin memandang matanya lagi dengan senyum khasnya.

Sofya meraih tangan kanan ayahnya. Tangan yang berbau khas parfum yang sama dengannya. Perasaan Sofya campur aduk. Bendungan airmata yang ia tahan bahkan jatuh sebelum lafaz Bassmalah terucapkan.

"Bismillahirtahmanirrahim, Ayah. Aku meminta izin sekiranya engkau bersedia menjadi waliku. Nikahkanlah aku."

Air matapun jatuh, bersamaan dengan hancurnya keping-keping pengharapan. Sofya menciumi tangan ayahnya dalam. Meminta maaf ribuan kali dalam hati. Meminta Tuhan mencabut nyawa setelahnya, karena ia tak mampu lagi melihat kesedihan dalam wajah pahlawannya ini.

Setelah meninggalkan Sofya sendirian dalam kamar, Sofya merutuki kebodonnya. Merutuki setiap detiknya yang masih bernyawa. Sofya menarik nafas dalam menetralkan perasaan bersalah di pundaknya.

"Maafkan aku yang belum bisa menerimamu," ucapnya sakit, memegangi perut bulatnya berusia 8 bulan.

LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang