8° ALVARO KECEWA

258 9 0
                                    

"Jadi lo udah tau? " Bahu Laskar langsung merosot saat melihat tatapan tajam yang tertuju padanya. Pemilik tatapan itu hanya menggedikan bahu dan melahap kentang goreng di atas meja secara kasar, pertanda moodnya sedang rusak.

"Sejak kapan? "

Laskar mengembuskan napas. "Sejak kecil, " jawabnya lesu.

"Lo beneran nggak menghargai gue sebagai sahabat lo? " Tatapan itu seakan menusuk jantung Laskar. Menciptakan rasa sakit tak kasat mata di sana. "Gue kecewa sama lo, Las. " Alvaro Si Pemilik tatapan itu mengalihkan pandangan dari wajah Laskar.

Terlampau kecewa dengan rahasia besar yang Laskar sembunyikan. Alvaro merasa bahwa dirinya gagal dalam memenuhi tugas menjaga Laskar yang diberikan oleh Venus, Papa dari Laskar.

Ia kini menunduk. Enggan menatap Laskar yang juga diam, terlalu canggung setelah pertengkaran hebat mereka tadi.

"Lah, lo berdua kenapa sih? " Gevano, Willy, dan Kavino menatap Alvaro dan Laskar yang tampak diam dengan pandangan heran. Padahal biasanya kedua manusia itu akan membicarakan hal-hal yang tidak penting. Sungguh momen langka.

"Gue balik. " Alvaro tiba-tiba bangkit dari kursi. Membuat ketiga temannya yang baru datang kebingungan, apalagi wajah Alvaro terlihat datar. Meski memang hal biasa tapi sorot matanya seolah mengartikan sesuatu.

"Eh, makanan lo belum habis. " Willy masih berusaha mencegah kepergian Alvaro. Sebenarnya Willy sangat membutuhkan kejelasan saat ini, bukan hal tidak penting yang malah lolos dari bibirnya.

Alvaro melirik kentang goreng miliknya sekilas. "Lo ambil aja gue udah kenyang. " Tanpa menunggu waktu lagi. Alvaro beranjak pergi dari kantin, diikuti tatapan bingung dari teman-temannya.

Kavino tentu saja tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Alvaro dan melahap kentang goreng milik Alvaro dengan lahap. Membuat Gevano mendengkus kesal.

"Alvaro kenapa sih? Nggak biasanya dia begini? "

Laskar hanya menggeleng dalam diamnya. Tak ada yang perlu diluruskan lagi, semua ini murni kesalahannya. Memang sudah seharusnya ia beritahu dari awal tentang penyakitnya. Bukan salah Alvaro juga jika cowok itu marah, karena Alvaro memang tidak suka dengan kebohongan. Hal itu akan membuatnya teringat traumanya.

"Las, " panggil Willy pelan.

Laskar turut bangkit. "Gue juga balik. Lo bertiga lanjut aja lagi nggak papa. " Laskar menjauh dari area kantin.

Gevano menghela napas. Ada apa dengan kedua temannya hari ini? Kenapa sikap mereka begitu aneh? Apa mungkin ada kesalahan besar yang dilakukan oleh salah satunya? Entahlah Gevano tidak bisa menebak. Ia terlalu lelah bermain dengan pikirannya sendiri.

***

"ALVARO! Tunggu! Lo harus dengerin penjelasan gue dulu! " Laskar berusaha mengejar Alvaro yang terus berjalan entah ke mana. Sepertinya ingin menghindari Laskar.

Alvaro tak ingin berhenti. Dadanya terasa panas seperti ada yang berkobar dari dalam, ia sendiri bertanya-tanya memang apa perannya dalam hidup Laskar? Sahabatnya itu memang cenderung tertutup.

Bruk!

Alvaro lantas berbalik. Tatapannya melebar saat melihat siapa yang menjadi sumber suara keras itu. "Laskar! " teriaknya tak terkendali. Tanpa banyak berkata, Alvaro langsung menggendong tubuh Laskar di atas punggungnya.

Tak ia pedulikan berbagai pasang mata yang melihat aksinya. Karena sekarang yang terpenting adalah kesehatan Laskar, sahabatnya yang paling ia sayangi setelah keluarganya.

"PMR! " Laskar dibaringkan di atas kasur UKS. Darah segar yang mengalir dari hidung cowok itu membuat kepanikan Alvaro kian menjadi. Sampai rasanya ia ingin membakar sekolah karena keleletan petugas PMR.

Tubuh Alvaro tertarik paksa saat petugas PMR datang. Ternyata pelaku penarikan itu Gevano, Kavino, dan Willy. Ketiganya tampak panik begitu dikirimi pesan oleh Alvaro mengenai kondisi Laskar.

Ia terduduk lemah di atas lantai marmer. Air matanya mengalir tanpa perintah, tak ia pedulikan tatapan iba yang tertuju padanya. Karena sekarang Alvaro sudah mencapai puncak rasa bersalahnya.

"Ro, " panggil Willy.

"S—emua sa—lah g—ue, Wil. " Napas Alvaro tercekat di tenggorokan. Ia tak sanggup lagi untuk menjelaskan, dadanya terasa sangat sesak. Ditambah lagi dengan kepalanya yang sedikit berdenyut.

"Ro, lo nggak salah sama sekali. Jadi berhenti kayak gini, mana Alvaro yang selalu judes dan suka nistain Vino? " Willy menarik Alvaro untuk bangkit. Ia sungguh tidak tega melihat kondisi Alvaro yang berantakan.

Gevano menepuk pundak Alvaro pelan. "Apapun yang terjadi nanti lo harus siap. Inget, Laskar paling nggak suka air mata. "

Alvaro menyeka air matanya yang membandel keluar. Tapi ia gagal, air matanya terus mengalir tanpa ada niat berhenti. Membuat Alvaro kembali menunduk dan menarik napas dalam-dalam.

Ceklek

Alvaro yang pertama kali maju, mendekat pada seorang gadis yang entah siapa namanya. Adalah salah satu petugas PMR. Gadis itu mengulas senyum tipis di wajah cantiknya.

"Kak Laskar nggak papa kok. Mimisan itu cuma efek stress berlebih, " jawab gadis itu.

"Nama lo siapa? " tanya Kavino dari belakang Alvaro membuat gadis itu mengerutkan kening. Untuk apa kakak kelasnya ini menanyakan nama? Seperti tidak ada kerjaan saja.

"Namaku Aluna, Kak, " balas gadis cantik bernama Aluna itu sopan.

"Salam kenal ya cantik? Makasih udah bantuin temen gue. "

"Iya, Kak. Sama-sama kalo gitu aku pamit dulu. " Gadis itu buru-buru pergi dari hadapan para kakak kelasnya.

"Tuh adek kelas cantik banget ya, Ro? "

"Hah? "

LASKAR PELANGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang