TUJUH

5 2 0
                                    

Keesokan hari, Sofya terbangun di pagi buta. Belum pernah sebelumnya ia bangun sepagi itu, apalagi tanpa dibangunkan alarm alami, alias teriakan ancaman dari ibunya.

Ibu mertuanya juga terbiasa bangun subuh untuk ke pasar. Berjualan.

Sofya bangun membersihkan sisa kekacauan kemarin. Sofya hanya membersihkan kamar, dan belum sempat membersihkan ruangan lainnya. Kenapa semua nampak kacau? Tidak seperti sebelumnya yang terlihat lebih rapi. Maklum saja sudah 5 bulan belakangan Sofya tidak lagi mengijakkan kaki ke sana.

Sofya memindahkan barang-barang berat. Semua ia lakukan sendiri. Walaupun di rumah ia bukanlah anak gadis rajin, namun melihat rumah yang nampak kotor dan berantakan membuatnya risih.

Perutnya kembali keram, air bercampur darah kembali mengaliri paha. Sofya tidak tahu itu pertanda apa. Maklum saja dia hanyalah gadis yang hamil di usia muda, yang bahkan ia sendiri tidak tahu janin itu ada, setelah usia kemahilan yang mencapai 13 minggu.

Sofya kembali teringat saat pertama kali dia mengakui kehamilannya pada ibunya.

...

Di siang terik seusai Ibu menghadiahkannya springbed baru, kasihan melihat Sofya yang selalu tidur dengan kasur lapuk. Karena terlalu senang Sofya menjatuhkan tubuhnya di atas springbed tersebut dengan posisi telentang. Perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan 5 bulan tercetak jelas.

"Perut kamu buncit sekali. Jujur ke Ibu. Ibu sudah menanyakan ini berkali-kali sejak lama. Apa kamu hamil?"

Sofya tak bisa terus berbohong, usia kandungannya semakin tua, walau saat berdiri tidak terlihat sama sekali.

"Iyah. Aku hamil, Bu." Sofya memeluk tubuh ibunya. "Maafin Sofya, Bu."

Bagai tersambar petir ibunya menangis, dan refleks menampar tanpa tenaga. Tidak sakit. Sama sekali tidak. Hati keduanya yang sakit. Remuk.

Setelah tenang keduanya duduk berhadapan.

"Siapa?"

"Kak Alba."

"Dia tahu?"

"Tahu." Sofya tertunduk dalam.
"Dia mau bertanggung jawab. Tapi, aku tidak mau menikah, Bu. Tolong jangan nikahkan aku. Aku mohon, Bu."

"Kamu gila?"

"Aku mohon, Bu. Biarkan aku lari. Aku akan membesarkannya sendiri."

"Kamu pikir membesarkan anak itu mudah? Kenapa kamu tidak jujur sejak awal? Mungkin ada jalan keluar lain."

Sofya menegang di tempatnya mendengar kata 'jalan keluar lain'. Sofya tahu bahkan sangat tahu, Karena itupun ada dalam otaknya dulu. Namun urung ia lakukan hingga kini janinnya sudah bernyawa. Entah mengapa niat buruk itu begitu berat baginya.

" Bagaimana kalau Ayahmu tahu?"

"Aku tidak tahu, Bu. Aku tidak tahu."

Keduanya sama-sama menangis di ruang keluarga tersebut.
....

Sofya memegangi perutnya yang sudah Keram itu lagi.

LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang