EMPAT

13 3 0
                                    

Seusai sesi foto pengantin di rumah, Sofya menyempatkan berfoto dengan nenek dan kakeknya. Ia masih terngiang sumpahnya sendiri setahun lalu. Tepatnya di senja hari kala itu.

"Mungkin kamu yang akan menikah lebih dulu?" canda nenek padanya.

"Tidak, Nek. Aku akan menikah setelah lulus kuliah dan membanggakan orang tuaku dulu," jawab Sofya berapi-api.

"Kamu harus memegang kata-katamu itu."

"He-em. Iyah, Nek." Sofya bersemangat dengan senyum cerahnya.

Nyatanya itu hanyalah omong kosong. Menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Bibir yang tersenyum manis, hati yang meremuk redam. Jiwanya sudah mati, terkubur janji dan kepercayaan diri yang ia lontarkan tinggi.

Memasuki tenda resepsi yang cukup besar, air mata Sofya kembali tumpah ruah. Tak bisa tertahan. Bahkan suasana yang harusnya bahagia menjadi haru biru. Pernikahan yang semula hanya di rencanakan menikah secara tersembunyi, Kini berubah megah. Duduk di singgasana pengantin, ratusan orang menjadi tamu. Gunungan kado berada tepat di sampingnya.

Sampai di saat resepsi, Sofya masih sempat berfikir untuk seseorang membawanya pergi. Berlari sejauh mungkin. Menghilang dari peradaban.

Banyak yang menyalami Sofya dari teman-teman SMA hingga sahabatnya. Sofya memeluk mereka penuh beban. Ingin mencurahkan segalanya. Segala-galanya. Terakhir setelah kesedihannya memuncak, entah keberanian darimana, Sofya untuk pertama kali dalam hidupnya memeluk Sang Ayah. Meminta maaf kembali ribuan kali lewat airmatanya.

"Berhentilah menangis," tegur mertuanya pelan.

Karena kini Sofya sudah sangat sesenggukan.

Cuaca di hari senin itu, hujan. Hujan deras. Seolah mengerti bagaimana perasaan Sofya saat itu. Orang-orang mulai berhambur melarikan diri.

Semua rentetan acara selesai. Badan Sofya terasa melemah. Selebih perutnya yang tetiba mulai terasa berat setelah izab Qabul berlangsung.

Tidak ada yang istimewa, atau interaksi berlebih selama dua hari, Alba berada di rumahnya. Hanya tersenyum dan interaksi kaku.

Sampai dua hari itu, tamu-tamu masih berdatangan ke rumah.

Salah seorang kerabat berbicara,
"Kami Sudah menjodohkanmu, tapi ternyata kamu lebih memilih jodohmu sendiri. Kamu tahu berapa lama kami menunggumu?"

Ayah Sofya menjawab,
"Dia tidak ingin memiliki lelaki yang sukses. Aku menyekolahkannya tapi dia lebih memilih menikah."

Dan kehancuran kembali menampar Sofya dengan telak. Sejauh itu Ayahnya kecewa. Sangat kecewa.

LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang